Terjaga oleh kicau burung hantu yang cempreng di atas dahan pohon belimbing samping rumah, saya tergerak untuk menyeduh sebungkus Energen rasa jahe untuk mengurangi rasa lapar sekaligus haus. Maklum, saya tinggal sendiri. Masak sendiri, makan sendiri. Gak ada yang bikinin nasi. Apalagi yang nyuapi.
Sesambil membuka notebook putih, saya otomatis membuka beberapa akun maya sekaligus. Facebook, Twitter, Yahoo, Tumblr, Kompasiana, Friendster.*eh!*
Syukurlah tidak ada email, inbox, komen, atau mention-an berantai yang suka mengaku dari mantan atau surat elektronik berisi penawaran produk viagra. Sepertinyaa hari ini akan indah, damai, sentosa, tanpa ghibah!
Tapi tapi tapi, tidak sampai dalam hitungan rontoknya bulu hidung, ada notifikasi yang membikin mata silinder saya memicing, mendekati layar notebook yang sedikit penuh debu. Dengan sapuan tissu, saya bersihkan agar tampak lebih kinclong. Berharap tulisan yang ada di depan mata saya adalah salah, tapi rupanya tidak.
“Heh, kamu tuh ternysta punya mulut ***** ya! Tulisan aja berbau agama tapi kelakuan kaya orang gak punya agama! Gue BLOG juga loe!”
HAAAAAHH?!?!
Itu bukannya salah ketik ya?!?!
Harusnya ‘TERNYATA’ bukan ‘TERNYSTA’!
Mentang-mentang huruf ‘A’ dan ‘S’ sebelahan ya?!?!
Saya tergagap dengan ketek pengap. Otak saya berputar. Masalah sebenarnya bukan terletak pada kesalahan hurufnya, tapi boleh saya bertanya?
Itu bukannya seharusnya ‘BLOCK’ ya?!?!
Tuh, kan! Tuh, kan! Tuh, kan!
Oke, kali ini mari lebih serius. Ini kedua kalinya saya mendapat cercaan dari orang di dunia maya. Gak kenal juga sih.
Berawal dari sedikit ketegangan di grup yang saya tergabung di grup tersebut, seseorang meminta saya untuk melerai dengan tujuan untuk menengahi. Oke, saya sanggupi, meski sebenarnya saya pun ogah melibatkan diri dalam pertikaian adu mulut dengan orang lain. Tentang sebuah kode etik mengkritik yang baik di forum.
Saya anggap tidak ada masalah berarti. Toh manusia memang tempat khilaf. Tapi rupanya anggapan saya salah. Masalahnya tidak sesederhana yang saya perkirakan sebelumnya. Orang itu rupanya tidak terima dengan sedikit masukan saya, merasa saya mempermalukannya di forum itu.
Tarik napas dulu. . .
Ah iya, saya pun belum tentu benar dalam hal ini. Tapi barangkali dengan meminta maaf semuanya kembali fitri, suci, berseri. Masalah pun selesai!
Minum Energen dulu. . .
Saya pun kembali hidup damai di dumay. Menutup telinga, mata, dan mencegah jemari untuk tidak lagi sembarangan terlibat dalam komentar perselisihan. Sampai 4 hari berselang sejak kejadian itu, saya kembali eksis. Terinspirasi dari sebuah buku karya Dr. Masaru Emoto “The True Power of Water” yang saat itu memang tengah saya baca, akhirnya saya tergerak untuk menulis status ini:
“Dari sebuah kepulauan Solomon, barangkali kita akan tercengang dengan kebiasaan unik penduduknya bahwa untuk menebang sebuah pohon yang sudah berumur ratusan tahun yang akarnya telah menancap kuat dan menjalar lebar dengan batang menjulang, mereka tak perlu membuang tenaga untuk menumbangkannya. Sebab, yang mereka lakukan adalah cukup dengan meneriaki pohon tersebut selama 40 hari berturut-turut dengan teriakan umpatan dan hujatan oleh seluruh penduduk kampung kepulauan tersebut. Maka dengan sendirinya pohon tua itu akan layu, rontok, kisut, dan kemudian mati.
Dari buku “The True Power of Water” yang ditulis oleh seorang ilmuwan Jepang, Dr. Masaru Emoto, barangkali juga kita akan lebih tercengang dengan sebuah kenyataan bahwa air –yang kita kira benda mati, ternyata mampu memahami bahasa manusia. Bahasa manapun itu. Jika untuk membunuh sebuah pohon kita harus meneriakkan makian, untuk menghancurkan kualitas air cukup bisikkan atau tempelkan kalimat-kalimat kasar di dekatnya. Dengan sendirinya partikel air akan merespon makian itu hingga menyebabkan bentuk kristalnya buruk rupa.
Kenyataan ini seyogyanya bisa menyadarkan kita bahwa begitu pulalah yang akan terjadi dengan segumpal hati manusia. Hati yang selalu dipupuk dengan pujian tulus, doa yang menggetarkan jiwa, serta motivasi positif, dengan sendirinya ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, kuat, kokoh, dan hebat. Sebaliknya, hati yang kerap dihujani dengan makian, umpatan, hinaan, dan kritikan yang menjatuhkan, dengan sendirinya ia akan hancur, tumbang, untuk kemudian musnah dari peradaban.
Jaga bahasamu; ia cerminan otak dan hatimu.
Jadilah penutur yang baik, pembicara yang elegan, pengkritik yang anggun. Atau jika tidak bisa melakukannya, diam adalah lebih baik sebelum saat tanah perkuburan menyumpal pepat mulutmu.”
Lagi-lagi, tidak sampai menunggu waktu rontoknya bulu hidung, begitu status itu saya share dengan beberapa teman, komentar dan jempol seksi nangkring di sana.
Tapi bukan itu masalahnya. Notifikasi pertemanan saya nyala. Ada yang ingin menambahkan saya jadi temannya. Saya pun mengkonfirmnya. Rupanya dari dia. Alhamdulillah, dia mau berteman dengan saya. Berarti dia sudah memaafkan kesalahan saya yang tempo hari. Girang bukan main!
Dan jeng jeeeeeng. . .
Status saya dia share di wall-nya. Lalu dia bilang:
“Saya memang salah. Saya akui pada dunia bahwa saya salah dalam hal ini. Mengkritisi terlalu gamblang dan terbuka. Tapi pantaskah kesalahan saya diumbar di belakang saya dengan cara seperti ini? Sakit hati saya. Maki-maki saya langsung jika memang cara saya salah. Di inbox. Tidak usah via status!”
Astaghfirullah. . .
Saya sama sekali tidak habis pikir. Kok bisa jadi salah paham gini ya gegara status?! Ada ratusan bahkan ribuan status seliweran di beranda kita tiap detiknya, tapi apa hanya karena kebetulan kita stalking di wall salah satu teman kita dan menemukan sebuah status nangkring di-tag dari teman yang lain, lalu kita berasumsi bahwa status itu dipersembahakan untuk kita, menyindir kita, memaki kita dari belakang, padahal saat status itu diposting, kita belum berteman dengan si empunya status?!?!
Sampai detik itu saya berkali-kali garuk jilbab. Berlembar-lembar karakter tulisan juga saya posting sebagai penjelasan, tapi rupanya argumen saya tidak bisa dia terima.
“Yasudah, terserah kalau masih GR dengan status saya. Penilaian saya kembalikan pada Mba. Yang jelas, tidak ada musuh di luarmu kalau tidak ada musuh di dalammu. Bukan orang lain yang mampu menyakiti hatimu, melainkan pikiran negatifmu sendirilah yang menghancurkannya. Berfikirlah positif, dengan begitu damailah hatimu.”
Saya sempurna menyerah!
Beberapa menit kemudian, dia inbox:
“Hahaha. . . Jadi begitu ya? Iya deh maaf saya terlalu GR ya! Hahaha. . . Sebenarnya saya cuma mau ngetest karakter kamu, Osya. Sekadar kasi shock terapi buat kamu. Hahaha. . . Postingan di wall-ku barusan udah aku hapus kok, Sya! Aku tadi cuma becanda marah-marahnya. Hahaha. . .”
LHA?! NGETEST?! SHOCK TERAPI?! BECANDA?!
JADI DARI SEKIAN PENJELASAN SAYA TADI ITU CUMA BUAT MELADENI PELAKU TERAPI KEJUT?! HAHAHAHAHA. . . PLAK!!
*akun deaktif setahun!*
Lalu lalu lalu, puncaknya adalah saat saya menulis note berjudul “Surat Terbuka untuk Para Penulis”:. . .
Seperti halnya status saya di atas, note ini pun saya tulis karena terinspirasi dari hasil memamah buku-buku Kumpulan Hadist milik ayah saya, juga teringat dengan isi diskusi perihal para Ahli Hadist dengan beliau sebelumnya. Sama sekali tidak ada tendensi bertujuan untuk menyindir seseorang atau salah satu pihak tertentu. Sungguh. Demiiiii Tuhaaaaaaaaaaann! *teriak ala Arya Wiguna*
Tapi nampaknya takdir berkata lain. Kali ini note saya itu pun membuatnya merasa tersindir. Untuk yang kedua kalinya. Dan akhirnya nangkringlah postingan kalimat itu di depan mata saya.
“Heh, kamu tuh ternyata punya mulut *****[sensor] ya! Tulisan aja berbau agama tapi kelakuan kaya orang gak punya agama! Gue block juga loe!”
Saya ingin meminta maaf telah membuatnya merasa GR tersindiri lagi untuk yang kedua kali, tapi apa daya dia telah BLOG saya. Eh, salah ya, BLOCK maksudnya! Dan ternysta. . . duh salah lagi. . . ternyata tidak diberi kesempatan untuk minta maaf itu lebih menyakitkan daripada dituduh tidak punya agama. Nambah lagi deh tabungan neraka saya! *nangis di bawah guyuran shower*
Begitulah sekelumit carut marut dunia maya. Etapi, dunia nyata juga ada yang gitu sih.
"Udah ah, jangan sedih! Cuekin aja. Gak usah diladenin makhluk dari suku maya mah!" kata teman saya. Iya juga sih, tapi gak tahu kenapa, disakiti di dunia maya kok sakitnya berasa nyata. *perban hati*
Gak lagi-lagi deh posting tulisan serius gitu. Mending posting puisi gombal saja, siapa tahu dari sekian teman di list ada yang merasa GR telah saya jatuh-cintahi. Mmhihihihihi *ketawa kunti*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H