Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Buruh, Oh Buruh Indonesia

2 Mei 2014   16:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:57 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ingin dibayar Mahal? Jangan menjadi buruh

Buruh, Oh Buruh Indonesia

Pertengahan 2011, saya dan beberapa rekan dari kampus mendapatkan “jatah” untuk mengikuti Kerja Praktek di sebuah perusahaan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang ada di daerah Sumatera. Penyesuaian terasa mudah, karena sambutan hangat dan perbincangan singkat dari sang pemilik di minggu perdana cukup memberikan banyak informasi yang dibutuhkan selama kami berada di sana. Minggu kedua menjadi menarik, ketika pemimpin proyek yang kami kerjakan meminta kami untuk melakukan sedikit “Sharing Knowledge” dengan sekolah yang didirikan perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan pendidikan anak-anak karyawannya, terutama kepada anak sekolah menengah atas yang akan segera tamat dan seharusnya melanjutkan jenjang pendidikan ke dunia perkuliahan.

Kehadiran kami disambut dengan hangat oleh mereka. Kami menjelaskan apa, mengapa dan bagaimana yang kami lakukan semasa duduk di bangku sekolah menengah hingga pada akhirnya bisa kuliah. Well, awalnya saya menganggap Sharing Knowledge ini sesuatu yang useless dan time wasting. Namun ketika tiba di sesi tanya jawab, semua asumsi saya berubah 180 derajat. Diawali saat teman saya bertanya apakah mereka memiliki pertanyaan, tiada yang mengangkat tangannya. Kemudian saya memilih balik bertanya, “Siapa yang berencana untuk kuliah sehabis SMA?”, dan saya mendapati hanya dalam hitungan jari saja yang berniat untuk kuliah lagi. Menarik. Kemudian saya bertanya kepada salah satu yang tidak berniat kuliah, kenapa tidak berniat untuk kuliah lagi, dan dia menjawab akan segera kembali ke ladang dan membantu orangtuanya mengurus kebun sawit.

Kisah ini kembali terngiang dalam pikiran saya kemarin, mendengar berita demo yang dilakukan oleh para buruh, yang menuntut untuk memasukkan uang koran, pulsa dan parfum ke daftar standard kebutuhan hidup. Secara pribadi, tuntutan yang diminta oleh para buruh tidak masuk akal karena ketiga hal itu bukan kebutuhan minimum untuk hidup. Namun, saya juga realistis dan paham bilamana buruh adalah mayoritas orang yang minim mengecap pendidikan tinggi, sehingga tidak menyadari seberapa besar kelayakan hal yang mereka tuntut untuk diperjuangkan dan diterima oleh pemerintah dan pihak pengusaha. Praktisnya, bila seseorang memilih untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui pendidikan formal dan informal, tidak mungkin akan memilih jalan hidup sebagai buruh. Dengan kualitas diri terdidik dan memiliki pemikiran terdidik, seseorang pasti akan memilih jalan yang baik untuk tetap mempertahankan kualitas hidup yang baik.

Secara implisit, memenuhi semua keinginan buruh dari waktu ke waktu akan memberikan efek domino yang sangat banyak, yang akan mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Terlepas dari sisi pengusaha yang akan kesulitan menjalankan usahanya, dari sisi buruh, profesi buruh akan memberikan sebuah pilihan yang memuaskan dalam hidup. Tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi, tidak perlu memiliki kemampuan khusus, tidak perlu memiliki kualitas diri, hanya dengan berstatus sebagai seorang yang minimalis akan mampu mendapatkan kehidupan yang “senang”, sehingga akan memicu transformasi pola pikir generasi berikutnya. Tidak perlu kuliah, tidak perlu sekolah, setelah umur 17 tahun langsung menjadi buruh saja, dan itu pilihan yang tidak buruk. Konsep pola pikir seperti ini akan sangat berbahaya bagi kemajuan negara kita.

Ketika mendengar jawaban dari sang siswa, saya kemudian bertanya , “Bilamana pada akhirnya kamu akan memutuskan untuk kembali ke ladang, untuk apa sekolah? Untuk apa menghabiskan waktu duduk di bangku taman kanak-kanak hingga SMA? Menghabiskan 12-13 tahun untuk mengejar pendidikan, dan pada akhirnya akan kembali ke ladang? Bukankah lebih baik di umur 13 tahun sudah ikut membantu orangtua saja, tidak perlu sekolah, bila pada akhirnya akan kembali ke ladang? Kamu bisa menghasilkan uang lebih cepat.” Dia setuju dengan pandangan saya. Tetapi saya meneruskan kembali, “Bila kamu sekolah lagi, kamu punya kesempatan untuk mengubah cara berpikirmu, jalan hidupmu, mengubah kualitas hidupmu, menjadi seperti yang kamu inginkan.”

Sebagaimana diatur sedemikian rupa dalam undang-undang, pemerintah wajib memastikan bahwa buruh mendapatkan kebutuhan layak hidup, meliputi kebutuhan hidup, kebutuhan akan jaminan kesehatan. Di satu sisi, hal ini memastikan bahwa minimal setiap orang berhak mendapatkan hidup yang layak. Di sisi lain, seharusnya dengan segala efek minimalis yang didapatkan oleh para buruh yang tercermin dalam upah minimum, mendorong setiap orang untuk meningkatkan kualitas dirinya dari waktu ke waktu sehingga mampu mendapatkan pendapatan untuk kehidupan yang baik dan seperti yang diharapkan. Itu sebabnya pendidikan formal dan informal menjadi sesuatu yang penting dan berharga.

[caption id="" align="aligncenter" width="465" caption="Ingin dibayar Mahal? Jangan menjadi buruh. Credit :Republika"][/caption]

AFTA (Asean Free Trade Area) 2015, atau lebih dikenal dengan globalisasi di area ASEAN akan menimbulkan banyak efek bagi seluruh elemen di dalamnya, termasuk para buruh. Barang, jasa, perdagangan yang masuk yang akan lebih mudah dalam regional Asia Tenggara akan menimbulkan pilihan baru bagi para pengusaha. Tidak tertutup kemungkinan bila para pengusaha akan menggunakan sebagian besar tenaga buruh dari negara berkembang seperti Vietnam dan Filipina untuk tetap menjalankan produksi mereka di Indonesia. Dengan harga yang lebih murah, dengan produktivitas yang tak kalah bagusnya, maka pilihan ini menjadi sangat rasional. Dan bila hal ini terjadi, tidak tertutup kemungkinan tenaga buruh Indonesia akan diabaikan.

Penutup, saya teringat dengan sebuah quote dari film Social Network. “You dont get 500 Milion friends without making a few enemies.” Skala prioritas akan menjadi alat ukur paling relevan dalam berbagai hal. Bilamana AFTA 2015 menawarkan pilihan buruh dari seluruh Asia Tenggara untuk berkompetisi di Indonesia, dimana buruh dari negara berkembang lainnya bisa dibayar sesuai dengan standard hidup yang benar-benar layak, maka itu akan menjadi opsi bagus bagi pengusaha. Pengusaha akan tetap berusaha, dunia industri akan tetap berjalan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan terjaga dan pemerintah akan tetap memilih mempertahankannya ketimbang mendengarkan “ocehan-ocehan buruh” yang dari waktu ke waktu semakin tidak beralasan.

Daniel Oslanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun