Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Objektivitas, SARA dan Toleransi Beragama

16 April 2014   16:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Objektivitas, SARA dan Toleransi Beragama



“Manny...Manny...Manny” Begitulah teriakan gemuruh penonton di MGM Grand yang menyaksikan partai Tinju antara Manny Pacquiao melawan Timothy Bradley. Terlepas dari bumbu-bumbu revans yang diusung Manny setelah dikalahkan Bradley secara kontroversial dua tahun lalu, ada satu hal yang sangat menarik. Ternyata penonton lebih menyukai Manny yang notabene adalah seorang warga negara Filipina ketimbang sang Juara bertahan, Bradley yang notabene adalah seorang warga negara Amerika Serikat. Saya menarik kesimpulan bahwa penonton yang menyaksikan laga ini di venue tersebut adalah penonton yang objektif, yang tidak membawa isu suku, agama, ras, atau status warga negara dalam sebuah pertandingan olahraga. Menakjubkan. Saya menjadi beranggapan bahwa salah satu alasan Amerika Serikat tumbuh menjadi negara yang sangat besar karena warganya sangat objektif dalam memandang berbagai hal.

Baru-baru ini saya membaca artikel Anjo Hadi mengenai pembicaraan Jusuf Kalla di tengah menyambangi komunitas Indonesia di KJRI Sydney. Jusuf Kalla membeberkan beberapa pandangannya yang menurut saya menjadi sebuah isu sensitif di negara ini, terkait masalah agama. Pak Jusuf Kalla menampik anggapan bahwa Indonesia memiliki toleransi agama yang buruk dan menyebut Indonesia “negara paling toleran di dunia”. Sebelumnya, isu penolakan FPI atas kemungkinan Ahok yang akan memimpin Jakarta menjadi sebuah isu sensitif lainnya. Faktor Ahok yang bukan dari suku dan agama mayoritas disinyalir menjadi biang dari penolakan tersebut. Well, menarik sekali membahas mengenai persoalan SARA di negara kita ini yang tidak pernah kunjung ada habis-habisnya.

Yang disampaikan oleh Pak Jusuf Kalla tidak sepenuhnya salah. Indonesia memang negara yang toleran. Sesuai dengan UUD 45 ayat 29 ayat

(1)Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pemerintah sudah melaksanakan apa yang tertera dalam undang-undang. Pemerintah menjamin kemerdekan tiap orang untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Menilik pasal di atas, Apa yang disampaikan Pak Jusuf Kalla bahwa banyak yang salah pengertian, bangunan rumah ibadah itu hak walikota bukan hak Tuhan, sehingga banyak orang salah menilai memang benar adanya. Bilamana kita menyaksikan film “Kingdom of Heaven (2005)”, kita akan menemukan sebuah gambaran umat Islam yang menduduki Jerusalem, yang diberikan kebebasan beribadah di lapangan terbuka. Tempat bukan menjadi permasalahan, karena cara mereka beribadah kepada Tuhan bagi mereka menjadi hal yang paling utama. Di agama Kristen, dalam kitab Matius 18:20 berbunyi, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, disitu aku ada di tengah-tengah mereka.” So, pada dasarnya, setiap orang bisa beribadah di mana saja sesuai dengan kepercayaannya, namun kenapa masalah pembangunan rumah ibadah menjadi sebuah persoalan yang sangat sensitif dan besar?

Cukup prihatin dengan begitu banyaknya orang yang masih memperdebatkan pembangunan tempat ibadah sebagai persoalan yang besar. Sebagai seorang Kristen, saya cukup setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Jusuf Kalla. Kita seolah melupakan bahwa tujuan kita beragama, memeluk agama adalah melaksanakan apa yang menjadi perintah Tuhan. Apa yang terjadi sebagian orang malah menimbulkan sebuah persoalan penolakan pembangunan rumah Ibadah sebagai masalah yang besar, lupa untuk tetap melaksanakan apa perintah agama yang dipercayainya dan tetap beribadah. Menilik isu SARA yang lain, mengenai kemungkinan Ahok menjadi pemimpin Jakarta, sebenarnya isu ini adalah lagu lama. Ini bukan kali pertama muncul isu mengenai seorang pemimpin harus berasal dari golongan mayoritas, suku mayoritas, agama mayoritas di Indonesia. Sebagian pihak memilih subjektif ketimbang objektif dalam menilai siapa pemimpin yang pantas di negara kita tercinta ini, dengan mempersoalkan SARA, dan menolak fakta seberapa besar kompetensi seseorang tersebut.

Manny Paqcuiao adu jotos dengan Bradley di Amerika Serikat, dan justru mendapat dukungan ketimbang Bradley yang notabene adalah orang Amerika sendiri. Barrack Obama adalah presiden pertama Amerika Serikat yang berasal dari ras minoritas. Faktanya menarik lainnya, di beberapa negara maju, kebebasan dan hak asasi manusia menjadi sebuah hal yang menjadi sangat prioritas. Tidak mengherankan bila di beberapa Negara besar di Eropa, agama minoritas juga tumbuh pesat dengan dukungan “toleransi” yang diberikan oleh pemerintahnya. Dua Klub Liga Utama Inggris, Manchester City dan Newcastle United bahkan sampai membangun dua mushollah untuk mengakomodasi kepercayaan beberapa pemainnya. Peristiwa Mohammed Salah menolak berjabat tangan Bruce Buck, Chairman Chelsea FC yang notabene adalah seorang Yahudi, demi membela Palestina tidak menjadi sebuah persoalan yang dibesar-besarkan.

Indonesia adalah negara yang toleran, tapi bukan negara yang paling toleran di dunia, seperti yang disampaikan Pak Jusuf Kalla. Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang kaya akan alam yang luar biasa. Namun untuk menjadi bangsa yang benar-benar besar, Indonesia membutuhkan toleransi yang lebih objektif dalam berbagai aspek kehidupan, yang menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa mencapur adukkannya dengan isu suku, agama dan ras.

Salam Damai untuk Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun