Mohon tunggu...
Maria Ulfa
Maria Ulfa Mohon Tunggu... Dosen -

oshienrazak@blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petualangan Midan dan Hidan

13 Agustus 2014   13:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:40 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah danau yang begitu tenang seolah telah bersepakat dengan alam. Pantulan cahaya matahari sore di atas danau memaksa siapapun untuk menikmatinya walau hanya sejenak. Midan duduk di tepi danau, di kursi panjang yang memang sejak dulu menjadi salah satu teman bagi danau itu. Tubuhnya yang besar dilapisi jeans, kaus, dan jas abu-abu tebal membuat Midan terlihat semakin gagah. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena menahan terpaan sinar matahari dan matanya yang sipit sebentar-sebentar harus dikedipkan. Danau yang tenang itu kini riuh ramai karena dihujani batu-batu kecil oleh Midan. Langkah kaki dari belakang hampir tak terdengar oleh Midan.

“Boleh saya duduk disini?”

Namun hanya anggukan dan wajah dingin yang Midan berikan sebagai jawaban.

“Saya Hidan.” Kata laki-laki itu dengan mengulurkan tangan.

Uluran tangan laki-laki itu disambut pula oleh Midan dan mengucapkan namanya pula. Percakapan ringan pun mereka dimulai.

Sejak perkenalan singkat itu mereka sering bertemu. Banyak hal yang mereka saling tukarkan. Mulai dari soal kuliah, teman-teman kampus, kegiatan dalam organisasi, hobi, makanan favorit, hingga soal olah raga. Mereka berdua memiliki banyak persamaan. Namun juga memiliki perdedaan, Midan lebih cenderung pendiam, sedangkan Hidan lebih ceria dan banyak bicara. Perbedaan itu yang justru membuat mereka merasa saling melengkapi. Midan memiliki kakak perempuan bernama Ayu. Sudah lima tahun meninggalkan rumah karena salah pergaulan. Kak Ayu lebih memilih hidup bersama teman-temannya yang senang dengan keglamoran dan dunia malam. Tak ada seorang pun yang mampu menghalangi Kak Ayu. Kasihan ibu, sejak ditinggal ayah justru banyak rintangan yang dihadapinya. Kak Ayu salah satunya.

Di awal semester tiga Kak Ayu mulai berubah. Sering didatangi atau bahkan keluar bersama teman-teman barunya yang hobinya memakai kostum yang aneh-aneh. Dan yang paling membuatku tidak tahan mereka semua selalu memakai parfum yang menurutku baunya sangat menusuk hidung. Norak, arogan, urakan, tidak sopan, dan kalau bicara keras-keras. Kak Ayu sering mengundang teman-temannya ke rumah, dan malamnya mereka pergi dan pulang pagi. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi aku, saat itu aku masih duduk di bangku SMP kelas tiga. Kalau sudah begitu aku dan ibuku hanya bisa menangis dan menunggu Kak Ayu sampai pulang. Hingga suatu kali ibu memarahi Kak Ayu dan sempat menampar pipi Kak Ayu. Sejak saat itu Kak Ayu pergi dari rumah. Awalnya kami pikir Kak Ayu hanya sedang kesal, besuk pasti pulang lagi. Tetapi sampai saat ini, sudah lima tahun Kak Ayu belum juga pulang. Kami sangat menyesal.

Akhir pekan ini Hidan mempunyai acara reuni SMAnya. Acara reuni ini tidak tertutup hanya bagi anak-anak SMA tersebut, artinya boleh membawa teman. Pesan singkat dikirim Hidan untuk Midan yang isinya ajakan ke acara reuni. Awalnya Midan menolak. Tempat ramai dan acara yang seperti itu memang kurang disukai Midan. Baginya hanya tempat orang-orang yang tak bisa menghargai waktu. Memusingkan, berisik, obrolan-obrolan yang tak berguna, dandanan yang macam-macam, dan pasti bau parfum dengan berbagai merk membuat perut ingin muntah. Pesan demi pesan dikirim Hidan untuk Midan. Bahasanya yang halus dan terkesan memohon namun tidak memaksa ternyata mampu melunakkan hati Midan. Dan dengan perasaan terpaksa dan kecewa, diterimalah ajakan Hidan.

Hidan hampir tak percaya dengan pesan balasan Midan yang menyanggupi ajakannya. Dibacanya lagi pesan itu sampai beberapa kali untuk benar-benar memastikan, barangkali Hidan salah membaca. Raut wajah yang sumringah pun hadir. Sambil berusaha mengatur nafas agar normal kembali Hidan membereskan kamarnya yang berantakan. Dalam keasyikannya membereskan kamar, terbesit olehnya pertanyaan mengapa Midan mau menerima tawarannya. Apakah karena pesan yang dikirimya sangat mampu mempengaruhi Midan. Atau memang ada perubahan besar pada diri temannya yang cukup aneh itu.

“Ah buat apa aku pikirkan, yang penting Midan mau ikut.” Ucapan Hidan dalam hati.

Tibalah akhir pekanyang dinanti-nanti Hidan. Persiapan total telah dilakukan, mulai dari jeans, kemeja, parfum, sepatu, handpone, dompet, sampai kalimat-kalimat yang akan disampaikan dalam sambutan nanti telah tersusun rapi dikepalanya. Tetapi tidak bagi Midan, baginya apa pula yang mesti dipersiapkan dalam acara yang sangat membosankan itu. Ia pun berangkat semata-mata hanya ingin menyenangkan hati sahabatnya itu. Sebelum berangkat dan menjemput Midan, Hidan berpamitan pada ibunya. Tiba-tiba Mimi muncul dari belakang berlari dan tidak sengaja menginjak sepatu kakakya. Seketika Hidan memarahi adiknya.

“Kalau lari-lari jangan disini, di lapangan sana!”

“Sori sori tidak sengaja, siapa suruh berdiri disitu!”

“Kakak ini mau pergi ke acara penting!”

Mimi pun tidak menghiraukan ucapan kakaknya dan terus berlari keluar sambil menyambut sepeda roda tiganya.

Midan sudah siap dan menunggu Hidan di teras rumahnya. Membaca buku “Lipstik” karya Ahmad Munief yang baru dibelinya kemarin di pameran buku. Ia pikir jika Hidan datang akan langsung mengajaknya berangkat karena Midan sudah siap. Namun berbeda dengan yang dibayangkan. Setelah memarkir sepeda motornya disamping rumah, Hidan menyuruh Midan agar lekas berganti pakaian. Midan pun bingung.

“Ganti pakaian bagaimana? Ini sudah siap dari tadi.”

“Yang benar saja, kau hanya memakai jeans dan kaus oblong saja?

“Memangnya ada peraturan harus memakai kemeja dan tetek bengek yang bisa membuatku pusing?”

“Baiklah kalau begitu, asal kau mau ikut saja aku sudah bersyukur.”

Selama perjalanan mereka berdua tidak banyak bicara. Mereka sibuk sendiri-sendiri memandangi keramaian di jalan, para pedagang kaki lima, pengamen, bus kota, dan toko-toko yang berjejeran. Di depan toko sepatu “Sin Baru” tidak sengaja Midan melihat seorang wanita berambut panjang dan membawa sebuah tas. Setelah beberapa toko lain terlewati Midan seperti mengingat sesuatu tentang wanita tadi. Diingatnya kembali karena begitu mengganggu pikirannya.

“Stop stop Hidan! Kita putar balik ke toko sepatu tadi!

“Apa-apaan kau ini, kita saja sudah hampir terlambat!”

“Tapi ini sangat penting!”

“Ini juga acara sangat penting bagi hidupku, aku harus bertemu kawan-kawan lamaku dan nanti harus memberi sambutan.”

Mereka pun masih sama-sama memaksakan kehendak masing-masing di perjalanan.

“Kalau tidak mau mengantaarku ke toko sepatu yang tadi biarkan aku turun disini!”

“Memangnya ada siapa disana dan seberapa penting orang itu bagimu?”

“Nanti akan kuceritakan semuanya, aku mohon.”

Akhirnya Hidan tidak tega dan memutuskan berputar arah dan kembali ke toko sepatu tadi.

Terlihatlah tulisan besar “Sin Baru” dari kejauhan. Hati Midan pun sangat senang melihatnya. Diamat-amatinya dari kejauhan namun belum terlihat jelas toko sepatu itu, hanya tulisan besar yang mampu membuatnya tenang. Karena sebentar lagi akan mempertemukannya dengan kakaknya. Sesampainya di depan toko sepatu “Sin Baru” Midan terus saja lari mencari kakaknya di tempat semula ia lihat. Matanya berkaca-kaca karena bahagia. Ternyata nasib berkata lain. Kakaknya sudah tidak ada disana. Semua orang di sekitar toko sepatu ditanya. Sampai ke beberapa toko lain dan mungkin sampai berapa puluh orang yang ditanyai menjawab tidak tahu. Wajah Midan tegang dan sebentar-sebentar diusapkannya punggung tangan untuk menghapus keringatnya. Hidan semakin bingung melihat tingkah kawannya. Tetapi dituruti semua kemauan Midan.

Hidan berusaha menenangkan hati Midan, meskipun ia belum tahu benar apa yang sebenarnya terjadi. Midan terdiam beberapa saat, mengawasi disetiap sudut-sudut pojok toko. Hidan menepuk-nepuk pundak Midan pelan.

“Aku hampir saja bertemu Kak Ayu, hampir saja menjadi orang yang bisa membuat bahagia ibuku”

Hidan masih terdiam karena bingung dan penasaran. Dalam hati ada jutaan pertanyaan untuk Midan.

“Tadi aku melihat kakakku yang selama lima tahun menghilang. Kami semua hampir gila dibuatnya.”

“Maafkan aku Midan, aku pikir tadi kau hanya berpura-pura mencari alasan tidak mau ikut dalam acaraku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Lalu bagaimana dengan acara reunimu?”

“Sudahlah, itu tidak penting lagi bagiku. Yang penting sekarang bagaimana kita bisa menemukan kak Ayumu.”

“Benarkah kau akan membantuku mencari Kak Ayu?”

“Tentu saja Midan, kenapa kau tidak pernah cerita padakutentang ini?”

“Aku malu.”

Mereka berdua meninggalkan toko sepatu “Sin Baru”, kemudian pulang.

Hari berganti hari perasaan Midan selalu dihantui bayang-bayang Kak Ayu. Ada sesuatu yang mendorong Midan untuk segera menemukan kakanya. Di luar terdengar ketukan pintu. Hidan masuk ke kamar Midan. Diceritakannya segala hal tentang Kak Ayu dan diperlihatkan foto kakak tercintanya kepada Hidan.

Beberapa minggu kemudian Hidan membawa kabar tentang Kak Ayu. Banyak kegiatan di luar yang diikuti dan tentunya banyak pula relasi Hidan. Hal ini membuatnya semakin mudah untuk mendapat informasi mengenai Kak Ayu.

“Aku bawa kabar baik kawanku.”

“Punya pacar baru?”

“Bukan. Ini soal Kak Ayu.”

“Kau menemukan Kak Ayuku??” kata-kata ini diulang beberapa kali oleh Midan sambil menggoyang-goyangkan tubuh Hidan. Sampai-sampai tubuh Hidan berada di pojok sudut tembok kamar Midan.

“Kau ini.. Sabar sabar..”

“Ayo katakan dimana Kak Ayu. Kita kesana dan menjemputnya sekarang.”

“Kak Ayumu tinggal di sebuah Panti Asuhan. Disana Kak Ayu membantu mengurusi anak-anak panti.”

Midan terdiam sesaat, “Sungguh Mulia hati Kak Ayu” bisik Midan dalam hati.

Keesokan harinya kedua pemuda itu mendatangi Panti Asuhan tempat tinggal Kak Ayu. Selama perjalanan Meraka sangat tegang. Terlebih lagi Midan. Membayangkan bertemu Kak Ayu, membawanya pulang, dan ibu pasti sangat bahagai. Dari jarak kurang lebih seraratus meter terlihat keramaian disekitar Panti. Hidan pun membuka kaca jendela taksi yang ditumpanginya. Mencari-cari seseorang untuk ditanyai soal keramaian itu.

“Ada apa ya Pak kok ramai sekali?”

“Tadi pagi salah satu pengasuh panti ada yang meninggal.”

Perasaan kedua pemuda itu sudah gundah gulana. Namun Hidan mencoba menghibur Midan.

“Tenang saja kawan, aku yakin Kak Ayumu ada di dalam dan baik-baik saja. Sekarang kita turun.”

Kursi-kursi tersusun rapi di halaman panti, anak-anak panti yang polos itu berwajah sendu. Tiba-tiba seorang ibu keluar menyalami kami. Kami berdua menyatakan maksud kedatangan dan juga ikut menyatakan berbela sungkawa. Meskipun belum tahu benar siapa yang meninggal. Mendengar semua penjelasan kami, ibu panti itu pun menagis tersedu-sedu. Hingga kami bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan wajah tenang yang dipaksakan, ibu panti menceritakan bahwa yang meninggal tadi pagi adalah Kak Ayu. kami berdua sangat terkejut dan tidak bisa berkata-kata. Midan pingsan dan dibawa masuk ke salah satu kamar panti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun