Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dialektika Perkebunan Sawit Indonesia

27 Februari 2015   14:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:25 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dialektika didefensikan sebagai 1) hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah, 2)ajaran Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan menimbulkan hal yang lain lagi. Secara khusus, dialektik dapat didefenisikan sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan sebuah masalah, namun menghasilkan masalah lain. Sebagai contoh, Mobil adalah salah satu solusi yang diciptakan untuk mendukung mobilitas (pergerakan) manusia, meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan materi, tenaga maupun waktu. Meski demikian, mobil menciptakan masalah baru yaitu polusi yang dikeluarkan mobil mencemari lingkungan dan dapat mengakibatkan masalah kesehatan.

Perkembunan sawit menjadi salah satu bisnis yang cukup menggiurkan dan primadona di Indonesia. Tidak sedikit perseorangan memilih bisnis sawit menjadi “jalan pengubah kehidupan”. Tidak hanya perseorangan, kelompok bisnis juga banyak merambah sektor ini. Buktinya, dua orang jajaran terkaya di Indonesia, Eka Tjipta Widjaja, pemilik Sinarmas dan Maratua Sitorus, pemilik Wilmar memakai perkembunan sawit menjadi salah satu bisnis utamanya.

Berdasarkan hasil perbincangan saya dengan pemilik perusahaan sawit besar di Sumatera, tempat kerja praktek pada pertengahan 2011, sawit termasuk tanaman yang sangat efektif dari ujung daun ke batang. Pertama, usia sawit produktif sawit yang cukup lama, dimulai dari usia 10-25 tahun, menjadi salah satu pertimbangan utama. Daging buah sawit dapat diolah menjadi minyak sawit atau CPO (Crude Palm Oil). Di dalam buah sawit terdapat inti sawit yang dapat diolah menjadi minyak putih atau CPKO (Crude Palm Kernel Oil). Ampas hasil pengekstrakan minyak sawit dapat difermentasikan menjadi pakan sapi/ternak (Meski kenyataanya tidak sedikit perusahaan yang mengeksport pakan sawit ke Australia dan Selandia Baru untuk menjadi pakan sapi, dan Indonesia mengimport sapinya). Cangkang inti sawit yang sekeras cangkang kemiri dapat digunakan sebagai bahan pembakaran, mengingat cukup tahan akan panas dan lebih efisien ketimbang cangkang tanaman lain. Ranting dan ampas tandan buah sawit dapat juga digunakan sebagai pupuk atau alat pembakaran. Mengagumkan, bukan?

[caption id="attachment_353127" align="aligncenter" width="358" caption="Sawit, tanaman yang menggiurkan dari sisi ekonomi (blogspot)"][/caption]

Tidak berhenti sampai disana. Bisnis sawit termasuk menjadi salah satu penggalak “transmigrasi inisiatif sendiri” oleh banyak orang. Bisnis sawit membuka lapangan pekerjaan, menambah pendapatan negara dari sektor pajak, dan pemerintah “tidak serepot” yang dulu untuk menjalankan program transmigrasi yang tentu anggarannya tidak kecil. Membuka pemukiman baru, pihak perusahaan (yang kebanyakan swasta) mulai membangun daerah perkembunannya sendiri dengan infrastruktur yang memadai. Seperti halnya lingkungan perusahaan pertambangan, perumahan, fasilitas publik berupa sekolah, rumah ibadah hingga pusat perbelanjaan tentunya menjadi hal yang wajib bagi perkebunan sawit. Tentunya ini menjadi angin segar buat pemerintah...Tapi

Perkebunan sawit memicu perusakan lingkungan. Untuk membuka perkebunan sawit, maka yang harus menjadi korban adalah hutan-hutan yang dimiliki oleh Indonesia. Sekilas, tentunya, masalah ini jauh lebih kecil daripada keuntungan yang ditawarkan oleh bisnis sawit, baik dari sisi pelaku, maupun dari sisi pemerintah. Tetapi, permasalahan perkebunan sawit tidak sesederhana ini.

[caption id="attachment_353130" align="aligncenter" width="463" caption="Pembabatan hutan lahan gambut di area konsesi PT Globalindo Alam Perkasa untuk perkebunan kelapa sawit yang terlihat saat misi survei Greenpeace di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah 24 Februari 2014 (Kaskus)"]

14249953251913762618
14249953251913762618
[/caption]

Salah satu ilegal faktor pembakaran hutan secara diam-diam adalah keinginan mengubah hutan sebagai lahan perkebunan. Mengingat iklim Indonesia yang tropis, sangat mendukung untuk tanaman seperti sawit, tidak mengherankan bila “pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab” dengan sengaja melakukan perusakan hutan. Perusahaan yang memiliki izin tentunya bisa membuka hutan dengan cara beradap, namun tetap saja pada akhirnya berujung pada dampak dari pengrusakan hutan itu sendiri yaitu rusaknya habitat dari mahluk hidup. Celakanya, Indonesia sendiri dikenal sebagai “pusat” flora dan fauna yang telah mengundang decak kagum dunia, mengingat Indonesia memiliki tiga bagian klasifikasi flora dan fauna berdasarkan garis Wallace dan Webber, yaitu flora/fauna Asiatis, flora/fauna asli/peralihan, dan flora/fauna Australiatis. Tidak mengherankan bila dibiarkan seperti ini secara terus menerus, Indonesia dan dunia akan kehilangan fauna-fauna yang punah. Mulai dari Harimau Jawa yang disinyalir telah punah, Indonesia sangat berpotensi kehilangan fauna lain seperti Harimau Sumatera, yang habitatnya dirusak oleh pembukaan lahan perkebunan. Tidak berhenti sampai disitu. Kalimantan sendiri telah mengalami “kebotakan hutan” setelah beberapa perusahaan memanfaatkan hutan sebagai lahan perkebunan. Eksistensi binatang seperti Babirusa, Anoa, burung Maleo menjadi terancam saat ini.

[caption id="attachment_353128" align="aligncenter" width="463" caption="Pembabatan hutan untuk pembuatan jalan menuju area konsesi untuk perkebunan kelapa sawit yang terlihat saat misi survei Greenpeace di Kalimantan Tengah 24 Februari 2014 (Kaskus)"]

14249951761164793302
14249951761164793302
[/caption]

Bisnis Perkebunan SawitVs Kampanye “GO-GREEN” Dunia

Pada tahun 2012, Indonesia, sebagai salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia, pernah mengalami Embargo produk sawit Indonesia karena dinilai melakukan pengrusakan lingkungan. Bebeberapa pihak mengakui bahwa ada perusahaan yang merusak lingkungan, namun tidak sedikit yang menjaga kelestarian lingkungan. Amzal Ridwan, Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) cabang Kalimantan Timur pada saat itu berpendapat potensi penjualan sawit sangat besar mengingat sawit hanya tumbuh di daerah tropis seperti di Indonesia. Sawit tidak tumbuh di Eropa dan Amerika, jadi ini hanyalah bentuk provokasi yang tidak menginginkan Indonesia maju dengan menggunakan produk sendiri dan tidak impor barang dari Eropa untuk kebutuhan.

Bila menilik lebih jauh, argumentasi ini kurang relevan. Memang benar minyak sawit menghasilkan emisi (polusi) yang lebih kecil dari minyak tanaman lain seperti jagung, kedelai atau biji matahari, namun tentunya penggunaan lahan untuk menghasilkan 1 ton sawit jauh lebih besar ketimbang penggunaan lahan untuk satu ton jagung.Oleh karena itu isu yang ditimbulkan tidaklah mengada-ada dan Eropa dan Amerika memiliki argumentasi sendiri yang dapat dibuktikan. Selama beberapa tahun terakhir, dunia disibukkan dengan kampanye Global Warming atau pemanasan global, naiknya permukaan laut, mencairnya gletser kutub utara dan kutub selatan, sehingga dunia sedang “galak-galaknya” dalam mengampanyekan “GO-GREEN”. Di mulai dari otomotif yang mulai terus berinovasi terus dimulai dari penerapan standardisasi emisi gas buang Eropa (EURO) pada 1992, berkembang menjadi EURO-2 pada 1996 hingga sekarang sudah menjadi EURO-5 pada september 2010 (EURO-6 rencananya pada september 2015). Tentunya bagi para pengguna bus besar, pasti pernah melihat stiker EURO-3 atau EURO-4 pada badan bus, yang mengindikasikan kendaraan telah disesuaikan dengan standard emisi gas buangnya, untuk mendukung lingkungan yang lebih baik lagi. Tidak hanya perusahaan otomotif, kampanye “GO-GREEN” juga dilakukan melalui berbagai media untuk semua orang. Himbauan menghemat penggunaan kertas, mengampanyekan pembatasan penggunaan kantung plastik yang mencemari lingkungan, hingga membuang sampah pada tempatnya terus digalakkan. Ini tentu kontradiksi dengan pembakaran hutan yang dilakukan semata untuk pembukaan perkebunan dan berujung pada pengrusakan habitat flora dan fauna atau lingkungan.

[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Stiker EURO-4 pada Bus yang sudah menyesuaikan mesin dengan standar emisi gas buang Eropa (Blogspot)"]

Stiker EURO-4 pada Bus yang sudah menyesuaikan mesin dengan standar emisi gas buang Eropa (Blogspot)
Stiker EURO-4 pada Bus yang sudah menyesuaikan mesin dengan standar emisi gas buang Eropa (Blogspot)
[/caption]

Dilematis Pemerintah Juga Tanggung Jawab Dunia

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah berada dalam posisi dilematis mengenai fenomena perkebunan sawit. Dalam acara “Sustainable Indonesia” pada 24 september 2012 di New York, AS, mantan presiden SBY menyebutkan ada 4 juta orang yang bekerja di industri sawit yang secara tidak langsung mendukung 12 juta orang dan keluarganya. Bilamana memperketat aturan dan izin pembukaan lahan perkebunan, tentunya pemerintah akan menghadapi efek domino masalah semula, tingkat pengangguran yang tinggi, kriminalitas meninggi dan juga “program transmigrasi inisiatif sendiri” akan menghilang.

Namun membiarkan Indonesia kompromi dengan keadaan yang berlangsung saat ini adalah sebuahtindakan membiarkan sebuah bom waktu yang melukai Indonesia bahkan dunia, kapan saja di masa yang akan datang. Sudah menjadi rahasia umum, Indonesia dengan hutannya, dan Brazil dengan Amazonnya adalah pemilik paru-paru dunia, yang memengaruhi iklim dan keadaan dunia. Pemanasan global menjadi ancaman terbesar, disamping punahnya kekayaan flora dan fauna yang sebenarnya tidak bisa dihitung dengan nilai material.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya pemerintah “melobi” berbagai negara maju dan kaya untuk menggerakkan “GO-GREEN”. Melobi dalam hal ini tentunya meminta bantuan dari sisi materi maupun dari sisi bantuan tenaga ahli untuk mengembalikan hutan yang telah digusur oleh pembukaan lahan perkebunan. Pendiri kelompok bisnis Mayapada, Dr. Tahir menyumbang US$ 65 juta untuk pemberantasan AIDS, TBC dan Malaria. Yayasan Bill and Melinda Gates menyumbang US$ 130 juta untuk organisasi yang ditujukan untuk memberantas penyakit-penyakit menular di seluruh dunia. Ini adalah dua contoh bagaimana kepedulian terhadap lingkungan selalu mendapatkan dukungan. Bila personal bisa, apalagi negara, bukan? Bukankah ancaman kerusakan hutan Indonesia juga permasalahan dunia?

Apakah yang kita wariskan kepada anak cucu kita? Gambar flora fauna yang telah punah yang ada dalam cetakan buku sejarah mereka, yang sebenarnya masih sempat kita saksikan?

Hanya waktu yang bisa menjawab.

Sumber :

Sumber-1, Sumber-2, Sumber-3, Sumber-4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun