Salah siapa kalau  Simone de Beauvoir menulis  Le Deuxime Sexe (1949) yang kalau diterjemahkan menjadi The Second Sex. Seorang lelaki selengekan bahkan secara brutal mengatakan perempuan sebagai warga kelas dua, makhluk tak dianggap dalam diskusi mingguan setiap hari kelima di perpustakaan sebuah universitas, tiga puluhan tahun lalu. Si lelaki menyampaikan berbagai fakta dengan berbagai macam sumber.Â
Setelah itu mari membaca Kompas, harian cetak yang mungkin satu-satunya yang masih melakukan cetak jarak jauh di berbagai daerah. Berita utamanya "Komitmen Negara Tindak Tegas Pelaku", halaman 1 (15/1/2021).
 Otak lelaki itu sudah ditanamkan oleh adat budaya dan pergaulan kalau tubuh perempuan itu adalah bentukan ekploitasi. Susahnya perempuan juga ditanamkan kalau tubuhnya adalah materi eksploitasi untuk dan bisa menghasilkan uang.
Bagi yang alisnya bagus saja masih mo dicorat-coret pake pensil. Biar kekinian dan rapi. Bagi yang alisnya kurang bagus, tumbuhnya kurang rapi dan lain sebagainya boleh juga disulam alis atau ditato. Ini masih bisa diterima.
Begitupun dengan bibir. Warnanya warna warni. Kurang tipis ditipisin. Kurang tebal ditebalin. Harganya mak jleb.
Bulu mata apalagi. Bisa kok dibuatkan bulu mata yang melentik. Ada bulunya, ada alatnya, ada caranya.
Bagi kaum lelaki yang memang mata kinjar, eh keranjang mungkin asik. Bagi lelaki yang suka apa adanya, satu waktu pernah kena sikut dan dibisikin oleh istrinya, "kamu suka kan". Jawaban singkat suami, "tidak. Hanya suka kamu apa adanya".
----
Lebih dari dua dekade lalu seorang lelaki harus mencari cara agar pendidikan seksual di kelas setingkat SMP berjalan akrab dan kocak. Mencari gantungan kunci, kaos-kaos, gelang-gelang keren, dan stiker. Dilakukannya dengan penuh "cinta" untuk diberikan pada anak-anak yang mau bertanya, mau memberikan pendapatnya, mau berdialog tanpa beban. Perlu diinformasikan tidak ada bayaran untuk pemberian materi pendidikan seks.
Memahami "bahasa" mereka sangat sulit. Menciptakan kepercayaan satu sama lain. Begitupun dengan mencairkan suasana butuh ketepatan agar tidak ada gerakan alamiah menutup diri.
Pendidikan seks adalah dialog. Bukan monolog. Pendidikan seks kalau memakai falsafah Paulo Freire adalah membebaskan. Membebaskan mereka untuk berpendapat. Membebaskan mereka untuk berpikir. Sang guru hanya mengarahkan, memberikan informasi kalau jalan yang dipilih ini maka resikonya adalah ini. Kalau jalan yang dipilih itu maka resikonya adalah itu.
Jalan yang dipilih seks setelah nikah maka yang didapat adalah gagap. Gagap alamiah tetapi dengan keterbukaan dan pembelajaran satu sama lain, kegagapan pasti akan menjadi keindahan.
Jalan yang dipilih seks bebas, rekreasi maka yang didapat adalah candu yang tidak bisa dikendalikan. Bagi lelaki bisa menjadi predator alamiah. Bagi perempuan bisa hamil di luar nikah dan kehancuran fisik dan psikis. Belum lagi penyakit kelamin mengancam karena biasanya soal kebersihan kelamin mereka abai, belum lagi gonta ganti pasangan akan menyebabkan mereka beresiko tinggi terkena HIV/AIDS.