(Tulisan ini merupakan bagian dari penerbitan buku tentang pelayaran Mahasiswa Universitas Hasanuddin yang telah membelah gelombang lintas benua menggunakan perahu sandeq ke tanah Aborigin Australia)
Merunut pada sejarah mengenai pelaut-pelaut Bugis-Makassar yang sudah berabad-abad menjelajah kepulauan Nusantara, maka demikianlah alur sejarah itu direpetisi oleh Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar dengan versi berbeda.
Dengan perahu layar dan peralatan navigasi sederhana, hanya berpatokan pada matahari, bintang-bintang, bahkan bau tanah daratan, mereka memanfaatkan hembusan angin untuk berlayar sampai ke Madagaskar, dekat Afrika. Mereka juga mencari teripang di Australia, jauh sebelum pelaut Inggris James Cook (1728 –1779) menemukan benua itu, sembilan tahun sebelum kematiannya pada 1770. Hingga kini, dengan perahu-perahu pinisi, pelaut-pelaut Sulawesi masih berperan dalam pelayaran antarpulau mengangkut kayu, beras, berbagai kebutuhan pokok lainnya, dan barang-barang kelontong.
Selama ratusan tahun pinisi menjadi alat perlawanan saudagar pribumi dalam menghadapi monopoli perdagangan Serikat Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Bentuk asli pinisi tipe padewakang (disebut juga paduakang) yang ramping menjadikannya kapal yang gesit, dengan daya jelajah yang jauh. Dengan padewakang itulah para pelaut Bira menyelinap di antara kapal patroli VOC, mengacak-acak monopoli perdagangan rempah-rempah Maluku. Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik.
Padewakang mampu membawa muatan hingga 140 ton, berkeliling dari berbagai pelosok Nusantara untuk menghimpun barang seperti rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan. Barang-barang itu kemudian dijual kepada saudagar kapal jung dari Cina.
Hubungan Makassar dengan penduduk asli Australia masih diingat hingga kini, melalui sejarah lisan (lagu-lagu) dan tarian maupun lukisan-lukisan batu. Perubahan warisan budaya Aborigin karena hubungan akrab dengan orang Makassar diakibatkan oleh simbiosis mutualisme.
Orang-orang Makassar menukar barang-barang seperti pakaian, tembakau, pisau, nasi, dan alkohol demi hak khusus untuk menangkap ikan di perairan Aborigin. Hubungan ini makin erat, karena mereka juga mempekerjakan penduduk asli. Tak ada kolonialisasi dan dominasi apapun yang dilakukan orang Makassar terhadap Aborigin. Semua hubungan dua budaya terjadi tanpa keterlibatan kekerasan.
Tak ada badik yang tercabut dari warangkanya dalam perjumpaan dua karakter budaya yang terpisah di benua berbeda. Dari sisi ini terbaca, meski orang Makassar meletakkan badik di arah depan dan juga berkarakter keras, tapi terhadap Aborigin, tak tercatat adanya prilaku kekerasan berdarah.
Momen keberadaan para pengarung samudra dari Makassar ke Australia, masih merupakan perkiraan, karena sejarawan masih belum memiliki data valid tentang hal tersebut. Sumber yang berasal dari penulis Barat menunjukkan era perdagangan teripang dari Makassar telah dimulai sekitar tahun 1720. Pelayaran dari Makassar ke Australia, menurut beberapa penulis telah dimulai 300 tahun lebih awal (sekitar tahun 1400).
Bukti dari penelitian Prof. Regina Ganter menunjukkan bahwa orang Makassar sudah ke Australia sejak masa Sultan Hasanuddin (1653-1669). Kapal-kapal Pinisi dari Makasar menguasai area perairan Teluk Carpentaria – Darwin.
Marege merupakan nama yang diberikan oleh nelayan Makassar untuk Pantai Utara, Arnhem Land, Australia. Orang Makassar disebut sebagai Manggatara oleh Aborigin. Penyebutan seperti itu menunjukkan bahwa Makassar dan Aborigin, sudah saling mengenal dengan baik atau hubungan keduanya tak didahului oleh konflik apapun. Selain menangkap teripang, orang Makassar juga membawa barang dagangan hingga ke selatan Australia.
Perdagangan mulai merosot pada akhir abad ke-19, karena penetapan bea cukai oleh pemerintah Australia. Menurut Macknight, Sutherland, dan Boomgaard, aktivitas pelaut-pelaut Makassar di Australia sudah terjadi sekurang-kurangnya pada tahun 1750 hingga berakhir pada 1906/1907. Ketika itu pemerintah Australia Selatan memutuskan menghentikan penangkapan teripang di wilayah perairan Australia.
Alasan resmi yang disampaikan yakni tindakan itu untuk melindungi warga Aborigin dari pengaruh buruk orang-orang Makassar yang mengimpor minuman keras. Sisi tersembunyi dari pelarangan itu yakni tindakan pemerintah Australia lebih banyak sebagai suatu bentuk sentimen anti-Asia.
Alasan lain dari pelarangan terhadap orang-orang Makassar, karena mereka merupakan orang asing. Sebenarnya dari perspektif Aborigin, pelaut dari Makassar sebagai bagian keluarga atau kerabat, bukan hanya harfiah tapi juga realitas. Perspektif itu bisa sebagai penanda betapa eratnya hubungan tersebut, namun juga merupakan suatu bainah betapa orang Makassar telah memiliki kekuatan struktural untuk menyimpul ikatan damai dengan Aborigin.
Orang Makassar ada yang menikah dengan warga Aborigin. ‘Falsafah Tiga ujung’ yang dianut orang Bugis-Makassar, telah diaplikasikan sepenuhnya. ‘Ujung Kelamin’ sukses membuat mereka berkerabat. Alasan pemerintah yang menyatakan pelaut Makassar sebagai orang asing, merupakan sebuah pengingkaran historis atau kesesatan logika sejarah.
Keputusan politik untuk menghentikan Industri teripang orang Makassar di Australia, tidak hanya mengakhiri pelayaran tahunan antara Makassar dan Marege. Tindakan Pemerintah Australia juga menghentikan pertukaran budaya antara Makassar dan Marege yang jauh lebih dulu terjadi daripada kedatangan orang Eropa pertama di benua itu.
Pihak Australia telah mengingkari satu sejarah besar orang Makassar yang sebenarnya lebih sah disebut sebagai penemu benua Australia, karena mereka datang disana dengan menjumpai warga asli tanpa disertai kontak teror bersenjata. Hubungan antara Makassar dan Marege, bahkan dilestarikan oleh orang Aborigin dalam bentuk lukisan di gunung batu dan lukisan kulit kayu di akhir abad XIX dan di awal abad XX.
Hasil penelitian G. Chaloupka (1996) berjudul, “Praus in Marege: Makassan subjects in Aboriginal rock art of Arnhem Land, Northern Territory, Australia. Anthropologie”, dalam “International Journal of the Science of Man”, (34: 131–142) menunjukkan bukti betapa orang Aborigin lebih menunjukkan rasa suka dan persaudaran terhadap orang Makassar daripada orang kulit putih yang menjajah tanah air mereka. Orang-orang Makassar jauh lebih dulu berpengaruh pada warga asli Aborigin daripada orang-orang kulit putih.
Sentimen kebencian ras yang dianut pemerintah Australian ini, dilakukan karena orang Aborigin lebih menghormati orang Makassar sebagai suatu keluarga daripada para penjajah yang kini mengusai Australia. EPA 2 ini bisa membuktikan betapa kuatnya pengaruh budaya Makassar terhadap orang Aborigin, karena hubungan yang saling menghormati. Pengarung Samudra dari Makassar itu, ketika berada di Darwin, disebut oleh orang Aborigin sebagai ‘my family’. Ini berbeda antara orang Eropa dan Britania dengan Abprigin yang lebih bersifat relasi imperialisme antara penjajah dan yang terjajah.
Setelah penerapan undang-undang untuk melindungi ‘integritas wilayah’ Australia, perahu Makassar terakhir meninggalkan Arnhem Land tahun 1906. Permintaan teripang juga menurun, karena kekacauan di Cina pada masa itu.
Keberadaan pelaut-pelaut Makassar tercatat dalam tulisan Paul Clark, seorang Kurator Senior pada Maritime Archaeology and History, Museum and Art Gallery of the Northern Territory, Australia. Dalam tulisan berjudul, “Monsoon traders lost on the Northern Australian coast – historical evidence for their existence,” ia menulis dalam abstraknya, “Selama masa pra-kolonial dan periode awal kolonial dalam sejarah Australia (1780-1907). Para pedagang yang memanfaatkan Musim Barat dari Indonesia Bagian Timur berlayar ke Pantai Utara Australia untuk mencari produk kelautan berupa teripang untuk pasar Cina. Selama periode tersebut, kebanyakan kapal-kapal kecil itu meninggalkan pelabuhan Makassar di Sulawesi, yang merupakan pulau yang lebih besar dari Kepulauan Sunda di Nusantara Indonesia. Mereka berangkat pada Musim Barat dan kembali pada Musim Timur. Memang susah menemukan bukti mengenai adanya perahu-perahu yang karam atau hilang di Pantai Barat Australia, sehingga tak ada bukti-bukti antropologis tentang keberadaan maupun mengidentifikasi waktu yang kedatangan mereka.” Tulisan Clark terbantahkan dengan adanya bukti dalam kebudayaan Marege, berupa gambar kapal pinisi Makasar dalam karya seni kuno mereka.
Teripang ditemukan di tempat beriklim sedang dan perairan laut tropis di seluruh dunia. Pusat keanekaragaman spesies teripang yang berlimpah, ada di perairan pantai yang dangkal di sekitar pulau-pulau di Asia Tenggara dan daerah sekitarnya. Sebutan teripang berasal dari kata Melayu, yang ditujukan terhadap berbagai holothurians, meski juga secara umum dikenal sebagai mentimun laut. Di wilayah ini, diketahui terdapat 80-100 spesies. Setengah dari spesies tersebut memiliki nilai komersial. Seiring dengan sumber daya kelautan lainnya seperti mutiara dan cangkang penyu, teripang telah secara eksklusif dipanen sebagai komoditas bernilai tinggi untuk pasar internasional.
Secara historis, teripang tergolong perdagangan bisnis khusus, yang hampir sepenuhnya ditangani orang Makassar, Bugis, dan Bajo. Teripang menjadi sebagai sebuah komoditas perdagangan yang penting, karena penampilan yang tidak biasa untuk masyarakat Eropa masa itu. Terdapat sejumlah sumber sejarah yang menyatakan bahwa Makassar di Sulawesi Selatan sebagai pusat perdagangan utama teripang di Asia Tenggara. Konsumsi teripang hampir seluruhnya terbatas pada orang Cina.
Mereka mengakui teripang memiliki kelezatan kuliner dan afrodisiak (makanan yang berefek penambah gairah seksual). Seperti halnya teripang, demikian pula sirip hiu dan sarang burung, menjadi sumber perdagangan utama.
Kemudian pada Februari 1803, Matthew Flinders menyurvei bagian utara-timur Arnhem Land. Darinya dapat diperoleh penjelasan rinci pertama tentang teripang di perairan Australia. Ia menyebutkan tentang celah sempit antara Tanjung Wilberforcedan Kepulauan Bromley. Di kepulauan itu, ia melihat enam kapal dari Makassar yang datang ke Autralia memanfaatkan angin Musim Barat. Kedatangan mereka dimulai pada Desember untuk melakukan perjalanan sepanjang Pantai Utara Australia mencari teripang. Mereka dilengkapi dengan semua kebutuhan untuk membangun perkampungan kecil dekat pantai. Mereka juga mendirikan tempat pengasapan untuk teripang. Mayoritas bahan pasokan dibawa dari Makassar, termasuk tembakau dan komoditas lain untuk orang-orang Aborigin. Para pengumpul teripang menggunakan kayu bakar dari pohon bakau dari daerah tersebut untuk pengeringan.
Pelayaran hanya tergantung pada angin. Untuk itu dibutuhkan sekitar 10-15 hari demi menempuh jarak 1.600 km dari Makassar ke Marege. Mereka pulang ke Makassar dari alur Marege ke Kayu Jawa terus menyeberang ke Kupang menggunakan angin Musim Timur. Alur Marege terbentang luas dari pantai dekat Pulau Melville sampai jauh ke arah bagian dalam Teluk Carpentaria. Sebutan Kayu Jawa pada suatu tempat di bagian barat Pantai Australia, karena mereka menanam sejenis kayu dengan nama demikian. Kayu jawa, sebagai nama jenis yang tak digunakan nama geografis disebut sebagai kayu cina oleh orang Bantaeng. Kayu ini dikenal juga sebagai kayu tammate (kayu yang tak bisa mati) oleh orang Bulukumba, karena begitu telah tumbuh maka susah sekali mati, bila masih tertanam dalam tanah. Kayu itu memang lazim tumbuh di pulau-pulau maupun di daratan Sulawesi Selatan, terutama Makassar.
Keunggulan dari kayu tersebut, karena gampang tumbuh dimanapun, meski berada di pantai yang terkena air garam. Kayu tersebut juga merupakan obat antibiotik bagi luka dengan cara menempelkan kulit bagian dalam ke luka. Bila diminum dapat pula mengobati penyakit dalam. Selain sebagai penanda keberadaan orang Makassar di suatu tempat, kayu itu menjadi sumber obat herbal. Tak perlu pemeliharaan khusus, cukup di tancap di tanah, pasti tumbuh subur. Kayu khas yang identik dengan suasana Makassar di Marege yakni adanya kayu jawa, pohon asam, dan pohon aren tala.
Ketika angin berubah pada sekitar April, kapal kembali ke Makassar. Kargo rata-rata mereka bervariasi dari 8,5 ton menjadi lebih dari 22 ton setiap tahun. Diperkirakan mencapai 2000 orang melakukan perjalanan laut untuk keperluan penangkapan teripang. Pengolahan dilakukan di pemukiman sementara antara Semenanjung Cobourg dan bagian bawah Teluk Carpentaria. Mereka terutama mengumpulkan teripang abu-abu, yang juga digambarkan sebagai teripang kapur putih. Varietas ini bukan yang paling berharga, sehingga hanya dijual dengan harga wajar, lagi pula jumlahnya sangat berlimpah untuk ditangkap. Menurut sumber-sumber kontemporer, teripang Marege dan teripang Kayu Jawa menjadi varietas unggulan dalam pemasaran dengan harga tertinggi.
Beberapa komunitas Yolngu Aborigin di Arnhem land, mengubah status perekonomian mereka dari berbasis darat menjadi berbasis laut, karena masuknya teknologi Makassar seperti kapal laut. Kapal yang mampu berlayar demikian jauh itu, tidak seperti perahu tradisional Yolngu yang hanya mampu berkeliling di pantai dangkal. Hal itu memungkinkan penangkapan dugong (ikan duyung) dan penyu di laut dalam. Akibat hubungan simbiosis mutualisme ini, beberapa pekerja Aborigin menemani orang Makassar kembali ke Sulawesi Selatan.
Orang Makassar dan Aborigin mengeratkan hubungan dengan membentuk kekerabatan melalui pernikahan dan juga satu keimanan dalam Islam. Dalam urusan pernikahan itu, Peter ”Daeng Makulle” Spillet, sejarawan legendaris Australia pernah mempertautkan keluarga Matjuwi Burarrwanga dengan keturunan terakhir Husein Daeng Rangka yakni Mansjur Muhayang di Makassar. Matjuwi, tinggal di Galiwinku, Pulau Elcho. Ia merupakan hasil pernikahan Aborigin dan Makassar. Di tanah Arnhem, Marege, orang Makassar berhubungan baik dengan suku Aborigin, menikah dan beranak pinak. Perpaduan Makassar-Aborigin berdasarkan keyakinan Islam kemudian membentuk komunitas Aborigin Muslim.
Ketika Aborigin Muslim melawan penjajah Inggris, mereka menyebut perang itu sebagai Jihad Kaphe’ (jihad terhadap orang kafir). Sebutan ini memastikan mereka kukuh memegang agamanya meski secarik nyawa sebagai resiko utama. Ketika inspirasi jihad memasuki spirit keislaman Aborigin Muslim, maka doktrin penyebaran Islam yang juga untuk menghadapi serangan kaphe’ , telah berhasil dijalankan orang Makassar.
Meski tak tercatat, adanya ulama dengan keilmuan syariat yang lengkap dalam penyebaran Islam, tapi adanya salah satu inti keislaman berupa Jihad Kaphe’, menunjukkan semangat orang Makassar yang tak berhenti melawan Balandayya (sebutan umum orang Makassar tentang penjajah Belanda dan bangsa apapun yang berkategori bule). Sebutan Balanda, juga dipakai orang Aborigin terhadap orang Inggris, yang memastikan adanya musuh bersama pada masa itu. Dalam urusan perdagangan pun, orang Makassar masih terpelihara semangat jihadnya, apalagi dalam peperangan sesungguhnya.
Tim EPA 2 di Darwin, shalat Jumat bersama Muslim Aborigin. Keislaman mereka terpelihara, meski pihak Inggris berusaha total memurtadkan selama masa penjahannya dalam misi global bernama 3G (Gold, Glory and Gospel). Imperialisme Barat mengusung misi untuk mendapatkan emas (Gold), kemenangan Tuhan Yesus atas tanah jajahan (Glory) dan sekaligus memadukan kristenisasi besar-besaran (Gospel) dengan mengirim misionaris dan zending.
Penjajahan Inggris pada Aborigin di Marege dan Kayu Jawa, berakibat pada penghancuran budaya Islam pula. Westernisasi juga dipakai oleh Inggris untuk membuat Aborigin Muslim murtad dari agama Islam.
Tulisan Sufyan Al-Jawi, berjudul “Jejak Prajurit Islam Majapahit dari Bali hingga Australia” menyebutkan keberadaan prajurit Islam Majapahit di Marege-Australia (oase.compas.com, Selasa, 7/08/12). Prajurit Muslim itu berasal dari Makassar. Sufyan, arkeolog di Numistik Indonesia, mengemukakan sebaiknya sejarah resmi Australia harus direvisi. Ia mendasarkan tulisannya pada penelitian Prof. Regina Ganter, sejarawan dari University of Griffith, Brisbane, Australia. Ganter meneliti meriset suku Aborigin Marege yang berbahasa Melayu Makasar. Ia menemukan fakta bahwa komunitas Muslim kuno Aborigin berasal dari Kerajaan Gowa Tallo, Makasar, yang sudah ada sejak abad ke 17 (1650 an). Orang Makassar yang menyebarkan Islam di Australia Utara hingga ke Kayu Jawa di Australia Barat.
Bahasa Makassar campuran yang disebut Pidgin Malaya menjadi lingua franca di Pantai Utara. Bahasa itu tidak hanya dipergunakan untuk berkomunikasi antara orang Makassar dengan penduduk Aborigin, tetapi juga antara suku-suku Aborigin yang berbeda. Kata dari bahasa Makassar masih dapat ditemui dalam bahasa-bahasa Aborigin di Pantai Utara; misalnya rupiah (uang), jama (kerja), pammaja’ (wajan), kaluru (merokok) dan balanda, atau walanda (orang kulit putih).
Ketika ada Tim EPA 2 merokok, warga Aborigin Darwin dengan yang hendak merokok, meminta dengan ucapan, “Kaluru Brother!” kosakata Bahasa Makassar masih dipergunakan sebagaimana relasi pertemanan kala Tim EPA 2 melakukan kontak keakraban dengan saudara mereka tersebut. Dalam bahasa Makassar terkini juga demikian, karena masih ada ungkapan dari orang yang suka merokok tapi malas membeli yakni “Kaluru’ rong!” (minta rokok dong!)
Selama periode pra dan di awal kolonial dalam sejarah Australia (1780-1907). Pedagang dan nelayan yang disebut Macassans (orang-orang Makassar) telah berlayar dari bagian timur Indonesia dengan kapal-kapal kecil untuk mencari teripang (holothurian) dan berbagai produk kelautan seperti kulit penyu (Eretmochelys imbricata) kerang mutiara (Pinctada sp.) untuk dipasarkan di kalangan orang China.
Selama masa itu, kebanyakan perahu meninggalkan pelabuhan Makassar pada Musim Barat (November-Desember) dan kembali pada Musim Timur (April-Mei). Menurut Alfred Searcy, yang bekerja sebagai Sub-Collector Beacukai Pelabuhan Darwin (1882–1896), “Perahu orang Makassar pada mulanya terlihat di Pulau Melville, sebelum menyusuri pantai ke arah timur, hingga berlayar sejauh mungkin ke arah Teluk Carpentaria.” (Searcy 1907:45–46). Tradisi keberangkatan itu juga diikuti oleh EPA II, meski berangkat lebih dulu sebulan dari kebiasaan pelaut Makassar di abad XVII dan XIX.
Bukti keberadaan pelaut Makassar yang menangkap teripang pada abad XVIII dan XIX telah dikumpulkan langsung dari Makassar pada tahun 1992 oleh Peter Spillett, dari The Museum and Art gallery of the Northern Territory. Di museum itu juga terdapat kulit penyu baik yang masih belum diolah maupun yang sudah berbentuk seperti sisir, gelang maupun gelang. Kerang mutiara yang belum dipoles juga bisa ditemukan di museum tersebut. Perahu padewakang dengan layar tanjung juga bisa dilihat di dalam musium.
Keberadaan pelaut Makassar, direkam oleh pelaut Prancis dan Inggris yang khusus menyewa pelukis perahu. Louis Le Breton dari Prancis dan William Westrall dari Inggris telah melihat keberadaan perahu dari Makassar yang disebut padewakang, di pantai Teritori Utara Australia.
Le Breton menyatakan pelaut China dengan kapal jung telah mengadakan pelayaran tahunan ke Makassar untuk tujuan membeli teripang maupun produk-produk kelautan. Kapal China membawa barang dagangan berupa keramik, sutra, dan teh. Hasil lukisan dari Louis Le Breton 1839 (Dumont d’Urville 1846) tentang perahu padewakkang diberi judul, “Praos Bouguis a la Voile Baie Raffles” (Bugis perahu under sail, Raffles Bay).
Lukisan itu menggambarkan perahu padewakang di Teluk Raffles, arah luar Semenanjung Coburg Teritori Utara Australia. Lukisan itu terpajang di National Library of Australia. Sebutan Bugis dan Makassar merupakan entitas utama tentang siapapun yang datang dari Makassar, tanpa memisahkan mereka sebagai suatu perbedaan. Jadi orang Makassar bisa disebut juga Bugis, begitupun sebaliknya dalam pengamatan orang Barat.
Di teluk itu juga, Le Breton mendokumentasikan pemukiman pelaut Makassar. Mereka mengolah teripang dengan wajan yang disebut pammaja’. Sebutan itu juga masih terpakai sampai sekarang untuk menyebut alat untuk menggoreng dan meng-sangrai. Pammaja’ itu diletakkan di bagian depan dan belakang perahu-perahu kecil yang digunakan untuk menangkap teripang. Keberadaan perkampungan nelayan Makassar di Teluk Raffles, dapat pula dilihat lukisannya di Museum and Art Gallery of the Northern Territory. Le Breton melukisnya pada tahun 1841. Di musium itu juga terdapat pammaja’ dari Bontobahari, Bulukumba.
Paul Clark memperjelas lagi tentang perahu dari Makassar, dalam suatu bagian berjudul, “What a Macassan perahu may have looked like.” Ia menyebutkan keberadaan tiga buku perjalanan yang dipublikasian pada akhir abad XVIII. Dua bagian yang pertama ditulis oleh Thomas Forrest yang dipublikasikan pada tahun 1780 dan 1792. Buku ketiga ditulis John Splinter Stavorinus.
Tulisan Stavorinus diterjemahkan dari bahasa Belanda, dan kemudian dipublikasikan dalam bahasa Inggris pada tahun 1798. Forrest membuat sketsa dan juga menulis tentang perahu dari Makassar. Ia mencatat keberadaan perahu padewakang (paduwakang, paduakan) dari bagian selatan Sulawesi di sekitar Pelabuhan Makassar, yang dihubungkan dengan orang Bugis di area tersebut. Ia menulis tentang pelayaran orang Bugis ke bagian utara Australia dengan perahu padewakang. “Beberapa orang Bugis menceritakan pada saya bahwa mereka berlayar dengan perahu padewakang ke bagian-bagian barat New Holland, di sekitar Teluk Carpentaria untuk mengumpulkan teripang, yang kemudian dijual kepada pedagang Cina yang datang tiap tahun ke Makassar (Forrest 1792:82–83).
Kathleen Schwerdtner Máňez dan Sebastian C. A. Ferse dari “Leibniz-Center for Tropical Marine Ecology (ZMT) Bremen, Germany”, menulis dalam jurnal “Plos One” (June 2010, Volume 5, Issue 6, e11346), dengan judul, “The History of Makassan Trepang Fishing and Trade”. Dalam jurnal itu disebutkan dalam bagian abstrak antara lain yakni, “Sedikitnya selama 300 tahun, teripang menjadi komoditas berharga tinggi di pasar China. Pada mulanya, penangkapan ikan dan perdagangan merupakan suatu bisnis yang terdepan, yang berpusat di kota Makassar, Sulawesi Selatan (Indonesia). Peningkatan penangkapan teripang pada abad XVIII merupakan nilai tambah dalam perdagangan ekspor terhadap hasil yang didapat di sekitar laut dangkal yang kaya akan hasil laut di sekeliling Asia Tenggara.”
Keberadaan pelaut-pelaut dari Makassar tersebut, merupakan jembatan budaya yang damai terhadap warga Aborigin. Tak ada perang fisik berdarah yang berisi cerita pertumpahan darah dengan warga Aborigin. Berbeda halnya dengan orang Eropa dan Inggris yang justru menjadi penjajah resmi terhadap warga asli Benua Kanguru.
Orang Aborigin sampai sekarang menganggap semua orang kulit putih atau Balanda (dalam sastra lisan) merupakan penjajah. Sifat khas Bugis-Makassar yang cinta damai dan pandai bergaul dibuktikan dalam pelayaran mencari teripang tersebut.
Meski berhadapan dengan orang yang sama sekali berlainan bahasa, keyakinan dan warna kulit, tapi sikap moral Bugis-Makassar menunjukkan kevalidan bahwa tak perlu badik berdarah untuk menundukkan siapapun. Menundukkan siapapun berarti juga menunjukkan sikap penghormatan penuh kepada mereka, itulah karakter fundamen moral Bugis-Makassar.
Bila orang Bugis-Makassar digambarkan sebagai suku yang mudah naik darah, pemarah dan bertindak penuh kekasaran, maka itu cuma stereotipe yang dibuat penjajah Belanda. Ketika mahasiswa Makassar maniak tawuran hingga mengakibatkan sesama mahasiswa tewas dan luka parah, maka darimana pewarisan kekerasan biadab itu mereka dapatkan?
Tak ada warisan historis demikian dari tobarani (para pemberani) para pelaut-pelaut Bugis-Makassar yang berlayar hingga ke bagian benua lain. Bukti-bukti historis berbasis moral itulah yang telah dibuktikan oleh tujuh anggota terbaik Korpala-Unhas yang berlayar ke tanah tumpah darah Aborigin. Meski para mahasiswa Unhas itu berbeda bahasa dengan orang Aborigin, tapi ikatan kultural tetap menjadi pengikat imajiner dari keterkaitan kebajikan masa silam.
Penjajah tak pergi begitu saja dari Nusantara ini, mereka terlebih dahulu menebar benih-benih permusuhan sublim, sehingga sekarang bangsa ini dengan mudah menuai amuk horizontal. Semua telah sukses memperagakan kemampuan mengamuk itu, bahkan dilakukan oleh aparat bersenjata seperti TNI versus Polri. Mahasiswa, penduduk kampung, dan warga urban juga sering menyibukkan diri dengan perang batu lintas fakultas/universitas, perang suku, konflik lintas lorong, permusuhan para penganut agama yang berbeda dan sebagainya.
Jihad Kaphe’, sebagaimana yang diaplikasikan orang Aborigin harus tetap dilakukan warga Bugis-Makassar dan penghuni negeri ini. Caranya dengan selalu mewaspadai adanya pemicu amuk horizontal yang entah terkirim dari mana dan menahan diri untuk tidak melakukan tindak kekerasan apapun terhadap sesama warga republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H