Mohon tunggu...
Oscar Oyi
Oscar Oyi Mohon Tunggu... -

a man in punk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dekadensi Kelas Molimo

5 September 2013   08:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mas Dhawir menyilangkang kakinya, menyedot kreteknya dalam-dalam, lalu asap dikepulkan ke awang-awang.Sementara istrinya melirik penuh kebengisan.Hihi, saya berada di tengah-tengah jadi tak enak.Di sisi lain menahan ketawa, tapi raut wajah musti serius.Agar tidak disangka meremehkan salah satu pihak.Istilah hukum, saya abstain.

Ujung kepala rokoknya diketuk-ketuk ke pinggiran asbak.Mas Dhawir menggumam, ”Kan, sudah terlalu baik saya ini.Berubah seratus delapan puluh derajat celcius.”.Lah, saya makin tak karuan mendengar statement beliaunya.Perubahan yang dimaksud saya yakin bukan tentang suhu, kan, seharusnya.Kepala saya tundukkan, hingga kulit leher saya yang belakang rasanya mau sobek.

“Dulu kehidupan malam macam apa yang ndak ngalamin? Ya, molimo semua sudah pernah.” lanjutnya.Istrinya mencep, istilah Jawa, maknanya menyerupakan bibirnya sehingga mirip bebek.“Sekarang terus terang saya sudah baik.Jauuh lebih baik.Minum-minum sudah ndak pernah.Judi apalagi.Madon apalagi.Masuk-masuk diskotik juga pensiun.Kumpul teman-teman yang pulang ke rumah seminggu sekali juga ndak lagi.Lah, kan, bagus, toh?”.

“Lo, kok, tidak molimo dibilang baik? Ya, memang semestinya semua manusia, ya, ndak molimo, toh?” serobot istrinya tidak sabar.Saya seketika menoleh.Sang istri menambahi, “Kalau Mas bisa mbangun masjid buat tetangga, itu baik.Kalau bisa nyumbang anak tetangga yang demam berdarah, itu baik dan istimewa.Lah, kalau sekedar tidak melakukan perbuatan jahat, apanya yang bisa dikatakan baik, Mas?”.Mas Dhawir kontan melotot.Saya ganti menoleh ke kanan.

“Kamu ini istri, kok, mau minteri?” Mas Dhawir setengah membentak.Saya elus-elus lututnya, “Wis, Mas.Wis, Mas…”.Istrinya melengos.“Bukan sanak, bukan kadang.Sudah tinggal di rumah ndak saya tarik sewa.Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur.”.Saya percepat elusan saya di lututnya.Mas Dhawir malah mengangkatnya.Ganti posisi metingkrang.Saya yang jadi kikuk.Berada di tengah pertikaian yang makin pribadi.

“Ealah, lah, saya juga kerja.Wong, rumah juga urunan! Makan urunan! Lah, jadi siapa yang nyewa, siapa yang disewa?” Mbak Jum menjawab ceplas-ceplos.Kemungkinan tidak ingat saya sedang berada tepat di tengah mereka.Mas Dhawir memandangi jendela.Seperti mau lompat.Mungkin malu juga pada saya yang sama-sama lelaki.Ini orang yang njebol galah yang dijadikan gawang-gawangan anak-anak di lapangan.Untuk kemudian dipukulkan ke maling kampung yang dikejarnya.Di depan mata saya dimarah-marahi sama istrinya.

Track record Dhawir jangan diragukan lagi.Saya sendiri takut kalau berpapasan dengannya tidak menegor atau minimal senyum.Apa mau dikira nantang? Senyum saja masih salah, kadangkala teman-teman malah disuruh nraktir rokok satu pak.Tapi kali ini tepat di seberang hidung saya, mas preman sedang galau diumbah sama istrinya.Entah angin apa yang sedang menerpa Mbak Jum.Sampai-sampai pagi-pagi saya sudah diseret berkunjung ke rumahnya yang ternyata sedang panas-panasnya.

Saya yang sesungguhnya didaulat ikut omong-omong sedari tadi saja masih bingung mau apa yang diomongkan.Di atas kertas, ya, jelas ini Mbak Jum yang benar.Nyatanya taubat Mas Dhawir yang beberapa tahun lalu telah diikrarkan – juga di depan saya, kok, akhir-akhir ini kendo.Bagai tarikan tali, itu tarikan antar kedua belah pihak malaikat dan setan seperti melemah.Pada saling mendekat, akur, jadinya kendur.Teman-temannya yang sudah tua tapi masih cadel dibawah pengaruh arak jadi sering main-main lagi ke rumah mereka.Pernah diusirin sama Mbak Jum juga balik lagi, namanya orang mabuk.

Saya tertarik sekali sanggahan Mbak Jum di atas tadi.Ini dekadensi.Tapi saya mau sebut, kok, ya, nanti khawatir dilempar jumroh sama Mas Dhawir.Di rumah pemabuk, kok, ngomong dekadensi.Sini bawa Tomi Stanley baru saya mau dengar pendapat kamu.Akhirnya saya cari-cari istilah yang paling mendekati.Pokoknya saya mau bilang ini penurunan standarisasi kualitas budaya kita manusia Indonesia.

Dulu anak SD baru dikatakan berprestasi kalau juara di sekolahan.Atau minimal di kelas.Istilah dulu: ranking.Yang ranking 1 itu hebat, jawara.Ranking 2 lumayan.Ranking 3 biasa saja, hampir mirip anak-anak yang tidak ranking.Hanya saja lebih beruntung sedikit, tingkatannya paling atas diantara anak-anak yang bodoh.Tapi sekarang, anak sekolah bisa naik kelas saja sudah hebat.Tidak penting lagi itu ranking, anak-anak ditingkat-tingkatkan, dianggap sebuah pendidikan mental yang cedera.Yang penting naik kelas.Atau lulus, sehingga bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.Itu sudah hebat sekali.Pintar, berprestasi.

Sampai proses beribadah, berhubungan dengan Tuhan juga diberi kemudahan.Kok, mikir bisa salat lima waktu, tepat waktu.Bisa salat saja sudah bagus di abad ini.Kok, mikir sembahyang Subuh.Bisa Zuhuran saja sudah hebat sekali.Itu jam-jam sibuk.Kok, mikir menghapal Al Qur’an.Bisa surat pendek dua atau tiga saja aman, yang penting kalau terpaksa harus mengimami teman-teman kantor, ada surat yang bisa dibaca, jangan Al Fatehah tok.

Mau apa anak-anak dicegah dari rokok? Asal tidak Narkoba saja, kan, sudah baik sekali.Jangan ditambahi aturan lagi.Rokok itu sudah jadi mainstream.Kenapa minggir di jalur-jalur alternatif? Kamu, ya, akan ketinggalan kesempatan emas kalau tidak hapal lagu-lagu Setia Band, contohnya.Wong, di bus ke arah mana saja sekarang hampir semua pengamen di dalamnya menyanyikan lagu-lagu itu.Kan, begitu, toh?

Dulu pemimpin-pemimpin zaman kerajaan mesti mati-matian membela rakyatnya.Mau korupsi cara wedus? Apa yang dikorupsi? Penghasilan di daerah-daerah tidak ada yang mengharuskan disetor separuh lebih ke pusat.Sekarang? Dipimpin saja sudah bagus.Kok, mikir pemimpin baik, jujur, dan adil.Diajak sebentar jalan-jalan ziarah ke makam Wali-wali saja sudah cukup untuk membulatkan niat mencoblos mukanya di bilik-bilik kelak.

Dekadensi ini yang saya pikir mempengaruhi hampir seluruh lini kehidupan bangsa, sehingga menelurkan jelmaan-jelmaan persoalan baru di rumah-rumah.Keluarga mana yang mau ada standar ganda? Inginnya menetapkan standar yang baik, tapi sudah kadung ketakutan nanti terlalu tinggi.Kasihan anak-anaknya, suami-suaminya.Maka ikut-ikutan saja supaya mudah.Asal anak pada sekolah, asal suami tidak pengangguran, asal ibu bisa menyusui.Kenekatan-kenekatan terjadi di semua sektor.Bonek tidak berasal dari ras sepak bola saja.Pemuda kita tidak punya kerjaan, cicilan motor minta-minta bapaknya, tapi pacar gonta-ganti.Kemudian dihamili dan berani tanggung jawab menikahi.Entah pigimane nanti urusannya apa kate Yang Di Atas, dah!

Akhirnya atap rumah ambrol.

Kok, ribut-ribut pemimpin yang mampu menjaga kerukuran antar umat beragama.Pemuka-pemuka kepercayaan yang mampu mengendalikan umat-umatnya supaya hidup tenteram, damai, dan sejahtera.Sedangkan ada sebuah kampung yang antara NU dan Muhammadiyah-nya akur saja itu sudah sangat baik, maksimal.Sudah merupakan kampung berprestasi, layak dapat penghargaan kerukunan.

Mas Dhawir mengernyitkan dahi sepanjang penjelasan saya.Mbak Jum apalagi.Tidak menyangka dia, sulutan gagasannya yang hanya sedikit tadi ternyata bisa mewakili sebegini banyak pembahasan.Saya terengah-engah seusai bicara.Menggelogok air putih yang disuguhkan.Kemudian pamit, “Assalamu’alaikum!”.

Tidak saya jumpai Mbak Jum atau Mas Dhawir beberapa hari terakhir.

Sampai terdengar kabar mereka pindah rumah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun