Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

O 2 X

8 Juli 2019   10:08 Diperbarui: 8 Juli 2019   10:11 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang perempuan selama tiga hari  belingsatan  karena tidak mendapat kabar dari suaminya. Perempuan itu memberi batas waktu bagi dirinya hingga hari keempat kalau tidak maka dirinya akan menyusul ke Puncak Bukit Barisan Sumatra.

Bagi si perempuan  say hello,  selamat pagi saja sudah sangat berarti. Artinya sang suami masih sehat dan selalu ingat dirinya dan juga ketiga matanya.

Itu adalah komitmen yang dibangun ketika keduanya menikah. Bila dilanggar tanpa ada penjelasan yang masuk akal maka kejadian itu bakal ditulis di batu nisan besar-besar. Just joke. Hukuman pasti ada bagi yang melanggar.

Apakah tertimpa musibah? Seluruh berita  media mainstream  hingga berita lokal sudah diobrak-abrik hanya untuk mencari tahu suaminya.

Pukul 04.00 perempuan itu sudah meninggalkan rumah, kepada sulung, tampuk tanggung jawab dibebankan di pundak untuk mengasuh dan mengurusi dua adiknya. Ada asisten rumah tangga tetapi tanggung jawab tetap di sulung. Sulung memang berbadan tinggi besar, tetapi tingkah lakunya masih anak-anak. Baru duduk di kelas tiga SMP. Kalau diberi tanggung jawab Sulung bisa diandalkan.

Semburat cahaya pagi terlihat jelas. Perempuan itu menitikkan air mata di bus Damri yang akan membawanya ke bandara. Dirinya harus dua kali naik pesawat. Dan kemudian akan mencari informasi di tempat kost sang suami. Itu dulu langkah pertama. Langkah kedua kalau  kuldesak  lapor polisi.

Inilah perjalanan yang penuh dengan kecemasan. Inilah perjalanan yang penuh doa untuk sang suami yang menghilang tak ada kabar berita. Mulutnya terus mengalirkan doa sedangkan tangannya memegang bola-bola kayu. Gerakan ritmis, antara mulut dan gerakan tangan dan bola kayu begitu pas dan tepat.

Sarapan di bandara terasa hambar. Ada yang kosong. Ada yang hilang.

"Tuhan aku masih belum siap kehilangan dirinya. Aku dan anak-anak masih membutuhkannya. Aku hanya meminta padamu Sang Pemilik Hidup," jerit si perempuan ketika duduk di dalam pesawat.

Setelah menunggu selama 2 jam untuk transit, si perempuan pun kembali naik pesawat yang lebih kecil. Bandara perintis itu kecil sekali. Dari parkir pesawat hingga ke terminal kedatangan harus berjalan kaki sekitar 7  menit.

Dari terminal kedatangan dirinya langsung keluar. Ketika keluar ada kerumunan orang yang menawarkan jasa angkutan ke kota. Perempuan ini terlihat maskulin, celana jeans, sneaker dan tas ransel.

Matanya terbelalak ketika ada seorang lelaki sambil memegang kertas bertuliskan namanya. Si perempuan langsung mendekatinya dan berkata, "itu namaku".

"Aku sudah menunggu ibu di sini selama tiga hari," kata lelaki itu.

Lelaki itu memberikan buku Kahlil Gibran dengan plester aid di halaman pertamanya. Buku itu aku tahu milik suaminya yang menghilang, hilang itu. Yang memasang plester aid itu dirinya.

"Ada apa dengan bapak," tanyanya dengan suara bergetar.

"Saya hanya mengantarkan ibu ke suatu tempat. Saya tidak bisa ngomong apa-apa lagi," katanya.

Dari bandara mobil  pick up  itu meliuk-liuk menuju ke kota. Sampai di kota, lelaki itu membeli minuman dan makanan ringan untuk bekal kami di mobil.

Tidak ada obrolan. Mobil tidak menanjak ke Puncak Bukit Barisan tetapi meliuk-liuk di kaki bukit. Jurang di kiri atau kanan. Setiap berpapasan dengan mobil, mata membelalak dan ada rasa takut serempetan. Jalan hanya pas untuk berpapasan. Tidak lebih dan tidak kurang.

Kurang lebih dua jam perjalanan akhirnya kami sampai di lembah. Sopir itu meminta aku untuk jalan kaki mengikuti jalan. "Tandanya jembatan gantung".

Si perempuan yang sudah kalut dan kacau balau itupun mengikuti petunjuk sopir. Belum bertemu dengan satu orang pun. Terkadang menanjak. Terkadang turun. Sekitar satu jam jalan kaki. Bertemulah dengan jembatan gantung.

Di seberang sungai ada pondok. Tidak ada orang.

Sungai mengalir deras dengan batu-batu besar. Suara airnya keras bergemuruh.

Ketika melihat ke  smartphone,  tidak ada sinyal. "Sungguh ini perjalanan gila," pikir perempuan.

Sudah  kadung.  Perempuan itupun menyeberangi jembatan gantung. Lantai jembatan banyak bolongnya. Jantungnya kini berdetak kencang.

Pondok itu kosong. Hanya ada perapian dengan sepanci air yang sudah mendidih. Ada ubi rebus.  Ada  sleeping bag.  Ada lampu kecil  solar cell.

Lelah lahir batin. Duduk di atas batu di pinggir sungai. Air matanya kembalil menetes. Doa kembali dilantunkan. Suara burung. Suara khas aliran deras. Orkestra alam.

Semburat jingga terlihat. Malam mendekat. Leher tercekat.

Seorang lelaki tiba-tiba muncul dari tikungan sungai. Perempuan itu melesat layaknya anak panah. Memeluk lelaki yang dicarinya. Tangis meledak.

"Apa yang terjadi. Tak ada kabar apapun. Kamu sehatkan?" katanya setelah menenangkan diri.

Sang lelaki tidak memberi jawaban. Hanya memberi kecupan di dahi dan menyodorkan ubi rebus. Ada pepaya.  Nangko belando  alias sirsak.

"Jawab!" ujar perempuan meledak. Sang lelaki tidak menjawab justru memeluk dan mengusap air mata yang kembali mengalir di pipi perempuan yang kini terlihat samar. Lampu kecil  solar cell  tak mampu melihat senyum kecil di wajah lelaki. Perempuan itu kelelahan dan tertidur.

Menjelang subuh, satu kecupan mendarat di wajah perempuan. Tubuhnya bergelung dan merenggang. Tangannya memukul-mukul.

Paginya si perempuan terpaksa mandi di sungai yang mengalir deras. Mandi bersarung. Airnya dingin. Menggigil. Si lelaki akhirnya memeluknya.

Beberapa orang terlihat dari tikungan sungai, melewati pondok sambil menyapa nama lelaki, suaminya. Mereka membawa kinjar dan peralatan kebun lainnya. Jembatan gantung yang kemarin sepi, pagi ini lumayan banyak orang yang lewat.

"Kita pulang hari ini," kata si lelaki. "Aku belum beli tiket pesawat," kata si perempuan. "Go show".

Semuanya jadi terasa dekat dan enteng kalau dibandingkan kemarin. Mobil yang mengantarkan kemarin ternyata masih menunggu di tempat yang sama. "Bandara," dan sang sopirpun langsung berangkat.

Kami memilih duduk di belakang  pick up.  Sang istri baru sadar kalau sudah dikerjai oleh sang suami. Titik akhir sinyal adalah di tempat mobil menunggu. Istripun menendang kaki suami. Menarik-narik baju suaminya. "Kejam kau perlakukan aku seperti ini. Kalau aku mati karena  aritmia  cak  mano," teriaknya.

Pelukan erat sang suami akhirnya meredakan amukan istri. Suami tahu satu waktu dirinya pasti akan dibalas dan hukuman dari pelanggaran komitmen pasti ada. Perempuan ini sangat mencintainya. Dalam hati sang suami bersyukur pada Tuhan dan akan menjaga diri dan hatinya hanya untuk perempuan yang sudah memberikan tiga mata dan nekat mencarinya di Bukit Barisan Sumatra.

"Kamu dua kali O ya pagi tadi," kata suaminya sambil tersenyum. Tidak ada jawaban. Hanya cubitan diperut sang suami.

Salam Kompal

Salam dari Puncak Bukit Barisan Sumatra

kompal-5d22b158097f366cd0496d52.jpg
kompal-5d22b158097f366cd0496d52.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun