Mohon tunggu...
Oleh Solihin
Oleh Solihin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis beberapa buku untuk remaja, di antaranya Jangan Jadi Bebek (2002); Jangan Nodai Cinta (2003); LOVING You Merit Yuk! (2005); Yes! I am MUSLIM (2007); Jomblo's Diary (2010) dan beberapa buku lainnya | Instruktur Menulis Kreatif di Rumah Gemilang Indonesia [www.rumahgemilang.com] dan Pesantren MEDIA [www.pesantrenmedia.com] | Sekadar berusaha memberikan sedikit pengalaman hidup melalui tulisan. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi siapapun. Boleh juga kunjungi blog saya: http://osolihin.net. | website kepenulisan yang saya kelola: [www.menuliskreatif.com]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menulis, Antara Idealisme dan Periuk Nasi

15 Januari 2014   20:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ibu saya sempat berlinang air mata ketika saya memutuskan tidak akan bekerja sebagai analis kimia dan malah memilih menjadi penulis. Saya butuh waktu hampir 2 tahun setelah menyampaikan keputusan saya untuk bisa meyakinkan ibu saya. Saat itu pilihannya memang agak sulit. Saya menginginkan untuk fokus mencurahkan perhatian saya kepada jalan yang saya pilih. Mungkin keseriusan saya memilih jalan itu pada akhirnya membuat ibu saya merasa yakin dengan keputusan saya.

Saat itu, sebenarnya dalam hati saya pun belum yakin bahwa ibu saya merasa yakin dengan apa yang saya putuskan. Ya, tepatnya mungkin memaklumi. Tetapi saya berjalan terus. Kukuh dengan pendirian saya. Sebagian keluarga menganggap saya egois. Mementingkan diri sendiri. Tidak mau memperhatikan orang lain. Bahkan ada seorang sepupu dari keluarga besar berseloroh: “Sayang sekali ya, otak encermu agar bisa sekolah di sekolah idaman banyak orang pada akhirnya tak dipakai ilmunya. Karena kamu memilih jalur profesi yang tak sesuai keahlian utamamu. Otaknya buat saya saja atuh… hehehe…” Menyikapi komentar ini saya hanya tersenyum. Tak berkomentar apapun, karena sudah sering saya sampaikan alasan tersebut. Apalagi saya sebenarnya sudah mempersiapkan dengan cukup matang, baik dari segi waktu maupun mental. Tidak tergesa-gesa.

Ya, untuk mempersiapkannya, sejak bekerja sebagai analis kimia di sebuah perusahaan mie instan di Karawang waktu itu, saya sudah membeli mesin tik seharga Rp 275 ribu di tahun 1993 dari paman saya. Paman sayalah yang membelikan mesin tik itu dan saya mencicilnya sebulan Rp 25 ribu. Meski paman saya kurang setuju dengan pilihan hidup saya, tetapi ia tak bisa melarang ‘kekerasan’ pendirian saya. Mungkin juga sekaligus ia ingin mengetahui seberapa kuat saya melangkahi jalan pilihan saya.

Waktu itu usia saya 21 tahun. Mungkin orang tua saya dan siapapun dari keluarga besar saya menganggap pilihan saya terlalu gegabah. Usia muda yang meledak-ledak atas pilihan yang mungkin dianggap meruntuhkan semua keinginan besar orang tua menjadi kambing hitamnya. Itulah yang banyak dibahas di keluarga besar. Entahlah, mungkin mereka ada benarnya. Tetapi saya merasa yakin bahwa pilihan saya sudah tepat dan saya tidak akan menyesali keputusan saya walaupun pada akhirnya mengalami kesulitan.

Kini, alhamdulillah saya bisa menunjukkan bahwa saya mampu tegak di atas jalan yang saya pilih. Walaupun bukan tanpa penderitaan. Penderitaan tetap ada, tetapi saya insya Allah tidak terus mengeluh dan tidak menampakkan keluhan di hadapan mereka. Ya, meski tak semua keluarga menunjukkan ekspresi bahagianya setelah saya mampu berdiri, tetapi saya merasakan ada getar bangga di hati mereka. Insya Allah.

Lebih dari sekadar profesi

Bagi saya, menulis atau menjadi penulis bukan sekadar profesi atau malah hobi. Saya memilihnya sebagai idealisme. Benar bahwa kebiasaan saya menulis sejak SMP, waktu itu saya menyebutnya sebagai hobi. Tetapi di kemudian hari saya lebih suka dengan pilihan kata “idealisme”. Terutama setelah saya merasa senang dibombardir dengan bacaan-bacaan yang mengubah cara pandang saya tentang Islam. Jika dahulu saya menganggap agama sebagai ritual belaka, tetapi setelah saya aktif di remaja masjid sekolah, rajin melahap bacaan yang waktu itu sangat baru bagi saya, Islam ternyata adalah ideologi. Sebabnya, Islam mengatur urusan dunia sekaligus akhirat. Islam mengatur akidah, dan juga syariat. Inilah yang membuat saya harus ikut andil dalam menyebarkan syiar Islam, setidaknya melalui kemampuan saya dalam menulis. Saya ingin menyampaikan indahnya Islam melalui tulisan yang bisa dijangkau banyak orang. Ketimbang saya harus duduk dan mengajak banyak orang untuk datang ke masjid, lalu saya menyampaikan apa yang saya ketahui. Maklum, saya waktu sekolah punya keterbatasan secara lisan. Saya tidak bisa menyampaikan pesan secara lisan di hadapan banyak orang. Rasanya lidah ini kelu. Sulit merangkai kalimat. Jika sekarang alhamdulillah bisa dan berani, itu ternyata ‘efek’ dari kebiasaan saya menulis (selain tentunya yang utama adalah atas izin Allah Swt.).

Waktu itu saya merasa bahwa menulis, adalah bagian dari media penyampai pesan yang menggunakan sarana lebih maju. Media penyampai pesan paling sederhana pada waktu itu adalah mading (majalah dinding). Ketika sebuah tulisan tampil, yang membaca bisa puluhan bahkan ratusan orang. Dan, mereka tidak protes langsung ke penulisnya sebelum menyimak sampai habis isi tulisan tersebut. Jika secara lisan, mungkin saja ada yang memotong pembicaraan kita, apalagi saat diskusi. Di situlah saya semakin yakin, bahwa saya harus menulis, menulis dan menulis. Apalagi waktu itu saya merasa sangat kurang dalam komunikasi secara lisan. Jadinya seperti menemukan jalan keluar untuk bisa berkontribusi dalam syiar Islam, yakni melalui tulisan.

Ketika idealisme dilawan periuk nasi

Hidup memang pilihan. Tetapi pada kondisi tertentu kita tak bisa memilih keadaan seperti apa yang diinginkan. Pilihan dalam hidup hanya terjadi pada prinsip. Bukan kondisi. Prinsip hidup memang harus dipilih. Jika sudah dipilih, pegang erat, sekuat mungkin. Sebagai muslim, saya merasa bahwa Islam adalah jalan hidup yang tak bisa ditawar lagi. Harga mati. Ini memang terdengar sangat heroik atau berlebihan. Tetapi saya merasa inilah cita-cita yang ingin saya raih dan berusaha mewujudkannya. Sementara kondisi kehidupan, itulah yang tak bisa dipilih. Jika bisa dipilih, tentu semua orang akan memilih yang baik-baik, yang menyenangkan, membahagiakan, dan jauh dari kesengsaraan.

Inilah yang kemudian saya menemukan dalam Islam sebagai konsep ujian. Ujian adalah kondisi dimana kita harus kuat pada prinsip yang kita pilih. Misalnya ujian keimanan. Seseorang yang sudah menyatakan beriman tetap akan diuji, apakah keimanannya sudah lurus, tulus, benar dan kokoh meski harus menghadapi ujian yang akan menyakitkannya. Allah Swt.berfirman (yang artinya): “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-‘Ankabuut [29]: 2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun