Mohon tunggu...
Yogie Pranowo
Yogie Pranowo Mohon Tunggu...

Pria Kelahiran Jakarta 8 Juli 1989 ini sedang berusaha (terus dan terus)menyelesaikan tesis magisternya di STF Driyarkara Jakarta. Aktif di beberapa kelompok teater independen, dan saat ini sedang bekerja sebagai pengajar paruh waktu di Kalbis Institute.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teater realis: Yang Real Vs. Yang Ideal

25 Juni 2012   02:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34 1763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

REALISME dalam drama atau teater sangat berhubungan erat dengan tradisi drama atau teater realis di Barat. Drama atau teater realis lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mapan. Di Inggris, drama realis tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.Berkaitan dengan seni peran dapat diamati pada periode besar teater Elizabethan. Perkembangan dan pertumbuhan imperius-Inggris membuka kesempatan bagi kelompok saudagar dan pemilik-pemilik toko untuk berkembang secara ekonomis dan politis. Makin lama mereka semakin kuat dan akhirnya tumbuh pula harga dirinya sebagai kelas tersendiri. Di dalam dunia teater, pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir.

Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Para Raja dan kaum bangsawan sudah tersisih dari kehidupan, maka mereka pun tersisih dari pentas pula.

Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan demikian dikenal dalam masyarakat yang menentang danmembebaskan diri dari pandangan komunal-feodal.

Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.Sehingga tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas karya Tennesse William.

Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat. Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dsbnya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui -tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).Untuk itu dapat ditangkap bahwa realisme memuat pandangan dunia, yang memandang dunia dan alam sebagai sesuatu sasaran untuk ditaklukkan dan ditundukkan. Kemudian dimanfaatkan, dieksploatasi.

Latar Kebangkitan

Kebangkitan kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan. Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comte, serta teori-teori psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.

Sikap dan cara pandang ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Peri-peri dan sejenisnya berada di luar dunia obyektif. Dengan sendirinya para pangeran dan para putri sudah saatnya tersisih dalam kehidupan panggung.

Munculnya kelas burjuasi dan perkembangan llmu Pengetahuan abad XIX, akhirnya membangkitkan suatu pola hidup individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas burjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau, langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat. Mereka menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan ini bukan saja tidak dikenal dalam masyarakat komunal-feodal, akan tetapi justru menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal tentang individu. Oleh karena itu mudah dipahami jika dalam pentas realisme, individu-individu dibuat sangat menonjol keberadaannya. Individu sebagai tokoh protagonis dalam tindakannya bisa menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh dalam drama Klasik dan Romantik yang dilandasi semangat mitis ingin menegakkan moral dan kebenaran. Para tokoh yang dimunculkan dalam drama Romatis bisa dikatakan sebagai manusia setengah dewa

Realisme Konvensional

Setelah digambarkan bahwa realisme lahir dari dinamika kehidupan masyarakat Barat yang menekankan obyektifitas pengamatan, maka yang nampak di atas panggung kemudian ialah sebuah kehidupan yang diusahakan sesuai dengan aslinya. Dinyatakan oleh Kernodle bahwa realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan sering mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton. Kalau cerita mengenai sejarah, misalnya tentang Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, maka ruang dan keseluruhan perlengkapan pentas disesuaikan sedekat mungkin dengan bentuk dan gaya zaman itu.

Selain properties, setting dan kostum yang secara pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris.

Pendekatan pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme. Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi. Mereka bukan lagi para pangeran dan putri yang hidup dalam suasana glamour istana. Mereka adalah manusia darah daging yang harus berjuang keras dalam situasi sosial abad XIX dengan adanya revolusi industri.

Pada masa itu kemiskinan dan kejahatan telah merajalela lebih hebat daripada masa sebelumnya. Ide-ide tentang kebebasan dan persaudaraan kaum romantik telah runtuh. Akhirnya para tokoh yang diciptakan dalam lakon- lakon realisme adalah mereka yang bertentangan dengan lingkungan sosial, spiritual, maupun alam.

Realisme konvensional juga menanarnkan ciri-cirinya pada gaya penulisan sastra lakon. Lakon realisme konvensional dituntut untuk menggunakan struktur yang terjalin dengan pola sebab-akibat. Tuntutan tersebut cukup beralasan karena lakon realis harus menampilkan peristiwa secara rasional. Alur cerita semacam ini cenderung mewujudkan struktur yang dikenal dengan nama Struktur Piramida Aristoteles. Struktur ini memiliki unsur- unsur yang berturut-turut meliputi eksposisi (pembukaan), komplikasi (keruwetan), krisis (penggawatan), klimaks (puncak kegawatan), resolusi (penguraian), konklusi (kesimpulan). Jika digambarkan dalam sebuah diagram, maka rumusan di atas berbentuk seperti bangun segitiga, dengan klimaks sebagai puncaknya.

Setelah dirintis oleh George Lillo, Henrik Ibsen menempati kedudukan yang terhormat dalam hubungannya dengan realisme konvensional. Dialah puncak terpenting aliran realisme. Pada Ibsen metode dan tujuan realisme diterapkan sebaik-baiknya. Pada tahun 1875 Ibsen mulai menulis naskah dan tahun tersebut dianggap sebagai permulaan teater modern.

Realisme dan Naturalisme

Ternyata pemahaman orang pada realisme sangat beragam dan memancing perdebatan. Tidak selamanya kehidupan nyata dapat ditransformasikan ke atas panggung. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa pandangan dan interpretasi terhadap dunia nyata harus diseleksi. Konsep realisme terus bergulir dan perlu didefinisikan kembali. Kemudian muncullah berbagai varian dari realisme. Salah satu varian itu ialah naturalisme.

Pada dasarnya naturalisme mempercayai bahwa kebenaran dunia dapat diketahui dengan lima indra manusia. Tetapi naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah juga percaya bahwa kondisi manusia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keturunan.

Naturalisme menolak tampilan drama yang hanya didasarkan pada perkiraan terhadap kehidupan nyata. Setiap sajian drama naturalis adalah usaha mempraktekkan kehidupan nyata itu sendiri, bukan idealisasi kenyataan hidup. Drama naturalis adalah sepotong kehidupan nyata yang didasarkan pada kenyataan hidup yang keras dan kasar. Kenyataan yang ditranformasikan dalam pentas naturalisme misalnya drama sebabak Andre Antoine, Tukang Jagal, menghias pentas dengan daging-daging sapi sebenarnya seperti toko daging para penjagal dalam realita.

Meskipun disebut sebagai varian dari realisme, naturalisme mempunyai kecenderungan estetika yang sangat berbeda dengan realisme Realisme dipandang lebih obyektif daripada naturalisme. Dalam realisme segalanya digambarkan seperti keadaan yang sebenarnya, seperti yang dilihat oleh mata, tidak kurang tidak lebih.

Dalam teater, tema-tema drama naturalis adalah tampilan kenyataan naluri-naluri dasar yang berbahaya, seperti penyimpangan seksual, ketamakan, kerakusan dan berbagai fenomena kelaparan dan kemiskinan yang kompleks. Maxim Gorky dalam dramanya Lower Depth (1920) melukiskan tokoh-tokoh yang disergap kemelaratan, hidup di gudang bawah tanah. Mereka hanya bisa hidup dengan angan-angan dan khayalan.

Kemudian Henrik Ibsen dalam A Doll House melukiskan penyimpangan seksual seorang istri bernama Nora. Tetapi suaminya yang bernama Torvald justru memaafkan perbuatan istrinya yang mencemarkan itu. Drama ini pada intinya menggambarkan pertarungan antara kebenaran melawan hipokrisi. Para tokoh realisme abad ke IX menurut Ernst Cassirer, memiliki wawasan yang lebih cermat mengenai proses seni bila dibandingkan dengan lawan-lawan mereka, para tokoh romantikisme. Mereka meyakini naturalisme yang radikal dan tak kenal kompromi. Tetapi justru naturalisme inilah yang membuat mereka memiliki konsepsi mendalam mengenai bentuk artistik. Mereka membuat pelukisan-pelukisan amat detail tentang alam dan watak-watak manusia. Terlihat juga adanya daya imajinasi yang sangat kuat, meski mereka mundur kembali pada definisi usang bahwa seni ialah imitasi alam.

Naturalisme dalam gerakan teater, ternyata hanya sanggup bertahan sampai tahun 1900. Setelah itu hanya realismelah yang berpengaruh. Realisme justru makin berpengaruh karena perkembangan teknologi yang menunjangnya, seperti diketemukannya listrik.

Realisme dan Impresionisme

Impresionisme merupakan varian lain dari realisme. Jika drama naturalis ingin memberikan lukisan pikiran-pikiran yang berat, kejadian-kejadian yang menggetarkan jiwa, tidak demikianlah dengan drama impresionis. Drama impresionis hanya berusaha melukiskan kesannya yang sepintas pada suatu hal. Kesan tersebut tidak akan didramatisasikan secara berlebih, sebab hal itu justru akan menghilangkan kesan penglihatan dan perasaan pada mula pertama.

Drama impresionis mempunyai hubungan yang implisit dengan seni rupa. Para impresionis lebih tertarik pada pemandangan yang seolah-olah ringan dan sepele. Claude Monet menernukan impresi dalam lukisannya berupa katedral yang hilang dalam kekaburan pagi buta. Demikian pula impresi sebuah jembatan dalam senja berkabut di London. Cahaya, cuaca, kabut, waktu yang merangkak dalam hari, dan warna lokal sangat penting dalam impresionisme. Latar depan lenyap, yang muncul adalah latar belakang.

Drama impresionistik menawarkan konflik yang tersamar dan berupa persoalan-persoalan yang sepele. Kecenderungan ini menjadikan karakter tokohnya terkesan tidak mengalami perubahan watak yang jelas. Alur yang menunjang drama ini juga tidak pernah menunjukkan eksposisi dan progresi yang jelas serta klimaks yang menentukan. Ini sangat berbeda dengan drama naturalis yang tokoh, alur, konflik dan persoalannya jelas. Contoh yang cukup representatif dari kecenderungan impresionistik terdapat pada karya Anton Chekov.

Drama-drama Chekov diilhami dari kehidupan masyarakat Rusia jaman ia hidup. Tokoh-tokohnya memimpikan hidup yang berguna dan berbahagia, tetapi selalu terbentur oleh lingkungan, kepribadian dirinya dan keinginan-keinginan tokoh lain. Kejadian-kejadian yang diciptakan Chekov seakan-akan tak menentu arahnya, seperti karakter tokoh-tokohnya yang juga tak menentu. Nampaknya drama-dramanya memberi kesan murung tetapi di dalamnya banyak mengandung humor. Kemurungan dan humor muncul secara simultan dalam drama-dramanya. Ini bisa dilihat misalnya pada The Cherry Orchad (Kebun Chery, 1904).

Realisme Sosial

Aliran realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan dasar yang tepat untuk memahami realitas. Keyakinan tersebut berangkat dari suatu anggapan bahwa kenyataan tak bisa dipahami secara logis, maka kebenaran juga tak mungkin diungkapkan secara logis. Oleh karena itu kenyataan harus diperlihatkan dengan simbol-simbol. Sebuah drama symbolis cenderung bersifat samar, misterius dan membingungkan.

Sementara ekspresionisme, mendasarkan kebenaran bukan pada kenyataan-kenyataan luar seperti dalam realisme. Menurut kaum ekpresioms, kebenaran harus dicari dalam visi pribadi. Kebenaran terletak dalam jiwa, pikiran dan batin. Apa yang dianggap seseorang benar menurut batinnya harus diekspresikan meskipun tidak bersesuaian dengan dunia nyata di luarnya. Pandangan ini terasa sangat subyektif, bertentangan dengan realisme yang berusaha untuk selalu obyektif.

Sedang teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep realisme.Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht (1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada dalam puncak jaman ekspresionisme. Narnun jika kita melihat beberapa karya dramanya terlihat adanya kecenderungan menampilkan realita secara obyektif.

Realita yang ditampilkan oleh Brecht tidak sejalan dengan realisme konvensional. Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis. Karena pesan-pesan politisnya inilah teater Brecht bisa digolongkan ke dalam Arealisme sosialisa. Di samping itu karena bertujuan mengajar masyarakat untuk melihat realitas sesuai dengan pandangan yang marxistis itu, maka teater Brecht adalah juga bersifat didaktis.

Walaupun seorang marxis, Brecht tidaklah menulis lakon-lakon murahan. Sebagai seorang jenius ia dapat mengatasi kegagalan-kegagalan di bidang artistik. la kemudian tampil dengan karya-karya yang cemerlang, baik dalam bidang pemikiran, penulisan sastra lakon maupun penyutradaraan.Karena kejeniusannya dan kemampuannya di bidang artistik, ada yang beranggapan bahwa teater epik Brecht bukanlah Arealisme sosialis tapi lebih tepat digolongkan sebagai Arealisme sosial A. Ada perbedaan yang hakiki di antara ke duanya.

Realisme Sosialis, pada awalnya muncul tahun 1932 sesudah Konferensi Partai Komunis Uni Sovyet pada tanggal 30 Januari - 4 Februari 1932. Josep Stalin mengadakan perombakan besar-besaran pada seluruh aspek kehidupan, yakni perombakan dari watak proletar menuju watak sosialis. Perombakan itu termasuk dalam aktivitas budaya dan sastra yang harus memainkan peranan sebagai corong propaganda fase sosialis dalam segala bidang.

Sementara itu yang disebut dengan realisme sosial sama sekali tidak ada hubungannya dengan realisme sosialis. Pada prinsipnya realisme sosial merupakan suatu pandangan atau suatu keyakinan pengarang yang tertuang ke dalam prosa yang cermat, teliti, rinci, jujur dan obyektif dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi dan dialami oleh pengarang. Dalam realisme sosial seorang pengarang dengan sadar melakukan kritik dengan tujuan penonton menjadi kritis. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan realisme kritikal, suatu realisme sosial yang mengandung kritikan sekaligus membangkitkan reaksi kritis penonton.

Kalau diperhatikan secara teliti, realisme sosial bukanlah bagian dari struktur partai seperti dalam realisme sosialis. Aliran realisme sosial hanya menyajikan sebuah penilaian terhadap kenyataan sosial, tidak mempunyai ambisi lain kecuali menyodorkan suatu gambaran nyata yang terjadi di tengah masyarakat. Karya seni realisme sosial lebih cenderung sebagai gagasan pribadi yang mewakili golongan intelektual.

Munculnya sebutan teater epik sebetulnya untuk tujuan membedakan bentuk dan teori teateroya dengan realisme konvensional. Gaya teater epik menginginkan terjadinyajarak antara penonton, pemain dan pentas sehingga tercipta suasana kritis. Untuk menciptakan jarak ini, Brecht menciptakan prinsip V-Effect (VerfremdungsefTekt), yaitu efek pengasingan atau alienasi. Melalui efek alienasi ini baik penonton maupun pemain harus tetap mengambil jarak kritis terhadap masalah yang disajikan pengarang. Penonton maupun pemain harus tetap sadar bahwa apa yang sedang mereka lihat dan alami bukanlah kehidupan, melainkan teater.

Teater Brecht bukanlah teater illusionos seperti teater realisme konvensional. Untuk itu dalam drama Brecht tidak diternukan pola penokohan yang bisa menimbulkan efek identifikasi. Sangat dihindari proses yang menjadikan penonton larut pada tokoh yang ada di panggung. Pemahaman pemeranan dalam teater epik tidaklah menuntut aktor untuk menjiwai tokoh dalam cerita yang diperankan, seperti halnya yang dianjurkan oleh Stanislavsky dalam realisme konvensional. Pemeran dalam teater epik hadir dengan sadar untuk mendemontrasikan pikiran, perasaan dan hasrat, cita-cita dan sebagainya. Walau di dalam praktek pemeranan tidaklah mudah menernukan batas-batas yang tegas antara pelaksanaan teori Stanislavsky dan teori Brecht, tapi ciri-ciri pemeranan Brecht cukup kentara. Dalam pemeranan teater epik para pemain lebih banyak mempergunakan daya ungkap gerak-gerik (gestikulasi). Pementasan sandiwara-sandiwara Brecht dan para pengikutnya biasanya ditandai dengan pemandangan pentas yang sibuk (sering ada nyanyian dan tarian) untuk tujuan alienasi.

Sastra lakon Brecht juga berbeda dengan sastra lakon realisme konvensional yang menganut faham Aristotelian. Brecht menyebut gaya lakonnya non-Aristotelian. Peristiwa-peristiwa dalam lakon Brecht tidak secara ketat dihubungkan oleh hukum sebab-akibat. Adegan demi adegan dalam lakon teater epik lebih berupa tempelan-tempelan (montage) Kesatuan lakon diciptakan dengan mengaitkan adegan satu dan yang lainya dengan menjaga keutuhan tema. Adegan- adegan tersebut biasanya disambung dengan suatu narasi yang dalam pertunjukan dilakukan oleh narator (pembawa acara).

Tata-pentas, tata-busana dan tata-perlengkapan (properties) diusahakan untuk berbeda dengan apa yang ada dalam kehidupan Sebagai contoh, kalau dalam pementasan diperlukan perlengkapan yang dibuat dari kotak-kotak bekas pembungkus sabun, maka perlengkapan itu dibiarkan seperti apa adanya. Jika kotak tersebut digunakan sebagai kursi, maka kotak tersebut tak perlu dicat. Papan-papan kotak sabun diperlihatkan seperti apa adanya agar penonton tetap sadar bahwa itu kotak sabun yang digunakan sebagai kursi.

Realisme sosial Brecht tidak muncul begitu saja. Upaya mencari gaya teater yang tidak illusionis sebagai altematif terhadap realisme konvensional telah dilakukan orang sebelumnya. Simbolisme dan Ekspresionisme yang dirintis oleh Stindberg dan tokoh-tokoh di Jerman tahun 1920-an adalah bagian dari upaya itu. Meski demikian, upaya mereka masih memberi peluang bagi keterlibatan emosional dan identifikasi penonton terhadap tokoh-tokoh yang ada di atas pentas. Hal ini sangat berbeda dengan gaya teater Brecht yang menginginkan terjadinya jarak antara penonton, pemeran dan pentas, hingga penonton bisa tetap kritis.

Kiblat kepada seni dan ilmu teater Barat tentu saja sebuah kenyataan yang tak mungkin dielakkan. Jika kegiatan teater sebelumnya adalah teater profesional yang komersial dengan tujuan menghibur, maka seni teater menduduki masanya sebagai kajian ilmu dan penjelajahan artistik. Buku-buku seni peran karangan Richard Boleslavsky dan Stanislavsky diterjemahkan untuk dijadikan pegangan

Dari paparan di atas terlihat adanya tranformasi gaya realis yang diambil dari kebudayaan Barat ke Indonesia. Kecenderungan yang dilakukan oleh para pernuka teater modern Indonesia hanyalah sebatas pada pengungkapan gaya. Secara ideologis mereka bukanlah para kaum realis. Mereka memahami realisme lewat pemikiran-pemikiran yang diserap dari sejarah dan teori-teori Barat.

DAFTAR PUSTAKA


  • Gunawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita, Sinar Harapan, Jakarta, 1980. Jakob Sumardjo, lkhtisar Sejarah Teater Barat, Angkasa, Bandung, 1986.

  • Kernodle, George R., Invitation to The Theatre, Harcourt Brace and World, Inc., New York, 1967.

  • Mac Graw, Hill, Ensyclopedia of World Drama Vol. 2, Mytield Publishing and Co., California, 1963.

  • Soedarsono, ed., Pengantar Apresiasi Seni, Balai Pustaka, Jakarta, 1992.Tomy F. Awuy, Romantisme, Schiller, dan Rampok Horison, TahunXXVIII, Jakarta, 1993, pp. 50-54.

  • Tuti Indra Malaon, et al., Menengok Tradisi Sebuah Alternatif Bagi Teater Modern, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 1986.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun