Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengatasi Disleksia Anak dengan "Lingkungan"

5 November 2021   09:17 Diperbarui: 6 November 2021   20:00 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Fabio Santaniello @ unsplash.com

Pernah mengalami kejadian lucu ketika mengajari anak mengeja dan membaca. Seringkali kejadian itu menggemaskan dan membekas tak terlupakan. 

Ada semacam target alam bawah sadar dari seorang ayah atau ibu pada anaknya untuk mencapai tahap tertentu dalam membaca. Saat itulah kita bisa abai, bisa sebel, bisa tak sabaran ketika mengajari anak padahal anak mengalami disleksia tertentu.

Bersyukurlah bila pernah mengalaminya hal lucu, sebel dan menggemaskan. Pasalnya itu bisa menjadi bahan candaan yang tak lekang oleh waktu ketika keluarga inti berkumpul. Tentu dengan wanti-wanti agar  candaan ini hanya menjadi rahasia keluarga saja. Tidak boleh keluar dari keluarga inti.

Sulung itu adalah buah hati pontang panting dalam memulai kehidupan. Serba kekurangan baik finansial, waktu dan juga ilmu. Semangat belajar menjadi ayah dan ibulah yang menolong Sulung.

Hidup sekitar 9 bulan setiap pagi di KRL  Cikini-UI Depok PP. Sumpek, berhimpitan dan aneka ragam warna. Paling senang membeli buku yang dijual pedagang asongan.

Belajarnya di Stasiun Cikini. Belajar mengenal huruf. Belajar mengeja. Boleh kami berdua disebut gelandangan yang berusaha belajar. Cuek dengan lingkungan sekitar.  

Lapar biasanya beli Soto Mi Bogor masih di stasiun. Belinya cuma seporsi khusus untuk Sulung. Bapaknya hanya menahan keinginan.

Satu waktu kami berdua usai mengantar KKP ke UI Depok diminta untuk mengambil uang di BCA di depan Stasiun Cikini. Iseng saja menunggu antrian meminta Sulung untuk mengeja huruf BCA. Benar semua huruf disebut B-C-A hanya ketika diminta untuk menggabungkan, bukan "BCA" yang keluar tapi "ATM".

Akupun senyum sambil badan terguncang menahan tawa. Sulung tanpa dosa memeluk kakiku. Usai mengambil uang. Kami berdua keluar ruang ATM. Seorang perempuan mendekat dan memberi sulung coklat SQ. Sulung malah bersembunyi di pantatku.

Walau dipaksa untuk menerimanya Sulung tetap tak mau menerimanya. Kujelaskan kalau dia didik untuk tidak menerima pemberian apapun dari orang asing. Setelah alot merayunya untuk menerima coklat dan juga ada persetujuanku. Sulung mengucapkan terima kasih sambil sedikit membungkukkan badan dan kembali sembunyi di pantat.

Kami pulang jalan kaki melewati Metropole, menembus Jalan Kimia melewati tempat kuliah ibunya. Berkeringat. Sekali, dua kali, keluh capek keluar dari Sulung. Menyebrangi Jembatan Trans Jakarta. Jarang sekali pulang dari stasiun naik bajaj. 

Foto: Fabio Santaniello @ unsplash.com
Foto: Fabio Santaniello @ unsplash.com

Ketika mendekati tempat kos, kubisikkan cara membedakan huruf "d" dan "b" (disleksia-nya Sulung). B pegang perutmu. D pegang pantatmu. Lelaki kecil yang sudah bahagia dengan pakaian bekas di Senen itu meminta gendong di punggung. Dukung istilahnya. Hanya lelaki yang bisa ini.

Sulung belajar membaca dengan mengeja huruf mulai dari sendok, piring, kursi, sabun, meja. Paku dan palu. Belajar seriusnya cuma 15 menit setiap hari. Modalnya bukan pokoknya ya, semua hal yang ada di lingkungan. Bersyukur Sulung bisa membaca sebelum masuk taman kanak-kanak.

Kini lelaki yang memiliki tinggi hampir dua meter itu bisa mengerjai bapaknya. Ketika kami membeli printer wifi dan kesulitan menginstal di rumah, lelaki sombong itu menyuruh bapaknya minggir. Jangkrik kurang dalam lima menit dia sudah bisa cetak dari hp-nya dan juga menginstal notebook yang ada di rumah.

Jadi sekali lagi hanya lelaki yang bisa membahagiakan anaknya dengan gaya lelaki. Ketika sudah besar, ibunya yang takut kehilangan anaknya. Emang lelaki itu ya lelaki.

Semoga Kompasianer ataupun pembaca Kompasianer yang kesulitan mengatasi kesulitan bisa memetik pelajaran dari tulisan sederhana ini. Ajari membaca maksimal 15 menit. 

Ajari mengenal benda dan mengeja serta membaca dari benda sekitar tempat tinggal. Ada begitu banyak kosa kata di rumah, tempat kos atau bedeng. Saat itulah kita akan tahu anak kita mengalami disleksia tertentu atau tidak. Ini cara lelaki. Senyum dong!

Salam Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun