Penunjukan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan yang baru (menkeu), menggantikan Bambang Brodjonegoro kemarin, menjadi salah satu topik yang paling hangat dibicarakan seantero negeri. Bahkan, ada media yang menyambut kedatangannya dengan tulisan-tulisan yang menggelegar, dan sebagian politisi memuji langkah Pak Jokowi untuk “memanggil kembali” Sri Mulyani yang bekerja di Bank Dunia untuk kembali menjadi menkeu.
Tidak ada yang salah dengan semua euforia ini. Namun, sekali lagi, sebagai orang Indonesia, secara personal saya cukup tergelitik melihat gelembung optimistis yang berlebihan dengan kembalinya seorang Sri Mulyani untuk menduduki posisi menkeu. Beberapa orang yang saya tanyakan, mengapa mereka sangat antusias dengan kehadiran Sri Mulyani, sebagian mengatakan bahwa Sri Mulyani adalah salah satu Srikandi Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia dengan menduduki posisi strategis di Bank Dunia (managing director). Baiklah, paragraf berikutnya akan sedikit lebih teknis mengenai perbedaan mendasar ekonomi dan bisnis, serta para pelaku di dalamnya.
Sebuah tulisan Paul Krugman, seorang Professor Ekonomi di Massachusset Institute of Technology (MIT), yang berjudul A Country is not A Company, yang dipublikasikan oleh majalah Harvard Business Review pada tahun 1996 adalah salah satu referensi yang paling sederhana untuk memahami perbedaan mendasar pebisnis dan ekonom (economist), dan mengapa banyak pebisnis “gagal” dalam mengemban tugas sebagai penyusun kebijakan ekonomi (bagi sebuah Negara).
Pebisnis secara konsisten salah menginterpretasikan hubungan antara perdagangan internasional dan penciptaan lapangan kerja dalam negeri. Pebisnis berpikir, semakin banyak perdagangan internasional yang dilakukan, semakin banyak lapangan pekerjaan yang diciptakan. Semakin banyak lapangan pekerjaan yang diciptakan, semakin menekan angka pengangguran. Sepertinya masuk akal bukan? Benar, namun ekonom berpikir tidak demikian. Ekspor suatu negara adalah impor bagi negara lain, dan ini hanyalah semata kalkulasi matematika. Kecuali terjadi “permintaan kebutuhan dalam waktu singkat”, otomatis kelebihan perdagangan akan menimbulkan masalah perekonomian.
Lebih banyak perdagangan berarti lebih banyak ekspor dan itu karena terkait pekerjaan ekspor. Saat sebuah negara begitu intens mempertahankan surplus perdagangan, yang menciptakan lapangan pekerjaan, maka akan menimbulkan booming ekonomi. Negara akan mencetak lebih banyak uang untuk mengakomodasi kebutuhan perdagangan, dan itu berujung pada penurunan nilai mata uang (inflasi).
Contoh kedua adalah hubungan antara investasi asing dengan keseimbangan perdagangan, cukup meresahkan bagi para pebisnis. Misalkan sebuah negara adalah sebuah tempat strategis untuk menanamkan modal bagi para investor asing, untuk membangun pabrik baru, mengekspansi manufaktur baru, apa yang akan terjadi pada neraca perdagangan negara itu? Nyaris semua tanpa kecuali, negara akan mengalami surplus perdagangan (yang berarti meningkatkan perekonomian). Mereka tidak yakin pada jawaban ekonom, bahwa negara tersebut akan mengalami sebuah dekandensi ekonomi yang besar.
Sangat mudah untuk melihat jawaban pebisnis, karena mereka melihat dari sudut pandang bisnis, yang mana perdagangan besar akan membuat ekonomi meningkat, sedangkan ekonom berpikir, neraca perdagangan merupakan bagian dari neraca pembayaran, dan karena ekspor suatu negara adalah impor bagi negara lain, neraca perdagangan internasional selalu nol. Sebagai contoh di lapangan, ketika perusahaan (yang dimodali dana asing) membangun pabrik, maka mereka akan membeli beberapa peralatan yang akan diimpor. Masuknya investasi menyebabkan besaran impor juga meledak, dan nilai perdagangan akan menjadi defisit. Apa pun jenisnya, kelebihan dari masuknya modal asing ke dalam sebuah negara akan membawa negara kepada ketidakseimbangan perdagangan dan menuju arah inflasi mata uang.
Itu sebabnya, seorang pebisnis tidak disarankan memegang kebijakan politik sekalipun berhubungan dengan ekonomi. Seorang pebisnis akan melakukan pengambilan kebijakan berdasarkan pengalamannya mengorganisasi sebuah perusahaan, katakan bernilai ratusan miliar rupiah, dengan sebuah bisnis flow, sedangkan pemangku kebijakan ekonomi negara, harus mampu memberikan keputusan paling "menguntungkan" untuk besaran dana ratusan triliun rupiah, dengan ratusan atau ribuan indikator, parameter atau variabel yang berbeda.
Sri Mulyani dan Bank Dunia…
Bank Dunia bukanlah negara, hanya sebuah organisasi yang diakui internasional, dan tidak ada bedanya dengan bank-bank yang lainnya, yang memiliki orientasi pada sisi bisnis organisasinya. Sri Mulyani menjadi salah satu petinggi Bank Dunia adalah sebuah kehormatan bagi Indonesia, dan itu sebagai eurofia yang wajib disyukuri oleh banyak pihak. Mirip dengan kasus Satya Nadella (CEO Microsoft) dan Sundar Pichai (CEO Google) yang keduanya berasal dari India, dan membuat warga India bangga.
Nadella dan Pichai tidak mungkin diangkat menjadi pemimpin perusahaan sekelas Microsoft dan Google, bilamana tidak menunjukkan pencapaian yang eksepsional atau luar biasa. Hal ini juga berlaku bagi Sri Mulyani. Indonesia sangat gemar untuk meminjam dana dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia atau IMF selama beliau menjabat posisi yang strategis dalam kebijakan ekonomi. Tak mengherankan bila akhirnya, atas “pretasinya sebagai pebisnis” untuk Bank Dunia, Sri Mulyani ditawari jabatan yang sangat strategis di Bank Dunia. Hal ini juga sedikit berlaku bagi Bambang, yang digantikan oleh Sri Mulyani (Dapat dibaca di tulisan saya yang juga Headline di Kompasiana : Ironi Bernama Bambang).
Saat seorang pemangku kebijakan strategis negara bertindak laiknya seorang pengusaha, itu akan menimbulkan sebuah hipotesa yang sudah sudah, layaknya sup yang dihangatkan. Kecenderungan akan sisi kapitalis akan menjadi hal yang sulit untuk terelakkan. So, seperti biasa, saya tidak akan terlalu euforia menyambut srikandi yang pulang ke rumah. Hanya berharap, kebijakan yang diambil haruslah sesuai dengan semangat bangsa yang memegang teguh ekonomi kerakyatan.