Masyarakat yang telah lama tinggal di bawah Gunung Merapi ini sering menjadi korban letusan gunung yang super aktif ini. Jangan sampai mereka memperoleh tambahan derita karena hanya bisa menyaksikan orang-orang dari tempat yang jauh menikmati pasir itu secara semena-mena.
Ratu Hemas mengatakan akan berjuang untuk menyuarakan adanya "kesewenang-wenangan" berkaitan dengan penyedotan pasir Merapi ini. Suara Bu Ratu memang diperlukan bagi masyarakat kecil sekitar gunung itu.
Bicara soal alam sekitar Gunung Merapi ini saja jadi ingat pada tulisan rekan saya Lucas Sasongko Triyoga berjudul "Merapi dan Orang Jawa, Persepsi dan Kepercayaannya" yang diterbitkan Grasindo , PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta tahun 2010.
Sarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu antaralain mengatakan, "Kebudayaan adalah suatu sistem yang memuat antara lain sistem nilai yang mengatur hubungan timbal balik dengan lingkungan : soial, alam lingkungan, dan adikodrati/supernatural."
Oleh karenanya hal paling penting dalam hubungan penduduk lereng Merapi dengan lingkungannya adalah sarana keseimbangan.
Penduduk lereng Merapi diajar bukan untuk menguasai alam, tetapi bagaimana menyesuaikan dirinya dengan alam yang serba gaib dan menitikberatkan bagaimana menjaga keselarasan atau harmoni dengan Merapi. Pelanggaran terhadapnya ........akan menyebabkan keguncangan kosmos.
Gunung Merapi dipercaya oleh penduduk setempat sebagai keraton makhluk halus, tempat tinggal para roh leluhur. Kepercayaan masyarakat lereng Merapi ini harus kita hormati.Â
Jangan sampai penyedotan pasir di lereng Merapi tanpa kendali ini suatu pelanggaran terhadap kepercayaan masyarakat setempat.Â
Penghormatan terhadap kepercayaan itu menjadi salah satu tolok ukur kita ini kaum berbudaya atau tidak. Jangan sampai kita dituduh sebagai kaum tidak tau adat atau tidak berbudaya.
Bayangkan kita ini akan jadi kaum apa bila lembaga demokrasi hanya sebagai bedak wajah saja dan kepercayaan adikodrati rakyat diinjak oleh penyedot pasir.Â