Mohon tunggu...
Osama
Osama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Patah dan sambungkan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Langit Yang Dipanjat

9 Januari 2025   13:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   19:22 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto tangga perjuangan & Sumber : Pinterest

Detak jantung jam terus berdetak.
Matahari dan bulan terus saling mengejar.
Diriku yang dulunya masih sebatang tunas kini sudah menjadi pohon yang rindang.
Perlahan-lahan kumulai melihat keatas.
Kulihat setitik bintang bersinar di langit itu.
Sinar yang tidak tahu kapan ia akan redup dan kapan ia akan padam.
Aku ingin bintang itu terus bersinar.
Aku ingin bintang itu ada di genggaman jari jemari tangan ku.
Kupotong sedikit demi sedikit dahan pohon yang menjuntai hingga ke tanah.
Kurakit dan kujadikan tangga untuk meraih bintang yang bersinar.
Semakin kupanjat semakin tumbuh duri di tangga itu.
Duri mulai menusuk.
Darah mulai mengalir.
Angin mulai menampar seluruh badanku.
Tangga ku mulai goyang.
Aku ingin berbaring di atas rerumputan yang empuk.
Menikmati angin yang mengelus pipi ku sambil menatap indahnya bintang itu dari kejauhan.
Diriku seperti burung kehilangan sayapnya.
Kutampar diriku dengan gejolak api yang membakar tubuh ku.
Sayapku mulai menumbuh.
Dan terbang kelangit ketujuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun