Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji Kelingking

9 Desember 2017   15:16 Diperbarui: 9 Desember 2017   16:03 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara mesin ketik merek Brother terdengar nyaring. Cetak.. cetek.. cetak..  dan kemudian srrreeet.. untuk mengganti spasi baris baru. Suara itu berasal dari ruangan sempit di pojokan Lembaga Bahasa. Ruang tabloid kampus.

Lamat-lamat lagu dari radio di sekretariat, membawa bayangan aku dan Prameshwari berjalan di Air Rengit. Terik mentari, suara serangga. Pohon karet menggugurkan dedaunannya di musim kemarau.

Oh dara....

Kau pikat hati yang tak mengerti

Apa arti senyum disela-sela tarianmu

Namun sikap wajarku telah hilang

Ditepis gairah cinta yang begitu dalam...

Aaah... sepertinya aku sudah kehilangan kewarasanku

***

Perutku hangat terisi 2 telur setengah matang dan setangkup roti abon, kuteguk tetesan teh terakhir dari sarapan yang disiapkan Prameshwari.

"Aku pernah membaca tulisanmu di tabloid kampus yang ditempelkan di mading fakultas. Bagus. Aku suka."

"Eehm... ehm..."  aku sumringah.

 "Jadi aku mau minta bantuanmu. Kami akan melakukan pengobatan dan sunatan massal. Bantu aku publikasi di tabloid kampus ya."

Prameshwari terus berjalan, dia tidak menunggu jawaban persetujuanku, seolah dia yakin aku takkan mungkin menolak permintaannya.

"Datanglah besok pagi. Pulanglah hati-hati. Aku menunggumu".

***

Pagi itu aku bangun dan seperti biasa deretan kamar kos di tepi Sungai Sahang terusik gelegar lagu dangdut yang diputar Santi penjaga warung. Usai mandi dan berpakaian aku langsung ke kamar Gung. Lelaki berambut lurus itu ternyata sudah bangun dan sudah membuka pintu kamar agar sejuk pagi masuk ke kamar.

"Kuliahkah hari ini?" tanyaku. "Aku menyelesaikan tugas penelitian ilmu politik. Ini harus diketik". "Oooo," kataku sambil tanganku diam-diam mengambil kunci motor dan keluar.

Ketika motor RX King Cobra sudah meraung, Gung baru tersadar tetapi tak bisa menghentikan tarikan gas sang Cobra yang melesat cepat. Sayup terdengar. "Hoiiiii. Isi bensin kalau abis pake".

***

Para koas terlihat sudah menyusun meja. Mereka membuat alur pelayanan, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, dan pengambilan obat. Prameshwari terlihat sedang menyusun obat-obatan. Aku mendekatinya dan langsung ikut menyusun obat-obatan sambil mengucapkan selamat pagi.

Ketika tanganku dan tangannya berdekatan. Terlihat sangat kontras. Tanganku hitam dan tangannya putih. Akupun langsung menarik tanganku. Prameshwari pun tertawa melihat tingkahku.

"Kita menunggu residen*) penyakit dalam dulu sebelum mulai pengobatan. Kita masih belum bisa mengobati tanpa pengawasan."

Sang residen datang dengan didampingi oleh si pembawa berita. Jas putih lengan panjangnya ternyata menjadi penanda sedangkan dokter muda seperti Prameshwari memakai jas putih lengan pendek.

Suasana pun semakin ramai. Para Lansia, balita, anak-anak yang akan sunat, orang dewasa, tumpah ruah di halaman rumah Pak Carik. Walaupun demikian, terlihat dengan jelas alur pengobatan ini.

Foto penuhnya lokasi kerumunan warga yang antri, pendaftaran, pemeriksaan oleh koass. Foto anak kecil yang lari kencang dikejar ayahnya dan koas lelaki karena takut disunat.  Masing-masing 2 petik. Aku melihat film yang masih tersisa. Aku berharap ada bonus film, khusus untuk menangkap gerakan sang penari alias Prameshwari

Tiga jam lebih pelayanan pengobatan gratis ini hampir selesai.  Seorang lelaki mendekatiku. "Pak.  Ade  warga kami di pinggir dusun yang dek  bise kemari. Die tinggal same Nek Ine **). Ape bise dilihat oleh dokternye?  Kesian".

Reflek aku menjawab, "Nanti akan dilihat oleh dokternya. Rumahnya dimana?".

"Ujung dusun. Sekitar 300 meter dari situ ade  rumah kayu  tue."

Tanganku langsung menyambar satu bungkus nasi dari meja panitia dan kumasukkan ke dalam tas. Aku mendekati Prameshwari yang sedang mengobrol dengan warga. Tangannya langsung kupegang

"Ikut aku. Bawalah ransel, isi dengan obat. Ada anak sakit dipinggir dusun yang tak bisa datang."

Seperti tersihir, Prameswari mengikuti bisikanku. Tas ranselnya langsung diisi dengan obat-obatan.

Kami berjalan kaki, tak bisa naik motor karena motorku terkurung oleh sepeda warga yang masih menunggu pengobatan. Ada perasaan aneh. Perempuan yang berjalan disampingku ini begitu percaya dan patuh padaku. Rambutnya yang tergerai sebatas bahu menutupi bagian atas ransel.

"Biar aku saja yang bawa".

Dia melirikku sebentar dan balik berkata, "aku biasa mandiri".

Hebat kataku dalam hati.

"Kamu tak takut," kataku.

"Takut kenapa?".

"Aku berbuat jahat padamu".

"Ha ha ha. Aku percaya padamu. Lagian kamu bisa apa."

Keyakinan dirinya membuatku aku makin kagum pada sosok perempuan yang kini berjalan bersamaku di terik mentari Sumatera.

Rumah kayu tua itu ternyata halamannya dipenuhi oleh pohon buah. Ada jambu biji, rambutan, dan mangga. Di depan rumah ada kaleng-kaleng yang ditanami dengan bunga tapak dara dan rumput jarum.

Dari samping seorang perempuan tua menghampiri kami. Dari belakang bapak yang meminta bantuan kami juga tiba.

"Ini dokter yang nak ngobati cucung".

"Ooo... Aku dek ade duit. Bapaknye cucung ini lum balek dari kalangan***)".

"Gratis Nek," kataku. Muka Nek Ine seakan tak percaya.

"Iya, Nek gratis. Kami lagi mengadakan pengobatan gratis," jelas Prameshwari.

"Cucungnya di mana?".

"Di dalam, masuklah!". Seorang bocah laki-laki tergolek lemas di dipan tanpa alas, hanya ada bantal menopang kepalanya.

"Kemarin enam kali berak. Perutnya sakit. Sudeh diminumken rebusan daun jambu. Pagi ini dem tige kali". 

Prameshwari pun mengeluarkan stetoskop memeriksa dada, perutnya ditekan kiri dan kanan.

Tas ransel yang berisi obat-obatan itupun dikeluarkan dan ada satu kotak oralit.

"Ini oralit namanya. Kalau cucung berak lagi, beri obat ini. Masukkan dalam gelas 1 gelas air matang, diaduk sampai larut. Enak kok, rasa jeruk. Ini ada vitamin minum sehari sekali. Ini ada obat juga untuk ngobati sakit perutnya.  Minum obatnya ya biar cepat sembuh".

"Kalau obat sudah habis, masih berak-berak bawa ke Pustu Tanjung Lago," kata Prameshwari sambil memegang dahi si bocah.

Biasanya, anak kecil kalau melihat dokter akan ciut nyalinya dan menangis. Namun Cucung Nek Ine ternyata diam saja. Sepertinya pandangan mata Prameshwari menenangkan sang cucung.

Kami pun pamit pulang. Diiringi dengan ucapan terimakasih dari Nek Ine.

Di pertigaan jalan aku menarik tangan Prameshwari untuk masuk ke dalam kebun karet. Jalanku makin cepat bahkan sedikit berlari. Prameshwari pun mengimbangi gerak langkahku.

Di tengah kebun yang merangas di musim kemarau. Aku memberanikan diri untuk memandang mata Prameshwari yang tajam. Nafasnya agak tersengal.

"Makan yuk," kataku.

"Makan apa? Makan daun!".

"Makan nasi lah.  Aku bawa nasi bungkus".

"Darimana?".

"Dari posko lah. Aku sambar ketika aku mengajakmu tadi".

Nasi bungkus itupun keluar dari tasku.

Ketika aku langsung duduk. Prameshwari seperti agak ragu. Dia tetap berdiri tegak.

Kepalaku langsung menari dan sadar kalau dia adalah anak rumahan. Digigit nyamuk saja mungkin hanya di sini. Apalagi di dedaunan kering ini pasti akan tersembunyi semut, bahkan ulat tanah bakal membuatnya melompat.

Bukankah dia dokter? Sudahlah.

Kulepaskan jaketku dan kugelarkan di tanah. "Duduklah di atas jaketku!".

Prameshwari terlihat tertegun. Dia menuruti perintahku duduk beralaskan jaketku.

Nasi bungkus itu dibuka oleh Prameshwari. Ayam goreng ditengahkan, sayur nangka, rebusan daun ubi dan sedikit kemangi di letakkan di sekeliling nasi.

Sebelum makan, Prameshwari meminta untuk berdoa dulu. Bersyukur kepada Tuhan atas rezeki makanan yang telah terhidang di hamparan guguran daun karet.

Kami makan dalam diam. Ketika aku akan meraih ayam goreng, rupanya tangan Prameshwari juga terulur, tak sengaja tangan kami bersentuhan.

Darahku berdesir, serasa ada listrik yang menjalar sepanjang tanganku lalu menghantam jantungku. Jantungku berdegup.

Tiba-tiba tanganku di raih oleh Prameshwari.

"Ini janji kelingking. Janji! Kamu akan menjadi temanku. Kamu akan menjagaku apapun yang terjadi. Janji!".

Aku tercekat. Apakah artinya Prameshwari menerima cintaku, batinku atau menolakku secara halus.

Jantungku semakin berdegup kencang. Jemariku lemas. Matanya tajam menatapku. Aku seperti telanjang. Mukaku panas. Darahku menggelegak.

Aku mengangguk.

"Aku butuh jawaban. Bukan anggukan. Tatap mataku!".

"Iya," kataku sambil membalas tatapan matanya yang nanar.

"Terimakasih. Masuk ya... di tabloid kampus edisi ini," kata Prameshwari sambil tertawa.

Aku kembali tersenyum dengan gayanya. Nakal yang pandai.

"Janji kamu ya. Sudah habis  nih  nasi. Yok, ke Posko!" kata dokter muda ini melompat berdiri.

Berjalan dalam diam kami tak menyadari ternyata kami sudah sampai di Posko. Beberapa rekan Prameshwari yang ada memperhatikan kami dari jauh.

"Mesh, inikah orang yang meluluhkan hatimu?" tanya pembawa berita ketika kami sudah dekat dengan teman-temannya.

"Tanyalah dengannya! Aku  kan  luluh," ujarnya kalem.

***

Tulisan mengenai pengobatan massal selesai. Stopwatch di jam tanganku menunjukkan  03.38.30.  Jam menunjukkan 00.38 lewat dini hari. Foto pun sudah dipilih. Tak ada satupun foto Prameshwari. Besok rapat redaksi tabloid kampus.

***

Janji kelingking. Prameshwari bilang berteman. Menjaga dirinya apapun yang terjadi. Ahhhhhh. Apakah Prameshwari menerimaku atau menolak cintaku?

logo-kompal-baru-5a2b9b1acaf7db27e479e822.jpg
logo-kompal-baru-5a2b9b1acaf7db27e479e822.jpg
Salam Kompasiana

*) residen: mahasiswa kedokteran spesialis

**) nek ine: nenek perempuan

***) kalangan: hari pasaran, pasar tumpah yang berbeda-beda harinya setiap dusunnya.

Lagu: Dara, dinyanyikan Harvey Malaiholo, diciptakan oleh Cecep AS, tahun 1987.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun