Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Balada Milan Bag. 5: Menanti Old Fox Berubah Pandangan

12 Maret 2014   21:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Balada Milan Bag. 5

Milan dihuni lebih dari setengah Pemain berstatus “Not Milan Quality”

Menanti Old Fox Berubah Pandangan

Kekalahan 4-1 Milan atas Atletico di Vicente Calderon membuka sebuah luka menganga bagi Milan. Milan bukan lagi klub yang harusnya membusungkan dada dengan gelar “Tersukses di Dunia”. Milan sudah berbeda. Milan tidak lagi Milan yang dulu, Milan yang dihuni para pemain bintang, dan menjadi kawah candradimuka bagi para pemain sepakbola profesional di seantero dunia. Saya kembali mencoba mereka-reka beberapa transfer unik Milan di masa kejayaannya. Semejak kesuksesan di Liga Champions 2002-2003, Milan sudah mengubah filosofi transfernya dari yang semula Jor-joran dalam membeli pemain, menjadi lebih mempertahankan The Winning Team dan memolesnya dengan satu atau dua pemain berkelas bintang. Masih teringat dalam pikiran saya, saat Milan mendatangkan Cafu, Giuseppe Pancaro, Marek Jankulovski, Johan Vogell, Hernan Crespon untuk menambal kekuatan The Winning Team Milan. Pada fase ini, setidaknya Milan tetap mempertahankan materi tim dengan pemain kelas bintang dan berpengalaman.

Kekuatan Milan mulai tergerus tiga tahun setelah menjadi kampium di Liga Champions 2003. Eksodus dimulai ketika Andriy Shevchenko secara mengejutkan memilih untuk keluar dari Milan dengan nilai mencapai 30 juta poundsterling, sebuah nilai yang fantastis saat itu dan merupakan rekor tertinggi di Liga Inggris. Kepergian Shevchenko ke Chelsea disusul oleh Kaka yang pergi ke Madrid pada tahun 2008. Satu persatu bintang datang dan pergi, dan dekandensi kualitas Milan terus terjadi. Puncaknya tentunya kepergian Zlatan Ibrahimovic dan Thiago Silva ke PSG, yang tidak ditutupi dengan pemain sekelasnya. Alasan kenapa Milan harus menjual pemainnya? Simpel. Milan tidak menjadi klub yang berdikari selama ini. Setiap tahunnya sekitar puluhan juta euro mengalir dari kantung pribadi Silvio Berlusconi untuk menutupi biaya operasional Milan. Munculnya aturan Financial Fair Play oleh UEFA memaksa Berlusconi menghentikan dana talangan dari kantungnya Pribadi. Hal inilah yang memaksa Milan harus menjual beberapa pemain bintangnya dengan harga mahal. Kebijakan ini memiliki dua tujuan sekaligus, di satu sisi Milan mendapatkan uang dalam jumlah besar, di sisi lain, Milan juga berhasil mengurangi beban gaji Milan. Tak ayal sampai akhir musim lalu, Milan hanya mencatatkan utang sekitar 6 juta Euro, sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="479" caption="(Berlusconi Menghentikan aliran dana pribadi ke AC Milan (Credit: acmilan.com))"][/caption]

Efek domino dari pengetatan ikat pinggang terkait operasional klub tentunya berpengaruh kepada pemilihan pemain yang didatangkan oleh sang Rubah tua alias Old Fox, sebuah julukan yang disematkan kepada Adriano Galliani. Galliani memang seorang negoisator ulung. Kemampuannya dalam bernegoisasi mampu mendatangkan banyak pemain berharga miring atau bahkan gratis. Di mulai dari sepak terjangnya mendapatkan Zlatan Ibrahimovic, Balotelli dengan harga murah, hingga mendatangkan Kaka secara cuma-cuma ke San Siro. Aksinya mendatangkan decak kagum dari berbagai pihak, baik fans Milan, media, hingga kompetitor Milan. Namun, apakah benar sejauh ini keputusan Galliani mendatangkan pemain seperti ini, demi menyiasati strategi belanja Milan disebut sebagai langkah yang paling tepat? Sepertinya tidak.

Saat ini, Milan dihuni oleh mayoritas pemain dengan status “not quality Milan”, bila merujuk kepada filosofi transfer Milan sedekade lalu, yang menjadikan mereka salah satu tim paling disegani di dunia. Milan hanya menyisakan sedikit pemain yang benar-benar memiliki kelas dunia, seperti halnya Montolivo, De Jong, Honda dan Kaka. Work rate dan profesionalisme mereka patut diacungi jempol mengingat keberadaan mereka di tengah pemain dengan masalah yang berbeda-beda.

[caption id="" align="aligncenter" width="656" caption="(Nigel de Jong, salah satu bintang yang konsisten bermain di lapangan. (Credit : uefa.com))"]

(Nigel de Jong, salah satu bintang yang konsisten bermain di lapangan. (Credit : uefa.com))
(Nigel de Jong, salah satu bintang yang konsisten bermain di lapangan. (Credit : uefa.com))
[/caption]

Saat ini, komposisi Milan sangat memprihatinkan, dimana hanya ada segelumit pemain bintang di atas di tengah kerumunan pemain dengan permasalahan yang tidak normal. Sebagai contoh, Milan dihuni oleh pemain kelas dua yang terlalu sibuk dengan aksi di sosial media seperti halnya Kevin Constant yang terlalu sibuk dengan Foto-foto Selfie di dunia maya, seperti halnya Robinho dan Balotelli. Pemain seperti Robinho, Birsa, Zaccardo, Constant, Amelia, Urby, Bonera, Nocerino, Matri bukanlah pemain yang memiliki kualitas yang dibutuhkan Milan. Mexes, Essien dan Muntari sudah melewati masa emasnya dan seolah kehilangan kebanggaan berkostum Milan. Setiap kali diturunkan, effort yang ditawarkan oleh mereka tidak begitu signifikan. Masalah yang mungkin paling mencolok adalah penampilan dari Balotelli, El Sharawy, dan Niang dengan mode rambut mohawk. Rambut mohawk ini membuat mereka urakan, terlebih El Sharawy yang terlihat enggan melakukan duel di udara, entah karena lemah duel udara atau menjaga tatanan rambutnya.

Melihat apa yang terjadi saat ini, tersingkir dengan cara memalukan di Liga Champions, gugur di Coppa Italia, dan terseok-seok di liga, bagaimana dengan kiprah Milan. Well, berdasarkan fakta di atas saya mengambil premis baru bahwa kesalahan Milan saat ini ada di pemainnya sendiri. Milan di tangan Allegri cukup bermain membosankan, namun bisa mendapatkan hasil tidak selalu buruk. Allegri menerapkan strategi penggenjotan fisik pemain, untuk tampil prima selama 90 menit. Tidak semua pemain menyukai latihan keras ala Allegri, meskipun mereka bisa tampil dengan konsentrasi tinggi selama 90 menit. Setelah era Allegri, Seedorf menerapkan pola latihan yang berbeda. Terlihat pemain Milan lebih rileks dan banyak tertawa di sepanjang latihan. Secara psikologis, para pemain Milan terlihat lebih baik. Pola permainannya di lapangan juga semakin menarik untuk disaksikan. Namun, stamina yang dimiliki pemain Milan menjadi buruk dan menjadi sumber petaka bagi Milan, selain kesalahan individu yang juga menyumbang besar kekalahan Milan tentunya. Tak ayal Boban mempertanyakan para pemain Milan saat ini, yang sebagian besar tidak memiliki kebanggaan menggunakan kostum merah hitam yang melegenda.

[caption id="" align="aligncenter" width="570" caption="Constant salah satu pemain yang sibuk di sosmed, namun gagal optimal di lapangan (Credit : huffingtonpost))"]

Constant salah satu pemain yang sibuk di sosmed, namun gagal optimal di lapangan (Credit : huffingtonpost))
Constant salah satu pemain yang sibuk di sosmed, namun gagal optimal di lapangan (Credit : huffingtonpost))
[/caption]

Old Fox bukan lagi sebuah jawaban untuk proses transformasi Milan. Milan membutuhkan sosok seperti Wenger, yang lebih mementingkan pengembangan pemain muda ketimbang merekrut pemain berumur yang mulai kehilangan masa emasnya. Pemain muda sangat mudah untuk diatur, dikembangkan, dan dipacu potensi terbaiknya, seperti yang dilakukan oleh Wenger. Membeli Fabregas dengan 500K, dan mengembalikannya ke Barca dengan nilai besar, membeli Adebayor dengan nilai 3 juta euro, dan melipatkan nilainya mencapai 25 juta, membeli Samir Nasri dengan harga 12 juta dan menjualnya dua kali lebih mahal. Ironisnya, Wenger hanya satu orang di dunia ini. Bilamana Milan ingin memulai langkah baru, meniru kebijakan Arsenal yang dulu, Milan harus mulai memberikan porsi kepada pemain muda, dan Old Fox berhenti mencari pemain tua minim antusias.

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="(Mendidik pemain muda seperti yang dilakukan Wenger lebih mmenjanjikan ketimbang membeli pemain tua minim antusias seperti yang dilakukan Galliani. Credit : unknown))"][/caption]

Musim depan bisa menjadi contoh terannyar, menanti Old Fox, Adriano Galliani mengubah pandangannya.

-Daniel Oslanto-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun