Saya sangat tertarik dengan tulisan mas Yusran Darmawan tentang Obama ;setelah si Obama memberikan kuliah umum di UI beberapa minggu yang lalu; di mana sang penulis membandingkan gaya berpidato antara Obama dengan presiden kita sekarang. Dalam satu bagiannya, sang penulis menyoroti orang-orang di belakang mereka dalam mempersiapkan pidatonya. Mas Yusran menyayangkan tiadanya orang-orang seperti Gunawan Mohamad dalam tim penyusun pidato presiden sehingga terasa pidato bapak kita yang satu ini terasa datar, kurang greget dan membosankan. Setelah membaca postingan tersebut, pikiran saya melayang kepada Bung Karno. Tidak diragukan lagi, belum ada di negeri ini yang bisa menyamai gaya berpidatonya Sang Pemimpin Besar Revolusi tersebut. Tentu saja kita berharap kelak kita bisa mendapatkan pemimpin baru yang lebih energik, yang memiliki kapasitas untuk menyamai Bung Karno, entah dalam hal berpidato, dalam hal kemampuan dan visi kepemimpinannya serta tentu saja dalam hal keberhasilannya melaksanakan semua isi pidatonya sendiri. Kembali kepada Obama. Sudah menjadi informasi publik bahwa di belakang Obama terdapat tim penyusun pidato yang sangat kreatif dan solid. Tim di belakang Obama ini dipimpin oleh seorang pemuda bernama Jon Favreau yang masih berusia 27 tahun. Dari berita-berita yang saya baca, pemuda ini sudah menjadi bagian dari tim penyusun pidato kampanye John Kerry sejak lulus kuliah dalam usia 23 tahun. Karena John Kerry gagal menang pilpres tahun 2004, dia akhirnya sempat menganggur sampai kemudian direkrut menjadi tim kampanye Obama. Sejarah kemudian mencatat bahwa pemuda inilah yang kemudian menulis pidato Obama yang sering terdengar indah, bernas dan padat makna dan semangat itu. Demikianlah Obama dan Jon Favreau.
[caption id="attachment_77083" align="aligncenter" width="300" caption="Jon favreau (sumber: www.thehollywoodgossip.com)"][/caption] Saya memiliki beberapa buku kumpulan pidato Bung Karno. Rasa penasaran saya muncul, siapa ya yang ada di belakang Bung Karno untuk menulis pidato-pidato si Bung Besar ini? Saya masih terus mencarinya melalui studi kepustakaan, tapi paling tidak saya mau membaginya sedikit apa yang sudah saya dapatkan sejauh ini kepada Anda. Sekedar untuk menambah wawasan kita saja. Di awal perjuangannya, tampaknya Bung Karno menulis pidatonya sendirian. Dan pidatonya tidak dibuat secara mendadak, tapi melalui proses yang cukup panjang, di antaranya melalui studi literatur yang dibacanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bung Karno melahap semua buku dalam spektrumnya yang luas, mulai Das Kapital-nya Karl Marx sampai Al Quran, Alkitab, Weda maupun Bhagawatgita. Karena itu tidaklah heran dalam setiap pidatonya, dia selalu menggunakan analogi-analogi atau istilah-istilah yang dia ambil dari pemikiran Karl Marx, Hegel, menyitir ayat suci Al Quran maupun Al Kitab atau menceritakan kisah yang ditulis dalam kitab Bhagawatgita. Pertanyaan kritis muncul, apakah situasi yang sama juga terjadi saat dia menjadi presiden? Apakah dia masih punya waktu untuk menulis pidato-pidatonya sendirian di tengah-tengah kesibukannya sebagai presiden yang sering terjebak dalam rutinitas protokoler kenegaraan dan intrik-intrik politik dari kawan maupun lawan politiknya? Tidak adakah seseorang atau sebuah tim yang membantunya dalam urusan pidato ini? Saya menemukan dalam ceceran sejarah sebuah nama yang agak asing, yaitu Molly Bondan. Nama lahirnya adalah Molly Warner, penduduk Sydney ini lahir di Auckland Selandia Baru pada tanggal 9 Januari 1912. Jiwa petualangan gadis ini muncul kala melihat praktek-praktek kolonialisme yang masih terjadi saat Perang Dunia 1 dan ke 2 berkecamuk. Paska proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dia sangat tertarik untuk membantu perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Untuk itu dia terlibat dalam pendirian Australia - Indonesia Association. Organisasi ini berdiri terutama karena peran para eks Digulis, yaitu para pejuang pergerakan Indonesia (sebagian di antaranya adalah eks aktivis PKI yang dibuang Belanda ke Boven Digul Papua karena terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda di tahun 1926). Â Para buangan ini kemudian dibawa ke Australia saat Jepang masuk ke wilayah Indonesia. Ternyata nasionalisme eks-Digulis ini masih membara, mereka membantu perjuangan Indonesia dari Australia terutama dengan memanfaatkan kedekatan ideologi mereka dengan kaum buruh yang kemudian berujung pada peristiwa "Indonesia Calling" yaitu saat buruh-buruh pelabuhan di Australia melakukan mogok kerja untuk menghadang berangkatnya kapal-kapal Belanda dari Australia yang mengangkut tentara NICA untuk didaratkan di Pulau Jawa. Dalam konteks inilah Molly Warner mulai terlibat dalam perjuangan Indonesia. [caption id="attachment_77086" align="aligncenter" width="300" caption="Molly dan Bondan (sumber: www.rosodaras.wordpress.com)"]
[/caption] Molly kemudian berkenalan dengan salah satu eks-Digulis di Australia, namanya
Mohamad Bondan. Hubungan mereka kemudian berlanjut ke pernikahan. Pengantin baru ini kemudian nekad meninggalkan kenyamanannya untuk pergi ke Indonesia, bergabung dalam gerakan perjuangan revolusioner melawan Belanda. Molly Bondan ;demikian ia dikenal kemudian; mengabdikan tenaganya sebagai penyiar
The Voice of Free Indonesia di RRI Yogyakarta. Pada saat persiapan
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, dia bekerja di departemen luar negeri untuk mengajar bahasa Inggris kepada para diplomat Indonesia yang menjadi panitia konferensi. Keterlibatan dalam KAA ini mengantarkan dia kepada Bung Karno yang kemudian mempercayainya sebagai pembantu dekatnya dalam menulis pidato berbahasa Inggris atau menterjemahkan setiap pidato Bung Karno dalam bahasa Inggris kalau dibutuhkan. Dia terlibat erat dengan Bung Karno kala mempersiapkan pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB yang sangat fenomenal itu yaitu
"To Build The World a New". Sebenarnya ada 3 orang bule yang membantu Bung Karno untuk menyusun bahan pidato berbahasa Inggris atau menterjemahkan pidato Bung Karno ke bahasa Inggris. Selain Molly Bondan ada juga
Tom Atkinson dan
John Coast. Kedua nama terakhir ini adalah orang Inggris yang secara diam-diam menyusup ke Yogyakarta untuk membantu perjuangan Indonesia saat revolusi melawan Belanda. Sayang, sejak 1961 Tom dan John kembali ke negerinya meninggalkan Molly Bondan sendiri yang tetap aktif berjuang walaupun dia sudah pensiun dari Departemen Luar Negeri. Dia kemudian meninggal dunia pada tanggal 6 Januari 1990 karena kanker. Molly Bondan mengakui bahwa walaupun dia adalah penulis pidato Bung Karno, Bung Karno memiliki energi dan kemampuan yang sangat tinggi untuk memilah-milah mana yang akan digunakan sebagai bahan pidatonya dan mana yang tidak. Kesaksian Molly Bondan ini saya cek silang dengan kesaksian
Hario Kecik, seorang tentara mahasiswa yang terlibat dalam Pertempuran Surabaya 1945 sampai kemudian dia menjadi Panglima Kodam Mulawarman sampai awal tahun 1965. Hario Kecik mengalami kesialan saat di tahun 1965 itu dia ditugaskan oleh KSAD
Ahmad Yani untuk tugas belajar di Moskwa dan ternyata seperti kita ketahui bersama bahwa Ahmad Yani tewas oleh gerakan G30S. Ternyata oleh rejim
Soeharto dia dicurigai sebagai bagian dari rejim Soekarno sehingga sepulangnya dari Moskwa dia langsung ditahan di rumah tahanan militer hampir 4 tahun lamanya sampai kemudian dibebaskan tahun 1981 tanpa mengalami proses pengadilan. Dalam memoarnya Hario Kecik bercerita bahwa ada beberapa pejabat di sekeliling Bung Karno yang mengaku-aku kalau merekalah penulis pidato Bung Karno. Salah satu yang diingatnya adalah
dr. Soebandrio, salah satu dari Wakil Perdana Menteri (Waperdam) yang memang terkenal pintar dan licin. [caption id="attachment_77088" align="aligncenter" width="300" caption="dr. Soebandrio (sumber: www.alutsista.blogspot.com)"]
[/caption] Pada awal tahun 1960-an, saat itu Hario Kecik masih sebagai Pangdam Mulawarman di Balikpapan yang tentu saja juga sebagai panglima tertinggi di garis depan konfrontasi dengan Malaysia saat Operasi Dwikora. Pada suatu hari di awal bulan Agustus itu dia dipanggil ke Jakarta untuk membicarakan logistik operasi militer bersama Staf Umum Angkatan Darat. Pada suatu pagi secara mendadak dia ditelepon oleh dr. Soebandrio untuk datang ke rumahnya. [caption id="attachment_77089" align="aligncenter" width="300" caption="Hario Kecik (sumber: www.muhzarkasy-bulungan.com)"]
[/caption] Karena merasa ada kegentingan, Hario Kecik pun datang. Ternyata dia disuruh sarapan oleh dr. Soebandrio dan isterinya. Setelah sarapan, dengan nada penting Soebandrio berkata, "Cik, mobilmu ditinggal saja. Kamu bawa pistol kan ? Kita langsung berangkat setelah kamu selesai minum kopi." Bu Bandrio protes karena dia ingin mengobrol dengan Hario Kecik, kenalan lamanya saat di Ika Daigaku (Fakultas Kedokteran Jakarta jaman Jepang) dulu, "Eee, ono opo kesusu ? Aku sik katene ngomong barek Hario." (Eee, ada apa buru-buru, aku mau ngobrol sama Hario) Soebandrio menjawab, "Wis ngomongo, Lima menit." Bu Bandrio kemudian jengkel, "Yo wis, gak pokro. Wis mingat-minggato kono." (Ya sudah, keterlaluan. Sudah pergi sana). Akhirnya Soebandrio dan Hario Kecik pun berangkat. Ternyata mereka menuju ke Puncak. Dalam perjalanan itu Soebandrio dengan nada yang genting bertanya kepada Brigjend Hario Kecik, "Cik, nanti kalau tiba-tiba kita dicegat gerombolan bersenjata kita bagaimana?" Hario Kecik menjawab, "Ya kita lawan tho. Aku punya 3 magazine peluru nih." Soebandrio tersenyum puas sementara Hario Kecik semakin penasaran mau dibawa kemana dia. Di tengah jalan, Hario Kecik, sang Pangdam Mulawarman itu merasa ingin buang air besar. Dia memaksa Sang Waperdam untuk menghentikan mobilnya supaya dia bisa buang air besar di dalam salah satu parit pinggir jalan. Tentu saja Soebandrio marah-marah, "Kamu ini bagaimana? Saya menteri lho. Mosok kamu suruh berhenti. Kurang ajar kamu. Di mana kamu akan ngising. Gendeng kamu Cik. Sini bukan hutan belantaramu di Kalimantan sana." Hario Kecik berkata, "Itu di parit di bawah sana. Berhenti, saya sudah tidak kuat lagi menahan. Atau saya ngebrok di sini, di dalam mobil." Menanggapi "ultimatum" itu, Soebandrio akhirnya menghentikan mobilnya dan memberi kesempatan pada sang Brigjend untuk buang air besar di parit. Selesai Hario Kecik menunaikan hajatnya, mereka pun melanjutkan perjalanan yang ternyata berakhir di sebuah villa bernama Villa Mega Mendung. Di villa ini ternyata sudah ada seorang profesional muda sedang mengetik sesuatu dengan serius. Soebandrio memamerkan timnya itu, "Lihatlah, Cik! Lihatlah, pidato Bung Karno untuk 17 Agustus-an sedang diketik!" Hario Kecik baru sadar bahwa ternyata Soebandrio ingin menunjukkan bahwa sebenarnya dialah yang ada di belakang Bung Karno dalam mempersiapkan pidatonya. Setelah pidato selesai diketik dia menyerahkannya kepada Hario Kecik. "Cik, baca ini, Penting untuk kamu ketahui!" perintah Soebandrio. Hario Kecik bertanya, "Siapa yang menyusun pidato ini?" "Lho, kamu kok masih nanya. Siapa lagi?" sahut Soebandrio. "Bung Karno kan?" jawab Hario Kecik. "Lho bukan, Cik. Saya yang menyusun pidato itu," kata Soebandrio bangga. Merasa bahwa itu pidato penting dari Bung Karno maka Hario Kecik membacanya untuk mengetahui kebijakan Bung Karno ke depan. Siapa tahu akan berguna baginya dalam memberi perintah saat kembali ke perbatasan nanti, begitu pikirnya. Apa yang terjadi kemudian? Hario Kecik bersaksi bahwa setelah mendengar lewat radio pidato 17 Agustus yang dibacakan oleh Bung Karno, dia kaget ternyata isinya sama sekali berbeda dengan bahan pidato yang dia sudah baca di Villa Mega Mendung itu he..he... Hario Kecik menyimpulkan bahwa ternyata Bung Karno telah menyusun sendiri pidato 17 Agustusnya. Ia sama sekali tidak tergantung kepada Soebandrio atau siapa pun dalam hal penulisan pidatonya. Benarkah? Saya tidak berani memastikannya, paling tidak sampai saya menemukan fakta berikutnya yang mungkin akan berbeda dengan kesimpulan Brigjend Hario Kecik itu. Untuk saat ini, itulah yang saya dapatkan lewat studi literatur yang saya lakukan. Semoga bisa menambah wawasan kita. Bahan pustaka:
- Soehario Padmodiwirio, Memoar Hario Kecik II, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001
- Alit Bondan, Molly Bondan: Penterjemah Pidato Bung Karno.
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 26 November 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya