Coba kamu perhatiin deh, berapa banyak majalah or tabloid yang memuat berita tentang para selebritis? Juga, amati ada berapa program acara televisi yang menayangkan seputar sisi kehidupan mereka. Ambil contoh tayangan infotainment yang pernah dan sedang tayang. Semuanya senantiasa hadir terdepan dalam menguliti kehidupan kaum seleb sampe ke yang remeh-temehnya, hampir semua stasiusn televisi punya program tersebut.
Sejak lama acara infotainment itu bikin bete. Namun anehnya, banyak juga lho masyarakat yang doyan nonton acara infotainment. Padahal, beritanya nggak menarik-menarik amat gitu lho. Ambil contoh, misalnya tentang seleb yang ulang tahun, koleksi sepatunya, atau bagaimana menikmati liburannya.
Sobat muda muslim, kita benar-benar dikepung dari segala arah. Nyaris nggak bisa lepas dari suguhan beragam tayangan murahan dari semua stasiun televisi. Selain infotainment, marak juga sinetron yang nggak mendidik. Menyedihkan banget.
Inilah pertarungan budaya yang memaksa kita jadi korbannya. Kita menerima dan menyukai karena banyak tersedia. Bukan karena kita butuh. Tayangan televisi banyak yang kental banget dengan budaya pop. Kamu tahu budaya pop? Kata orang pinter, budaya pop adalah budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, dan cepat berganti.
Kritikus Lorraine Gamman dan Margaret Marshment, keduanya penyunting buku “The Female Gaze: Women as Viewers of Popular Culture (1998)”, bersepakat bahwa budaya populer adalah sebuah medan pergulatan ketika mengemukakan bahwa tidaklah cukup bagi kita untuk semata-mata menilai budaya populer sebagai alat kapitalisme dan patriarki yang menciptakan kesadaran palsu di kalangan banyak orang. Bagi mereka, budaya populer juga tempat dipertarungkannya makna dan digugatnya ideologi dominan. Hmm.. waspadalah!
Celakanya, dalam pertarungan tersebut, siapa pun bisa terlibat dalam lingkarannya. Termasuk tentunya remaja. Perang ideologi nggak bisa dihindarkan lagi sobat, alias kudu pasti terjadi benturan. Lucunya, acapkali kita, kalangan remaja, udah merasa down duluan dari pada harus bertarung melawan budaya tersebut. Halah, ini untuk tidak mengatakan kalo remaja biasanya pura-pura tidak tahu apa-apa, dan lebih memilih “terbawa” arus budaya yang lebih kuat. Parahnya lagi, seperti diakui banyak pengamat, bahwa budaya populer yang sekarang lagi ngetren bergerak amat cepat. Saking cepatnya, sampe tanpa sadar kita dipaksa patuh dengan logic of capital, logika proses produksi, yakni hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku. Inilah yang sering dijuluki sebagai instans culture.
Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu track lebih tinggi ini memang tidak memiliki kesempatan untuk merenungkan lebih dalam. Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli. Nah, lho.
Para pengusaha televisi juga kayaknya doyan menyihir pemirsa. Demi mengeruk banyak uang, mereka rela meracuni anak bangsa. Kita benar-benar dibius dengan tayangan murahan seperti itu. Akibatnya, jangan kaget kalo ada pemirsa yang akhirnya bertindak nekat karena merasa benar dengan apa yang ditayangkan televisi. Inilah kalo dalam bahasa komunikasi ada sebuah efek yang namanya efek spiral kebisuan. Artinya kalo info itu salah sekalipun, tapi ditayangkan berulang-ulang bisa berubah jadi ‘benar’, lho. Apalagi nggak ada tayangan tandingannya. Udah deh, wassalam itu mah. Ckckck…
Itu sebabnya, pakar komunikasi seperti Mc.Luhan, yang juga penulis buku Understanding Media: The Extensive of Man, menyebutkan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Yup, dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi.
Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lainnya. Surat kabar pun, melalui proses yang disebut “gatekeeping” lebih banyak menyajikan berbagai berita tentang “darah dan dada” (blood and breast) dari pada tentang contoh dan teladan. Itu sebabnya, kita nggak bisa, atau bahkan nggak sempat untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media. Boleh dibilang, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Bener-bener membius akal sehat!
Salam,
O. Solihin