Sebagian besar mahasiswa kita karena duit tinggal minta bapak-ibunya, maka perjuangan mereka bukan untuk kuliah – melainkan untuk mata kuliah.Mereka iseng kuliah siapa tahu jadi sarjana.Mereka rasa untuk mendapat nilai saja sudah susah, untuk melewati ujian saja sudah berat minta ampun.Jadi urusan cari uang semesteran, jajan, dan berikutnya itu biar tanggung jawab orang tua.
Pagi ini saya jalan-jalan mencari sarapan bersama istri.Dapat nasi pecel kaki lima di pinggiran gedung aula salah satu perguruan tinggi swasta – yang dengar-dengar gengsinya tinggi.Kebetulan, biar pun Minggu-Minggu begini, ada saja acara seminar atau tes entah apa di gedung itu.Dan seperti biasa, pedagang map dadakan berhamburan sampai ke jalan raya.
Saya bukan mahasiswa, namun dengan penampilan bak orang pintar begini, eh, ditawari juga map putih-putih itu.Dengan sigap saya menolak, sopan.Melewati penjual pertama, datang penjual berikutnya menawari barang yang sama.Kemudian ketiga, keempat, terus-menerus saya ditawari itu map.Padahal sudah menolak dari pertama.Entah ini para penjual bodoh, budek, tuli, atau pura-pura tidak mengerti.Akhirnya dasar sial nasib penjual paling ujung, kesempatan saya misuhi, “Aku golek sego pecel! Dudu sego mep!”.
Sambil menikmati pecel saya pagi ini, pemandangan para penjaja map itu lumayan juga.Menarik seperti nonton sinetron.Banyak mahasiswa kebingungan wajahnya, beli-ndak, beli-ndak.Tapi akhirnya beli.Saya yakin bukan karena merasa akan butuh, tapi sumpek juga ditawari dengan penuh kekerasan begitu.“Ah, cuma duit lima ribu,”, mungkin begitu pikirnya.
Kalau pun memang itu map dibutuhkan, kenapa para mahasiswa yang pikirannya mahasiswa ini, kok, dari kemarin malam tidak berpikir.Sehingga bisa dipersiapkan bawa sendiri dari rumah, kalau memang butuh.Lah, kalau tidak butuh, tidak tahu penting apa tidak, kenapa juga mau beli? Apa takut sama penjual? Kalau dipikir, kan, penjual yang mestinya takut.Ini mahasiswa, kelas berpikirnya pasti lebih logis, akademis, berpendidikan.Mana bisa ditawari barang yang kemungkinan besar mereka tidak akan beli kalau tidak butuh? Atau pasti sudah mempersiapkan sejak jauh-jauh hari jika ternyata benar butuh.Menawari yang kebetulan lupa? Lah, ini sepertinya lebih banyak yang kelupaan daripada yang ingat.Apa mahasiswa kita sekarang ini pelupa semua?
Saya heran.Pecel saya juga ikut heran, sampai tidak enak rasanya.
Saya perhatikan yang bisa menolak para penjual itu hanya mahasiswi-mahasiswi yang datang diantar oleh ayahnya.Berbonceng sepeda motor.Si anak sudah bimbang, kerepotan mau mengeluarkan dompetnya untuk membayar.Tapi bapaknya dengan muka bengis menolak, motor ditancap kencang meninggalkan penjual.
Ini bukan karena si bapak itu bodoh, pelit, atau tidak mengerti kebutuhan mahasiswa hebat-hebat ini.Tapi karena beliau sudah hafal kegelisahan hidup.Mengerti sulitnya cari uang.Memahami bagaimana menghadapi hidup yang tidak sekedar berbekal mata kuliah.
Mahasiswa-mahasiswa kita karena uangnya banyak sekali – di dompet orang tuanya, jadi tidak sensitif dengan hal-hal seperti ini.Dia pikir uang 1 miliar itu tetap 1 miliar meski berkurang lima ribu rupiah.Sehingga yang pantas dihargai hanya yang banyak-banyak saja.Yang besar-besar saja.Yang sukses-sukses saja.Yang hebat-hebat saja.
Maka bisa dibilang yang lebih pintar, ya, penjual mapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H