Aku menelpon istriku mengabarkan kalau sepatu lapangan kesayanganku rusak. Tak lupa kuperkuat dengan mengirim foto melalui WA sebagai bukti bagian yang rusak terutama di tengah yang kalau jalan sering menekuk. Dulu pernah dilem dan dijahit. Sekarang lepas lagi bahkan sol sepatunya koyak.
Setelah mendengarkan dengan baik. Istriku menyampaikan apakah masih ada sepatu lainnya. Kujawab masih ada.
"Sudah gitu aja?".
"Ia. Memang kenapa?" jawab istriku.
Begitulah keras kepalanya istriku kalau dia lagi ingin keras kepala. Kekerasan kepalanya juga aku yang menjadikannya. Itu kesalahanku ketika dia kuliah lagi dan lagi.
Waktu itu keuangan kami lagi cekak, istri minta sepatu, kubelikanlah sepatu hitam nonbranded. Dalam dua tahun dipakai hilir mudik kuliah dan sudah beberapa kali dijahit oleh tukang sol sepatu keliling. Jualan kemplang dan juga jualan pempek untuk kuliah lagi dan lagi juga dilakoni sambil kerja sambilan.
Sampai saat ini ketika dia sudah berjaya pun dia cuma punya empat pasang sepatu. Berjaya maksudnya sudah merdeka secara ekonomi dalam ukuran standar. Alias kalau mau makan pisang enak, dulu nunggu dulu sampai pukul 21.00 untuk potongan harga di sebuah toko terkenal. Sekarang nggak perlu nunggu waktu potongan harga.
Dalam beberapa hari terakhir istriku mengungkapkan berseliweran WA kiriman teman untuk boikot produk USA. Tetapi apa yang sudah dilakukan ternyata hanya penggalangan boikot-boikot saja. Tidak ada aksi nyata untuk menandingi apa yang diboikot.
"Perangkat lunak pengganti WA tak ada yang buat. Pengganti FB apalagi. Pengganti google lewat. Pengganti android jauh. Pengganti IOS woooo. Pengganti Windows dan Office malah kelilipan".
"Perangkat keras apalagi. Intel, AMD, Qualcomm. Walah itu malah jauh bingit. Itu di teknologi. Belum di farmasi dan juga makanan minuman. Industri kreatif walah walah walah".
"Belum lagi kaos, raket tenis, sepatu, celana, wearable. Mereka itu punya lisensi dan hak patennya yang harus dibayar bila kita menggunakannya".