Suaranya masih merdu. Hanya bermodal sawut sepiring, lupis seadanya, beberapa cenil, dan gula merah, terik matahari ia lawan. Harga yang tidak sepadan dengan kerja keras, melalui hari bertetangga debu.
Malang adalah kota, trotoar itu saksinya.  Riwa-riwi pengunjung pasar di seberang jadi penyemangat. Serasa muda meski badan sudah berat. Kadangkala saya pikir, kemana anak-anaknya? Atau apakah ia terlalu tegak untuk dirawat? Anda dapat menjadi saksi perjuangan hidup ini di daerah Gadang, Kota Malang. Distrik yang tersohor dengan terminal. Disana sebuah makam luas jadi penanda. Berseberangan dengan SD induk yang bersebelah pasar. Mungkin ibu ini tidak kuasa lagi menyeberang jalan ramai untuk mencapai pasar, hingga cukup berada di seberangnya saja. Yang dijualnya sebuah makanan tradisional. Selera menengah ke bawah, tidak semua orang suka. Tapi lestarinya juga pertanda bahwa taraf hidup tinggi masih impian kebanyakan. Omzetnya pun saya kira sedikit. Mungkin penghasilan maksimal sehari dua puluh ribu. Itu pun jika habis dagangan hari ini ditebas orang-orang baik. Istimewanya, konsistensi. Istimewa lagi, kerasnya keinginan untuk survive. Bertahan hidup, sebagai syukur nikmat atas rezeki yang telah dilimpahkan Tuhan pada tubuh. Pada suara, pada usia. Tempaan zaman yang sudah berlalu adalah pelajaran. Kini, pembuktian. Semoga tetap mulia ia disana. Senantiasa dipertemukan pembeli baik yang bukan hanya menginginkan makanan, tetapi pula kebaikan. Pembeli yang membeli bukan sekedar untuk dikonsumsi, tetapi berbagi. Semoga tidak ada pengganggu yang khilaf pada masalah, sehingga mencari sasaran yang lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H