(Bagian dari buku "Ombak Makassar di Pantai Dariwin")
Merunut pada sejarah mengenai pelaut-pelaut Bugis-Makassar yang sudah berabad-abad menjelajah kepulauan Nusantara, itulah dasar pertama ekspedisi ini. Demikianlah alur sejarah itu direpetisi oleh Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar dengan versi berbeda.
Pelaut dari Kampus Merah tersebut, tetap menggunakan cara tradisional pula. Kemajuan teknologi tetap tak bisa diabaikan, sehingga mereka dilengkapi peralatan dan perlengkapan navigasi berupa peta, mistar, kompas laut, dan Global Position System (GPS). Perahu juga sudah dipasangi mesin yang dipakai ketika ‘mati angin’ atau untuk masuk menuju dermaga. Dengan mesin, biduk tak berpantang surut ke pantai.
Dulu, para pelaut Bugis-Makassar, dengan perahu layar dan peralatan navigasi yang seluruhnya berpatokan pada alam, bisa bermain bersama badai ke negeri dan benua seberang. Hanya berpatokan pada matahari, bintang-bintang, bahkan bau tanah daratan, para pelaut Bugis-Makassar memanfaatkan hembusan angin untuk berlayar sampai ke Madagaskar, dekat Afrika.
Nelayan Makassar telah menginjak Australia, jauh sebelum pelaut Inggris James Cook (1728 –1779) menemukan benua itu. Cook berada di Australia pada tahun 1770. Cook di Australia, sembilan tahun sebelum ia diterkam kematian di tangan warga Hawai.
Kematian Cook terjadi dalam ekspedisi pelayaran ketiga sebagai komandan kapal HMSResolution. Dalam “HMB Endeavour Circumnavigation of Australia Education Resources, Australian National Maritime Museum”, dikisahkan tentang promosinya sebagai kapten. Promosi itu, Cook terima setelah sukses pada pelayaran pertamanya di Pasifik dan berhasil membuat eksplorasi antara tahun 1772 dan 1779.
Khusus tentang warga Aborigin, Cook menulis, ‘They seem to have no fix’d habitation but move about from place to place... in search of food.’ (Mereka kelihatannya tak memiliki tempat tinggal tetap, tapi bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya… untuk mencari makanan). Sebenarnya tak ada bukti yang menunjukkan, Cook melihat langsung warga asli Australia tersebut, sebelum ia mengklaim dirinya sebagai penemu bagian timur benua tersebut.
Cook menjustifikasi, “Tempat ini belum pernah dilihat dan dikunjungi oleh seorang pun warga Eropa sebelum kami.” Tulisan Cook juga keliru, karena adanya orang Makassar, maka orang Aborigin mulai hidup menetap, meski temporer dalam suatu musim penangkapan teripang. Memang belum pernah ada Eropa sebelumnya, tapi orang Makassar sudah beratus tahun lamanya keluar masuk Australia.
Orang Makassar mengajari cara hidup baru pada Aborigin dengan membuat ‘balla’ (Makassar : rumah). Bagi orang Makassar, ‘balla’ bukan hanya ‘house’, tapi juga ‘home’, bahkan ‘castle’. Dengan ada ‘balla’ maka Australia menjadi ‘homeland’ untuk Aborigin dan Makassar, sebelum invasi orang Barat. Homeland berarti one’s native land, sebuah kepemilikan tanah untuk orang asli. Australia milik Aborigin sebagai ‘native’ (warga asli) beserta kerabat dan sahabat mereka dari Makassar. Dengan demikian, sangat salah ketika Cook mengatakan ‘no fix’d habitation’ terhadap Aborigin.
Wilayah yang diklaim Cook kemudian dijadikan area pembuangan narapidana oleh Inggris selama delapan belas tahun kemudian. Tindakan Inggris tersebut kemudian dianggap sebagai suatu invasi dan hingga kini isu rekonsiliasi dengan warga Aborigin belum pernah sepenuhnya dilakukan. Pandangan Australian National Maritime Museum tersebut memastikan kedatangan Inggris memang suatu bentuk penjajahan terhadap warga Aborigin.
Invasi adalah bentuk penjajahan, bukan kedatangan dengan maksud damai dan bersahabat. Apalagi yang dikirim dari Inggris merupakan para penjahat yang tak punya tempat lagi di Inggris. Keturunan para penjahat itu yang kini menguasai papan atas politik Australia.
Bila Cook menuju Australia dengan tujuan pencarian tanah untuk dijajah, maka pelaut dari Makassar melakukannya untuk maksud damai. Cook dikenal sebagai navigator, kartografer, dan penjelajah tersebut. Ia merupakan orang Eropa pertama yang tercatat mengunjungi Pantai Timur Australia. Ia berada di Australia dalam ekspedisi pelayaran pertamanya sebagai komandan kapal HM Bark Endeavour.
Salah Kaprah Slogan Makassar
Kini ada pepatah orang laut yang disalah-pahami oleh orang daratan, bahkan menjadi slogan kota Makassar. Slogan itu terbaca pada lambang kota Makassar berupa, “Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai.” Pepatah itu ternyata bukan tentang suatu kedalaman isi makna, tapi suatu fenomena betapa susah kembali ke pantai jika hanya mengandalkan layar, apalagi cuma mendayung.
Lambang kota Makassar, terlihat ada padi dan kapas yang mengapit pinisi, lalu slogan itu terbaca pada bagian bawah. Bila slogan itu berkaitan dengan pinisi, maka memang mustahil kapal itu surut ke pantai, kalau tak ada dorongan angin laut. Apalagi pinisi tak memiliki perangkat atau awak yang khusus untuk mendayung. Pinisi memang bukan jenis kapal yang mudah dibuat untuk surut ke pantai.
Begitu mustahilnya, sehingga ada pepatah Makassar berupa, “Kuaalleangi tallanga na toalia” atau “lebih baik tenggelam daripada kembali”. Jauh lebih mudah kapal tenggelam dalam laut daripada kemungkinan untuk kembali. Tak ada opsi untuk kembali ke pantai, selain tenggelam.
Bila angin darat sudah bertiup dan layar terkembang, memang pantang biduk surut ke pantai, karena tak bisa dilakukan. Setelah penggunaan mesin, bila ombak besar dan tentu saja sia-sia mencari ikan, maka biarpun layar sudah terkembang, biduk masih mampu kembali ke pantai. Caranya gulung layar dan gunakan mesin.
Menurut Neil, itulah salah kaprah yang diambil begitu saja oleh orang daratan, tanpa melihat kenyataan. Kekeliruan dari segi slogan, telah membuat Makassar, sudah tak berbudaya dari segi pencomotan ungkapan lisan orang laut. Meski layar terkembang, biduk selalu bisa surut ke pantai berbeda, bila sudah menggunakan mesin.
Seharusnya pepatah Makassar itu dianulir, karena itu cuma cocok di masa sebelum adanya mesin. Teknologi sudah maju, tapi pepatah lama masih terpakai dan menjadi bahan tertawaan orang laut.
Mesin yang dipakai dalam ekspedisi itu, langsung membuktikan betapa slogan kota Makassar sudah saatnya diganti saja. Ada rasa humor yang filosofis dalam slogan itu, untuk menertawai ketidak-mampuan mereka mengatasi masalah.
Tapi entah mengapa rasa humor itu, dipakai sebagai suatu falsafah manusia daratan. Orang Makassar, adalah masyarakat literasi karena adanya aksara Lontar, sehingga mudah mengoreksi petatah-petitih lisan yang kadaluarsa. Tapi mengapa, Pemkot Makassar masih berada di ‘lorong buntu’ alias kuldesak dalam memahami ungkapan berangin-angin keras itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H