Mohon tunggu...
Ostaf Al Mustafa
Ostaf Al Mustafa Mohon Tunggu... -

MAJELIS KEDAULATAN RAKYAT INDONESIA (MKRI) SULAWESI SELATAN, UNTUK REVOLUSI INDONESIA RAYA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis Teks Media, dengan Sebelah Mata

7 November 2013   15:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:29 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pilihan memahami teks, bisa seperti patung Dewi Justicia, yakni tutup mata dengan sengaja membutakan diri. Tapi apakah tangan kanan yang memegang pedang telah membutakannya? Bila iya, apakah kedua timbangan itu sebagai simbol pengganti dari kedua matanya agar bisa melihat dalam keberimbangan atau justru kebimbangan?

Di Indonesia, meski hanya fiksi, ada sosok jagoan komik, yang sengaja membutakan matanya untuk mencapai ilmu pedang atau ilmu silat tertinggi. Kehadiran pedang, dalam sosok tersebut tergantikan dengan tongkat. Jagoan itu yakni Barda Mandrawata alias “Si Buta dari Goa Hantu”. Tokoh yang dibuat komikus Ganes TH (1967).

Bagi Barda, bila masih melihat, maka musuh-musuh yang menindas, bedabah, dan jahat, akan susah ia kalahkan. Bila ia kalah karena ilmu lebih rendah, maka keadilan tak bisa ditegakkan dengan jalan pedang. Jalan pedang, Barda mulai dengan mengangkat golok dan menggoresnya sejajar dengan mata untuk membuat dirinya buta. Tokoh ini menjelajahi Nusantara untuk memberantas kejahatan.

Semua pedang, termasuk yang dipegang Dewi Justicia persis seperti hukum di Indonesia, yakni tajam menyayat, menguliti, menebas dan melukai pada bagian bawah, namun tumpul pada bagian atas. Hukum selalu tajam pada orang bawah, jelata, dan kurang beruang, tapi selalu tumpul pada bagian atas. Memang ada juga versi pedang Dewi Justicia yang bermata dua, alias tajam di kedua sisi.

Biasanya pedang Romawi bermata dua yang disebut gladius. Gladius merujuk pad apedang pendekyang digunakan sebagai senjata prajurit Legiun Romawi di abad ketiga Masehi. Justicia meski berasal dari Romawi, tapi tidak menggunakan pedang jenis gladius.

Pedang Tumpul  Bawah vs Tumpul Atas

Karena entitas pedang Dewi Justicia selalu tumpul menghadapi pihak atas, maka harus ada orang yang membuat perisai sebagai proteksi terhadap orang-orang yang tak mendapat keadilan. Perisai itu disebut advokasi. Pedang Yunani yang digunakan pasukan kavaleri biasanya bermata tunggal (makhaira), meski ada juga yang bermata ganda (xiphos).Advokasi bisa dengan litigasi dan non-litigasi. Mahasiswa bisa melakukan itu dengan membantu masyarakat bawah yang rentan ketidak-adilan seperti penggusuran, tindak kekerasan aparat dan sebagainya.

Tentu saja selalu ada pengecualian pada apapun, termasuk pedang. Masih dalam dunia komik, muncul jagoan baru dari Jepang, yang digambarkan hidup di masa ‘Restorasi Meiji’ yakni Himura Kenshin atau Kenshin Himura. Tokoh protagonis yang legendaris sebagai "Hitokiri Battōsai" (Battosai Sang Penyayat).

Pedang atau Katana yang menjadi simbol penentangannya atas ketidak-adilan, tak akan mungkin dipakai membunuh itu, disebut sakabatō. Katana itu, sangat berbeda dengan pedang Dewi Justicia. Katana milik Kenshin, tumpul bagian bawah, namun tajam di bagian atas. Diceritakan, ia selalu melawan tokoh-tokoh Jepang dari kalangan atas yang jahat.

Berbeda dengan tokoh berpedang seperti Dewi Justicia atau Si Buta dari Goa Hantu, Kenshin memiliki tanggal lahir yakni 20 Juni 1849. Masa remajanya adalah era Periode Tokugawa, yang kemudian menghasilkan Revolusi besar yang disebut Restorasi Meiji.

Tokoh Kenshin tak sepenuhnya fiksi, karena diambil dari sosok pembunuh juga Kawakami Gensai (1834 – 1872) . Gensai dikisahkan juga sebagai tokoh yang menggunakan katana dan samurai untuk membantu rakyat kecil yang tertindas. Nama julukan Kenshin sebagai Hitokiri, diambil dari nama lain Gensai.

Hukum Tak Bermata Hati

Ikon Dewi Justicia, sama sekali tak pernah dibahas dari segi spiritual, meski ia merupakan sosok berhala. Yunani hingga Romawi, meskipun meyakini kepercayaan seperti layaknya agama, tapi ada gambaran spiritual dari sosok yang disembah, malah yang mengemuka berupa filsafat yang berkaitan dengan kekuatan dari lapisan kosmologi atas, tempat dewa dan dewi bersemayam. Disinilah keadilan dan hukum untuk kosmologi bawah (bumi) dibuat untuk ditaati.

Selalu ada makhluk yang jahat di bumi, yang berhubungan dengan karakter dewa/dewi di kosmologi atas tersebut. Bila ada dewi/dewa yang berwatak jahat, maka kejahatan itu terlaksana melalui para penyembahnya di bumi.

Kemungkinan, adanya dewi yang tertutup matanya, merupakan sikap untuk melawan atau menghadapi ketidak-adilan, tanpa melihat aktor intelektualnya dari dewa atau dewi. Masalahnya kenapa karakter dewi yang tertutup matanya, baru muncul tahun 1500-an dan bukan dalam mitologi Yunani. Dewi Themis sebagai Titan, tak digambarkan buta. Ketika dewa/dewi Yunani dikonversi ke Romawi, maka Dewi Themis disebut Lusticia atau Justicia, yang kemudian menjadi asal dari kata ‘justice’ (keadilan/hukum).

Pedang dan Tongkat menjadi Pena

Keadilan melalui jalan pedang hingga tongkat, selalu dipercaya dimanapun. Dipercaya dalam narasi dari sastra lisan dan tulisan, termasuk teks gambar. Di Cina, simbol keadilan dalam bentuk tongkat, bisa dilihat pada cerita silat yang mengisahkan tongkat pemukul anjing dari partai pengemis (Kaipang).

Dalam negara dengan hukum yang digunakan ‘main kayu’, sebagaimana yang terjadi sekarang, memang harus ada yang berlaku untuk menggunakan ‘tongkat pemukul anjing’. Pasal-pasal hukum, seperti lolongan, yang sama sekali tak berguna ketika sang anjing disuap dengan uang, tulang dan daging. Sekarang, mahasiswa bisa menggunakan tongkat untuk memukul anjing-anjing seperti itu.

Tentu fiksi tentang jagoan pedang dan tongkat tak mungkin ada lagi di realitas terkini. Simbol pedang dan tongkat, tergantikan oleh pena. Di era digital, pena tak lagi bertinta secara fisik, tergantikan oleh qwerty dan sejenisnya. Bukannya pena hilang begitu saja, tapi bisa menjadi simbol keadilan karena ketajamannya terasah oleh tesaurus, kamus, dan penguasaan kata-kata yang berpihak kepada mereka yang tertindas.

Denotasi, Konotasi dan Mitos

Memahami hukum dan keadilan bisa dipahami dari denotasi, konotasi, dan mitos. Themis, Judicia, Si Buta dari Goa Hantu, Tongkat Pemukul Anjing, Battosai Sang Penyayat, maupun tokoh jagoan terkini apapun. Tokoh-tokoh jagoan terkini yang diproduksi Hollywood sebenarnya juga dari daur ulang tokoh-tokoh lama legendaris. Daur ulang kebajikan masa silam dalam tokoh kekinian umumnya sama, yakni mereka selalu membela yang tertindas.

Amerika juga mengenal tokoh-tokoh pemberantas kejahatan dan pencari keadilan melalui DC Comics. Tokoh dalam V for Vendetta, Punisher, dan Watchmen. Ketiganya bisa dilihat melalui film. Tongkat, pedang, mata tertutup, dan timbangan juga masih terpakai pada tokoh-tokoh dalam DC Comics.

Pemikir semiiotik yang menyajikan denotasi, konotasi, dan mitos yakni Roland Gérard Barthes (1915-1980). Mashab pemikirannya yakni strukturalisme, semiotika, dan pasca-strukturalisme. Perhatian utama filsup Prancis inipada semiotika, teori sastra dan linguistik. Menurut Barthes, tingkatan-tingkatan makna berupa denotasi dan konotasi. Denotasi berada di tingkatan makna pertama yang bersifat objektif terhadap lambang-lambang, Caranya dengan menghubungkan langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang terlihat. Makna tingkatan kedua yakni konotasi dapat ditujukan pada lambang-lambang apapun yang mengacu pada nilai-nilai budaya.

Mitos juga terpakai dalam semiotika Roland Barthes sebagai  rujukan bersifat kultural, dari  budaya tempatan untuk menjelaskan gejala, indikasi atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang. Secara konotatif keterkaitan dengan mitos dapat mengacu pada sejarah.

Dari Teks ke Mitos

“Teks merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan yang pemaknaanya tidak cukup hanya dengan mengaitkan signifier dengan signified, namun juga harus dilakukan dengan memerhatikan susunan (construction) dan isi (content) dari lambang. Memaknai  lambang-lambang dilakukan dengan merekonstruksi lambang-lambang tersebut. Proses rekontruksi tersebut, bisa menimbulkan deformasi. Memaknai suatu perlambang, harus dicari dari luar lambang tersebut, sehingga terjadi deformasi yang berwujud sebagai mitos.

Dalam semiotika terbelah antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda (sign) adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) bersama sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan, didengar, ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep yang muncul kemudian. Bagi setiap orang, penanda itu sama, tapi akan berbeda ketika menjadi petanda. Pedang, timbangan, tongkat, dan mata adalah penanda, yang kemudian dimaknai berbeda tergantung lingkup pengetahuan seseorang. Makna yang berbeda terhadap benda-benda itu disebut petanda.

Mahasiswa dengan kekuatan heroiknya, bisa menjadi mitos dalam suatu perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas, sebagaimana era kejatuhan Orba. Mitos perlawanan itu juga terjadi dibanyak ruang ketertindasan, sebagaimana yang terjadi di Pandang Raya. Mitos itu berupa, “Kalau bukan mahasiswa, maka Gomang Wisan pasti sudah menguasai Pandang Raya.” Mitos itu bisa terjadi di luar skenario atau juga dibuat melalui pemaknaan atas berbagai tindak perlawanan, yang dilakukan melalui advokasi secara keras dan lembut.

Tulisan ini sebagai materi pada Pelatihan Advokasi Mahasiswa UPPM UMI Makassar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun