20 tahun lalu, seorang perempuan bertanya di kanal atau lebih dikenal dengan parit/jalur daerah transmigrasi di Pantai Timur Sumatra Selatan, di atas jembatan kayu melengkung di depan Kantor UPTD Transmigrasi. Apa yang akan kau lakukan ketika kau dan aku sudah menua?
Pertanyaan itu sederhana. Pertanyaan itu seakan melangkahi waktu ke masa depan.
Lah, Â sang lelaki yang sedang jatuh cinta diberi pertanyaan seperti itu, tentu saja gelagapan. Mau menjawab apa? Menikah saja belum. Pertanyaan itu langsung menghujam tepat ke ulu hati si lelaki.
Mengetahui si lelaki tak bisa menjawab. Si perempuan itu lalu berjalan ke Puskesdes yang berhadapan dengan kantor UPTD Transmigrasi.
"Dok, pasiennya siap melahirkan," kata seorang bidan jaga ketika kami baru saja sampai di halaman.
Si lelaki tak berani mendekati Puskesdes karena tak tahan mendengar teriakan pasien yang kesakitan dan perintah serta penguatan dari dokter.
Si lelaki berdiri di pagar bambu yang dibangun oleh si dokter. Pagar yang sederhana. Rapi dan bertinggi tidak lebih dari tujuh puluh lima sentimeter.
Pintu masuknya juga dari bambu yang dibagi dua dengan lebar masing-masing satu meter. Pintu yang lebar dimaksudkan untuk memudahkan warga dan pasien masuk ke Puskesdes.
"Pagar kubuat, hanya untuk menghalangi kambing agar tidak makan kembang dan rumput. Aku suka kembang dan halaman berumput," ujar sang kekasih enam bulan lalu.
Bunga mawar putih yang dibawa dari Palembang bertumbuh indah. Di bentuk dan dipotong tangkainya sehingga bunga mawar putih yang mekar indah dinikmati dari teras rumah dinas.
Bibit rumput yang dulu juga dibawa dari Palembang sudah tumbuh memenuhi halaman rumah dinas dan juga Puskesdes yang bersebelahan. Waktu si lelaki membawa empat potong bibit rumput berukuran tiga puluh kali tiga puluh sentimeter, sempat ditertawakan oleh serang, pengemudi perahu cepat.