Situs berita www.politikindonesia.com tanggal 2 Juni 2011 merilis berita berjudul "Tahun Ini Indonesia Beli 3 Radar Dari Perancis". Kurang begitu jelas apakah model radar yang dibeli tersebut, tapi melihat konteks beritanya sepertinya tipe yang dibeli adalah radar untuk pertahanan udara. Diberitakan di sana bahwa sampai saat ini dari 41 radar pertahanan udara yang dibutuhkan, Indonesia baru memliki 21 radar saja, hanya 50% saja dari kebutuhan. Untuk itu, tahun ini akan dibeli 3 radar dari Perancis dengan anggaran sebesar USD 114 juta atau 1,14 triliun rupiah. Mengapa harus membeli radar dari Perancis, sementara kita sudah bisa membuat radar sendiri? Semoga Anda masih ingat tentang tulisan saya tentang radar lokal yang dibuat oleh insinyur-insinyur kita sendiri, yaitu dalam "Serial Otak Indonesia (8): RADAR Made In Indonesia". Sejak tulisan itu dibuat saya coba acak-acak berita melalui Google untuk melihat perkembangan pemasaran radar buatan PT Solusi 247 serta buatan LIPI tersebut. Tidak ada berita baru yang saya dapatkan mengenai perkembangan Radar INDERA produksi PT Solusi 247 itu. Juga tidak ada perkembangan berita pemasaran Radar ISRA yang diproduksi oleh LIPI. Situs Tempo Interaktif tanggal 25 April 2011 hanya memberitakan kerjasama LIPI dengan PT INTI untuk memproduksi radar ini secara massal. Tapi apalah gunanya memproduksi massal kalau sampai sekarang LIPI baru menyampaikan "harapan" saja supaya pemerintah dan militer mau melirik radar lokal ini. Secara implisit arti dari berita tersebut adalah sampai sekarang tidak ada satu pun order dari pemerintah untuk radar-radar made in Indonesia itu. Mengapa harus membeli radar dari Perancis, sementara kita sudah bisa membuat radar sendiri? Tidak disebutkan dalam pemberitaan tersebut apa nama dan tipe radar yang dibeli dari Perancis tersebut. Tapi di jaman teknologi informasi seperti sekarang, mana ada sih informasi yang bersifat rahasia? Saya coba melakukan riset literatur melalui internet dan saya menduga radar yang akan dibeli tersebut adalah Radar Thomson varian Thomson TRS-2215R atau D. Mengapa saya menduga radar yang dibeli itu adalah Radar Thomson? Karena memang hanya Thomson-lah radar dari Perancis yang selama ini dimiliki oleh Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Sejak tahun 1985 kita memang mengimpor 8 set Radar Thomson dari Perancis, yaitu sebuah Radar Thomson tipe TRS-2230 pada tahun 1986, 4 buah Radar Thomson tipe TRS-2215R pada tahun 1985 dan 3 buah Radar Thomson tipe TRS-2215D pada  tahun 1987. Saya menduga 3 radar yang sama akan diimpor lagi tahun ini untuk ditempatkan di Jayapura, Manokwari dan Tual Maluku. Dengan hitung-hitungan kasar berarti harganya kira-kira USD 38 juta atau sekitar 380 milyar rupiah per buah. [caption id="attachment_113870" align="aligncenter" width="300" caption="Radar Thomson TRS-2215D (sumber: http://aryadhieva.multiply.com/photos/album)"][/caption] Saya coba melihat-lihat spesifikasi radar tersebut, untuk mencari tahu apakah radar lokal kita memang tidak bisa menandinginya. Sistem Radar Thomson memiliki 3 bagian yaitu sistem antena, sistem transmitter dan sistem penerimaan dan pemrosesan sinyal. Radar didesain untuk mendeteksi sasaran sampai jarak 510 km dengan tracking up sampai 32 derajat sudut elevasi, menggunakan phase electronic scanning dan mampu beroperasi dengan frequency random, mampu mengukur ketinggian dengan tepat dengan teknik monopulse, mampu mendeteksi sasaran dari interferensi sinyal karena pengaruh hujan, awan dan hujan serta bisa diarahkan pada sektor-sektor tertentu. Jadi ini memang radar militer yang memang didesain sebagai bagian dari sistem pertahanan udara. [caption id="attachment_113871" align="aligncenter" width="300" caption="Radar Thomson TRS-2215R (sumber: http://aryadhieva.multiply.com/photos/album)"][/caption] Bandingkan dengan sistem radar ISRA produksi LIPI. Radar ISRA memiliki daya jangkau 60 km, tapi karena pengaruh faktor kelengkungan horizon radar hanya dapat melihat kawasan sejauh 30 km saja. Dengan Teknik FM-CW (Frequency-modulated continuous wave) konsumsi daya menjadi kecil yaitu hanya 2 watt (bandingkan dengan radar lama berdaya 10 Megawatt) sehingga mengurangi ukuran radar tanpa menurunkan performa kinerjanya. Radar ini didesain untuk sulit diacak dan dipindai oleh sistem radar musuh serta tidak menganggu sistem radar yang lain. Tapi memang, radar ISRA ini lebih diarahkan sebagai radar pengawas garis pantai dan perbatasan laut. Menariknya, harga sebuah radar hanyalah sekitar 4 milyar rupiah, bandingkan dengan radar impor dengan spesifikasi sama yang berharga 8 milyar rupiah. Spesifikasi ini kurang lebih sama dengan yang dimiliki oleh Radar INDERA produksi PT Solusi 247, hanya Solusi 247 sudah memiliki varian radar untuk radar kapal laut maupun kapal perang, radar pengawas pantai, radar pertempuran darat, radar untuk bandara maupun radar untuk memindai di kedalaman tanah. [caption id="attachment_113872" align="aligncenter" width="300" caption="Radar INDERA (sumber: http://defense-studies.blogspot.com)"][/caption] Kalau dilihat sekilas, memang spesifikasi radar yang diimpor oleh Kohanudnas berbeda dengan spesifikasi radar made in Indonesia. Jadi baiklah kalau kali ini radar lokal kita belum bisa bersaing dengan si Thomson dari Perancis itu. Tapi masalahnya sampai kapan kita harus menunggu kebijakan pemerintah untuk menggunakan produk radar lokal di luar kepentingan kohanudnas? Pertanyaan ini masih valid untuk disampaikan karena sampai sekarang belum ada berita baru mengenai kesediaan pemerintah menggunakan radar lokal kita. Lalu kalau sudah begini, sampai kapan industri radar nasional dan insinyur-insinyur kita memiliki kesempatan meneliti untuk menghasilkan radar pertahanan udara sekelas Thomson tersebut? Pemerintah harus diingatkan terus bahwa otak Indonesia sudah mampu membuat Super Radar Transmission Data Air Situation untuk kepentingan Kohanudnas. Adalah mahasiswa-mahasiswa ITS yang berhasil memecahkan kode protokol radar Thomson dari Perancis, radar Plessey dari Inggris serta berbagai radar yang digunakan oleh stasiun radar sipil. Setelah kode protokol bisa dipecahkan, lalu dibuatlah sebuah sistem untuk mengintegrasikan segala macam radar itu (baik sipil maupun militer) dalam sebuah tampilan bernama Transmission Data Air Situation. Sistem terintegrasi ini sangat bermanfaat untuk mengawasi ruang udara kita dengan biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan kalau radar militer maupun sipil bekerja sendiri-sendiri. Dan terbukti bahwa sekarang sistem radar militer di Tanjung Kait sudah terintegrasi dengan radar sipil di Medan, Tanjung Pinang, Cengkareng, Pekanbaru, Pontianak, Semarang dan Palembang. Semoga radar militer di Cibalimbing, Dumai, Sibolga dan Makassar segera bisa menyusul untuk diintegrasikan pula. Yang terakhir, pemerintah harus terus diingatkan bahwa kita memiliki ahli radar yang sudah memiliki 100 paten di 118 negara untuk penemuan di bidang Radar. Dia adalah Dr Josphat Tetuko Sri Sumantyo, sekarang bekerja sebagai dosen di Chiba University Jepang. Penemuannya bahkan mencakup Sistem Radar 3 Dimensi dan sudah digunakan oleh banyak aplikasi di Jepang dan negara lainnya. Tidakkah pemerintah tertarik untuk memanfaatkan hasil karya otak manusia Indonesia sendiri? [caption id="attachment_113873" align="aligncenter" width="300" caption="Dr Josphat Tetuko Sri Sumantyo (sumber: 2. http://sorot.vivanews.com/news/read/196893-infografik--inovator-sains-2010)"][/caption] Nah, sekarang kembali ke masalah uang. Katanya, anggaran pertahanan kita barulah mencapai angka 55 triliun rupiah atau baru 0.7% dari PDB kita dengan kesiapan alut sista hanya sebesar 30%. Padahal katanya orang-orang pintar anggaran pertahanan harusnya 2% dari PDB untuk menjadikan kesiapan alut sista menjadi 80-90%. Pertanyaan sederhana dari orang bodoh seperti saya, kalau bidang pertahanan hanya mempunyai uang sebesar itu kenapa tetap memaksakan membeli produk-produk militer dari luar negeri dengan harga aduhai tersebut? Kenapa kita tidak memulai untuk menggunakan produk lokal dalam jumlah banyak sehingga lambat laun kualitasnya bisa ditingkatkan menyamai produk dari luar? Baiklah kalau sekarang pemerintah masih mengimpor radar dari Perancis, tapi kapan pemerintah mulai membeli dan menggunakan radar produksi otak kita sendiri? Jangan salahkan insinyur kita kalau akhirnya mereka menjual produk radar mereka kepada negara-negara tetangga seperti kasus UAV made in Indonesia yang akhirnya banyak dibeli oleh pemerintah Malaysia. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 3 Juni 2011) Sumber kepustakaan:
- http://tempointeraktif.com/hg/iptek/2011/04/25/brk,20110425-329748,id.html
- http://sorot.vivanews.com/news/read/196893-infografik--inovator-sains-2010
- http://rcs.solusi247.com/products.html
- http://budhiachmadi.wordpress.com/2009/09/07/6-ujung-tombak-kohanudnas/
- http://aryadhieva.multiply.com/photos/album/34#photo=136
- http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=22662-Tahun%20Ini%20Indonesia%20Beli%203%20Radar%20Buatan%20Perancis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H