Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lidah Mertua Mengejar Polusi

2 Agustus 2019   09:09 Diperbarui: 3 Agustus 2019   07:34 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Salak I Foto: liputan6.com

Sebulan terakhir mertuaku dibuat batu dan keselek. Setiap makan dan minum ketika asik makan dan minum tiba-tiba tanpa sebab terbatuk-batuk dan kemudian keselek. Menantu dan anaknya pun sudah membawa ke dokter tetapi batuk dan keselek setiap makan tak kunjung reda. Mertua lalu  bed rest di sebuah rumah sakit.

Keluarga besar pun lalu rapat untuk membicarakan masalah ini. Para menantu dan juga anak-anaknya adalah orang-orang yang terpandang. Bahkan salah satu menantunya adalah pejabat di jaringan kerah putih. Hingga larut malam belum ada juga benang merahnya. Padahal jejak digital maupun jejak cerita dari mulut ke mulut sudah ditelusuri.

Mertua yang dirawat di lantai 10 selalu melihat ke selatan Jakarta. Setiap sore dan pagi sang mertua memandangi selatan Jakarta. Kadang senyum, kadang sedih. Itu semua terlihat dari raut muka mertua yang memang sudah berkerut dimakan umur. Para menantu dan anaknya pun memperhatikan tingkah laku mertuanya ini.

Mereka kembali mengadakan pertemuan di kantin rumah sakit. Hasilnya juga nihil. Mereka memastikan di selatan Jakarta, mertua tidak punya masalah apalagi sampai punya simpanan. Ada pendapat dari salah seorang menantu kemungkinan mertua menjadi pembicaraan orang sehingga ketika mertua dibacarakan dan kebetulan sedang makan maka dia akan terbatuk dan keselek. Namun, pendapat ini diabaikan.

Ketika mereka naik lagi ke ruangan tempat mertua di rawat, sang mertua terlihat sudah cerah. Raut mukanya penuh kegembiraan. Tidak lagi berkerut cemberut. Sang mertua meminta pulang.

Sesampai di rumah sang mertua meminta seluruh anak dan menantu serta cucu kumpul semua tanpa terkecuali. Semuanya hening demikian pula dengan cucu-cucu yang biasanya tak bisa diam, kini anteng seanteng-antengnya.

"Aku minta kalian menanam sansevieria di rumah. Di rumah sakit, aku setiap pagi selalu menghadap selatan Jakarta melihat Gunung Salak. Senin pagi tampak samar, Senin siang sudah tak kelihatan lagi sampai dengan hari Minggu sore. Kita harus bantu pemerintah agar kota kita tak berpolusi," kata mertua.

Menantunya yang termasuk dalam golongan kerah putih tak menampik permintaan mertuanya. Bahkan dirinya siap membantu menyampaikan permintaan mertua agar menanam sansevieria kepada seluruh keluarga besar.

Salah seorang cucu mertua lalu membisiki lelaki kerah putih. Mbah Kung tak bisa mengejar polusi, walaupun setiap malam sansevieria menghisap  carbon dioxide  dan siang hari melepas  oxygen. Antara polusi dan penghisapnya ada perbedaan yang sangat besar. Ibarat menghisap debu di jalanan dengan mesin penyedot debu rumahan.

Lelaki kerah putih pun lemas. Dan meminta sang anak agar tidak membicarakan hal itu, apalagi sampai didengar Mbah Kung alias mertuanya. Sang menantu tentunya tak mau disumpahin mertua apalagi kalau ternyata lidah mertua itu sesakti Si Pahit Lidah. Sebuah legenda masyarakat Sumatra Selatan. Menantu kerah putih tentunya tak mau disumpah jadi batu.

Salam Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun