[caption caption="Sebagai Pemerintah, sangat disayangkan Ahok terlihat tendensius dan oportunis terkait reklamasi jakarta (Merdeka)"][/caption]Sejak bertugas sebagai Presiden Republik Indonesia sejak 2014, saya secara personal sangat berterima kasih kepada sikap Bapak Joko Widodo (Jokowi) yang telah mengutamakan pengembangan infrastruktur terhadap berbagai daerah di Indonesia. Sumatera mulai mempersiapkan diri dengan Tol Trans Sumatra, infrastruktur jalan negara di Papua mulai dibenahi, rel kereta api mulai dibangun di Sulawesi. Sebuah gebrakan baru yang benar-benar menjadi penantian panjang bagi rakyat yang selama ini yang bermisili di luar Jawa. Implikasi dari tindakan ini tidak hanya sebagai penegasan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk mendukung pemerataan pembangunan di Indonesia, menggerakkan sektor ekonomi daerah, ini juga sebuah bukti bahwa Pemerintah itu pihak yang tidak oportunis. Kenapa? Karena sebagian besar proyek infrastruktur ini tidak “seksi” di mata investor atau pengusaha, yang selalu bersikap oportunis terhadap peluang yang bisa dimanfaatkan.
Tidak seperti Pak Jokowi yang begitu saya kagumi, kekaguman saya kepada Pak Ahok berangsur-angsur pudar akhir-akhir ini. Sebagai figur yang terkenal tegas, keras dan tidak neko-neko, gebrakan Pak Ahok di Jakarta mengundang banyak apresiasi positif dari berbagai lapisan masyarakat (termasuk saya secara personal). Namun, ketika bicara soal reklamasi teluk di Jakarta, saya hanya bisa mengernyitkan dahi melihat Pak Ahok begitu tendensius mendukung reklamasi di Jakarta. Alasannya sangat sederhana, kehadiran 17 pulau buatan di Utara Jakarta akan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga 47 Trilyun. Angka tersebut sangat fantastis. Namun, bila harus jujur, seberapa efektifkah penambahan PAD sebesar itu bagi Jakarta? Apakah selama ini Jakarta kekurangan dana pembangunan?
Reklamasi bisa diartikan sebagai sebuah usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan yang berguna. Reklamasi dalam konteks ini adalah pembuatan daratan baru/ pulau baru. Sebelum ingar bingar reklamasi Jakarta menjadi heboh, Reklamasi Benoa yang ada di Bali telah terlebih dahulu mengundang pro dan kontra. Teluk Benoa yang awalnya kawasan koservasi alam seutuhnya, berganti status menjadi zona penyangga atau kawasan pemanfaatan umum setelah pemerintah mengeluarkan Perpres No.51 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres No. 45 Tahun 2011 Tentang Rencana tata Ruang kawasan Perkotaan SARBAGITA.
Belum selesai isu reklamasi Teluk Benoa, kehadiran reklamasi di Utara Jakarta mengundang pro dan kontra. Selain karena tersangkut masalah praktek Korupsi, reklamasi juga sebenarnya sarat masalah. Dipandang dari sisi lingkungan, reklamasi akan menganggu ekosistem yang ada di perairan laut dangkal. Selain itu, pembangunan pulau membuat air laut meninggi, dan memengaruhi perubahan iklim. Dari sisi ekonomi, nelayan yang selama ini menggantungkan hidup dari melaut, akan kesulitan untuk menangkap ikan, udang dan hasil laut lainnya. Bila suplai hasil laut yang dikomsumsi berkurang, maka Jakarta akan mendatangkannya dari daerah lain.
Sangat menggelikan bila argumentasi Pak Ahok adalah tanpa reklamasi, Jakarta kehilangan potensi pendapatan yang besar, dan memiliki efek domino yang besar. Dengan adanya reklamasi, maka juga akan menimbulkan efek domino yang tidak kecil. Namun hal itu tidak akan menjadi masalah besar bagi seseorang yang oportunis, yang selalu memikirkan untung dan rugi. Padahal, sikap pemerintah seharusnya bukanlah sikap oportunis. Tak heran bila pada akhirnya, DPRD DKI menunda Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait reklamasi Jakarta. Selain karena ada kasus Korupsi, momentum ini seharusnya dimanfaatkan pemda DKI untuk menginstropeksi diri, sekaligus memperbaiki argumentasi terkait reklamasi yang memang terlihat lebih mendukung pihak pihak berduit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H