Begitu sampai di Pagaralam. Akupun langsung menelponnya dengan ritual awal dan ritual akhir. Aku tak sadar teman-teman ku memperhatikan aku selama aku menelpon istriku. Malu jadinya.
Temanku yang dari pertanian bilang, “istrimu.” Kujawab, “ya, ada apakah?”
“Sudah berapa lama menikah?” tanya Vina. “20 tahun lebih.”
“Masih bisa seperti itu?” “Ia. Adakah yang salah?”
“Nggak, heran saja. Aku saja mesranya cuma tiga bulan. Hamil mesra sebentar. Setelah melahirkan jadi seperti robot. Nggak ada geregetnya seperti kau bilang pada istrimu.”
Sambil makan jagung rebus aku bilang, “aku punya WA, Line, Facebook karena pekerjaan. Istriku nggak mau. Katanya aku sudah capek dengan pekerjaanku. Aku nggak mau disibukkan dengan WA, Line dan Facebook dan Medsos-medsos. Dia hanya terima SMS, telepon dan email. That’s all,” jelasku.
“Kalau kami kumpul. Makan bareng. Hape nggak diangkat kecuali dari anak. Sampai saat ini dia bisa bertahan dan bisa kerja dengan baik. Temannya pun sering bertanya kenapa nggak punya Medsos dan jawabannya nggak butuh.”
Long distance relationship memang berat. Unsur kepercayaan paling dominan. Istriku pernah bilang, “aku nggak mau pusing denganmu. Aku tahunya kamu baik-baik saja di depanku. Aku tak tahu dengan apa yang kau perbuat di belakangku. Dan aku nggak mau tahu. Bila kau mau dengan perempuan lain. Silahkan jangan lupa pake sarung. Dan lapor ke aku. Cuma bila kau sudah sampai bertukar cairan dengan perempuan lain ya mohon maaf aku ndak bisa bercinta alias bertukar cairan juga. Paling tidak nunggu empat bulan dan kau harus periksa STD, HIV/AIDS. Setelah itu keputusan ada di tanganku.”
“Aku pun nggak mau bertaruh dengan keputusannya yang masih bisa menerimaku atau tidak.” Teman-temanku pun manggut-manggut sambil makan jagung rebus.
Tiba-tiba telepon bergetar dan langsung kuangkat. “Halo.” “Aku sayang kau, kangen kau, kapan balik ke rumah. Love u,” kata istriku. “Love u too. Setelah pekerjaan selesai aku akan balik ke rumah,” jawabku. Kebetulan volumenya agak keras sehingga lagi-lagi terdengar teman-teman.
Temanku yang dari penelitian, bilang, “memangnya ada berapa rumah,” tanyanya curiga. Aku pun tertawa. “Itu istilah bahwa aku hanya pulang ke rumah istriku. Rumah. Ruummaah. Rummmmaaaah itu tu. Rumah yang selalu dirindu oleh orang-orang LDR,” kataku. Semuanya pun tertawa.