Saya pernah mengalami pengalaman lucu saat mau terbang meninggalkan Paris dalam suatu kunjungan kerja beberapa tahun lalu. Dalam perkara ini, Indonesia patut bersyukur karena gaya kerja imigrasi kita di bandara ternyata mirip dengan petugas imigrasi di Bandara Charles de Gaulle di Paris. Ini yang saya mau bagikan kepada Anda kali ini. [caption id="attachment_260034" align="aligncenter" width="300" caption="Charles de Gaulle Airport (dokumentasi pribadi)"][/caption] Sebelum berangkat ke Paris saya sebenarnya sudah diberi beberapa saran oleh beberapa teman terutama saat pulang ke Indonesia dan menghadapi pemeriksaan imigrasi di sana. Tapi inilah kelemahan saya yang cenderung meremehkan saran dari mereka yang lebih berpengalaman. Tampaknya saya mengidap penyakit yang selalu ingin mencoba-coba sesuatu yang sebenarnya orang lain sudah pernah mengalami akibatnya. Setelah menyelesaikan ritual check-in, saya tengok arloji saya dan sepertinya masih ada 3 jam sebelum jam keberangkatan. Saya pikir lumayanlah masih ada waktu untuk jalan-jalan menikmati bandara ini untuk terakhir kalinya. Satu jam sebelum keberangkatan barulah saya masuk ke antrian pemeriksaan imigrasi, begitulah pikiran saya. Dan itulah yang saya lakukan malam itu. Satu jam sebelum keberangkatan saya segera ke toilet (itu kali terakhir saya buang air kecil di Paris he..he..) lalu pergi ke pemeriksaan imigrasi. Dan...alamak, puuannnjaaang sekali antriannya, itu pun sudah dibelok-belokkan seperti ular. Dari sekian loket imigrasi yang tersedia, hanya 2 loket imigrasi yang dibuka, yang satu untuk warga Uni Eropa, yang lainnya untuk warga non Uni Eropa. Bayangkan, untuk melayani sekian ratus orang non EU yang akan terbang ke seluruh penjuru dunia tepat pada tengah malam nanti hanya 1 loket yang melayani. Dan petugasnya itu lho, nyantai banget kayak tanpa beban melihat antrian yang mengular di depannya. Padahal saya lihat ada juga sebenarnya para petugas yang lain, entah kenapa mereka tidak mau membantu temannya untuk mengatasi antrian yang begitu panjang. Nah, ini yang saya maksud dengan kemiripan antara petugas imigrasi Indonesia dengan Perancis itu. Apa yang saya alami malam itu tepat sama dengan yang saya alami di Bandara Cengkareng saat saya pulang dari Singapura tahun 2003 yang lalu (baca kembali tulisan ke 10 sebelumnya). Di Cengkareng, dari sekian loket imigrasi yang tersedia, hanya 2 loket yang buka, sementara para petugas yang lain merokok sambil tertawa bersama rekan-rekannya yang lain di ruangan sebelahnya. Jadi teman-temanku, jangan minder jadi orang Indonesia karena dalam beberapa hal kita mirip kok dengan negara-negara maju seperti Perancis he..he... Malam itu, di tengah antrian panjang saya merenungkan, ternyata benar juga yang disarankan oleh teman-teman saya dulu bahwa kalau pulang dari Paris lebih baik ambil waktu 2 atau 3 jam sebelum jam keberangkatan untuk segera masuk ke pemeriksaan imigrasi karena biasanya hanya 2 loket yang buka. Itulah akibat anak yang tidak mendengar nasehat orang tuanya eh...temannya he..he... Di depan saya ada sebuah keluarga yang kalau melihat logatnya sepertinya dari Amerika Latin. Saya ngobrol dengan sang suaminya, sekedar untuk melampiaskan omelan dan kekuatiran takut ketinggalan pesawat. Sang suami yang ada di depan saya juga bercerita kalau jam keberangkatannya juga sama dengan saya, beberapa kali dia mengucap f@&k untuk mengekspresikan kekesalannya. Untunglah, 10 menit sebelum jam keberangkatan akhirnya saya mendapatkan stempel keluar dari wilayah EU itu. Dan Anda pasti tidak mengira bahwa saya ternyata memiliki bakat sebagai pelari cepat lho. Setelah keluar dari loket imigrasi lalu masuklah saya ke bagian X-Ray untuk pengecekan tas bawaan dan setelah itu saya langsung berlari kencang mengikuti penumpang yang lain yang juga berlarian. Ternyata masih harus naik kereta skytrain untuk menuju ke terminal keberangkatan saya. Setelah kereta skytrain sampai, berlarilah saya ke terminal keberangkatan. Saya tengok arloji saya ternyata sudah terlambat 30 menit. Sambil terengah-engah saya segera memasuki kabin pesawat yang sudah menunggu. Dan setelah kursi saya ketemu, segera duduklah saya untuk menarik nafas dalam-dalam sebagai kompensasi atas lari saya yang mungkin sudah memecahkan rekor tadi he..he... Ternyata masih banyak penumpang yang belum masuk kabin. Kalau tidak salah, pesawat akhirnya take-off terlambat 1,5 jam dari jadwal. Gara-garanya ya karena antrian di loket imigrasi tadi itu. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 17 September 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H