Saat harus terbang dari Pau ke Lyon, lalu estafet dari Lyon ke Marseille, saya cukup terperanjat membaca e-ticket Air France tersebut. Ternyata pesawat yang kami tumpangi nanti adalah pesawat ATR-72. Pesawat berbaling-baling masih diterbangkan secara komersial pula di Perancis?! Saya kira di jaman modern ini pesawat berbaling-baling hanya dioperasikan secara komersial di negara-negara miskin seperti Indonesia, negara-negara di Afrika, Pasifik maupun di Amerika Selatan sana. Air France Perancis menerbangkan pesawat berbaling-baling di negaranya? Bukankah di negeri merekalah pesawat raksasa terbesar saat ini Airbus A380 dihasilkan? Lalu apakah tidak jatuh gengsinya kalau Air France ternyata juga mengoperasikan pesawat berbaling-baling ala ATR-72 itu? Moga-moga Anda tidak lupa tentang ATR-72 ini. Saya pernah mengulasnya dalam sebuah tulisan dalam  tahun lalu berjudul "N250 vs ATR72-500: Mimpi Habibie yang Kandas". Benar, pesawat berbaling-baling dengan kapasitas 70 tempat duduk ini diproduksi di Tolouse, Perancis. Dan jangan tanyakan nasionalisme Perancis dalam urusan menggunakan produk dalam negeri mereka. Banyak orang bilang bahwa pesawat tempur bersayap delta Mirage itu berharga mahal dengan performa tidak terlalu bagus, tapi Perancis memutuskan tetap menggunakan pesawat produksi mereka tersebut. Nah, untuk urusan pesawat komersial pun ternyata mereka juga menggunakan pesawat berbaling-baling ATR72 ini dalam beberapa rute penerbangan pendek ini. Malu?! Tidak bergengsi?! Buang saja rasa malu dan jaga gengsi itu ke tong sampah, begitu mungkin pola pikir para Monsieur dan Madamme di jajaran pemerintahan Perancis itu. Untuk apa malu, kalau toh dengan mengoperasikan pesawat tersebut bisa mendatangkan uang, mengurangi pengangguran dan sekaligus meningkatkan kebanggaan nasional? Sayang, saya akhirnya tidak jadi merasakan terbang di dalam ATR72 itu karena akhirnya memutuskan untuk menempuh jalur darat saja, hitung-hitung sekalian jalan-jalan di sepanjang jalur selatan Perancis. Lalu betapa kagetnya saya bahwa ternyata setibanya saya kembali di tanah air, tidak lama kemudian ada berita mengenai jatuhnya pesawat Merpati di Papua. Bukan Merpatinya yang membuat saya kaget, tapi pesawat MA60 buatan Cina itu. Lho, ternyata kita sekarang mengoperasikan pula pesawat Cina ya, saya pikir cuma motor Cina atau mobil Cina saja. Tidak habis pikir saya kenapa kita mengoperasikan pesawat tanpa lisensi FAA itu. Bukankah N250 buatan PT Dirgantara Indonesia itu tidak bisa dilanjutkan karena tidak cukup biaya dan jam terbang untuk memenuhi persyaratan mendapatkan sertifikat FAA? Kalau ternyata sekarang pemerintah mengijinkan pesawat tanpa sertifikat FAA boleh terbang di langit Indonesia, kenapa kita tidak sekalian menggunakan pesawat N250 tersebut? Ah...betapa bodohnya saya ini yang terlalu berpikir sederhana dalam menyikapi sesuatu. Pastilah orang-orang pintar di pemerintahan itu punya seribu satu alasan untuk memilih MA60 yang belum luas dikenal tersebut. Mungkinkah karena tekanan dan deal-deal tertentu dengan negara pembuatnya? Tahu ah....gelap. Ramai-ramai heboh tentang MA60, semua orang sekarang bicara kembali tentang CN-235. Kenapa Merpati tidak mengoperasikan saja CN-235? Lalu orang-orang politik ikut-ikutan latah mencela kenapa tidak pakai CN-235. Ah...dasar lidah memang tak bertulang. Bukankah ya mereka-mereka juga yang dulu menghina habis-habisan IPTN? Bukankah banyak yang mencibir CN-235 Tetuko itu singkatan dari "Sing teko gak tuku-tuku, sing tuku gak teko-teko" (Bahasa Jawa: yang datang nggak beli-beli, yang beli nggak datang-datang)? Bukankah banyak yang bilang CN-235 itu mutunya tidak bagus, biaya perawatannya mahal? Dan tampaknya mereka harus menelan ludah sendiri sekarang. Saya tidak mengulas panjang lebar tentang CN-235 dalam tulisan ini. Biarlah CN-235 yang  mempromosikan dirinya sendiri. Gambar-gambar di bawah ini semoga banyak berbicara kepada Anda tentang CN-235 tersebut. [caption id="attachment_113155" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan US Coast Guard (sumber: www.defensenews-updates.blogspot.com)"][/caption] [caption id="attachment_113156" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan Asian Spirit Filipina (sumber: ww.jetphotos.net)"][/caption] [caption id="attachment_113157" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan Irish Air Force (sumber: www.flickr.com)"][/caption] [caption id="attachment_113158" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang diperasikan Thailand Police (sumber: www.defense-studies.blogspot.com)"][/caption] [caption id="attachment_113159" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235MPA yang dioperasikan TNI-AU (sumber: www.indonesiandefense.blogspot.com)"][/caption] [caption id="attachment_113161" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan Brunei (sumber: www.defense-studies.blogspot.com)"][/caption] [caption id="attachment_113162" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan TD Malaysia (sumber: www.defense-studies.blogspot.com)"][/caption] [caption id="attachment_113164" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan AU Perancis (sumber: www.defenseindustrydaily.com)"][/caption] [caption id="attachment_113166" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan Uni Emirat Arab (sumber: www.alutsista.blogspot.com)"][/caption] [caption id="attachment_113167" align="aligncenter" width="300" caption="CN-235 yang dioperasikan Turki (sumber: www.mik.news.co.cc)"][/caption] Saya mau mengingatkan bangsa yang ingatannya pendek ini. Apapun itu, teknologi maju memerlukan kebijakan politik dan kemauan baik semua unsur negara. Apalagi di awal proses produksi, hampir semua teknologi maju diproteksi oleh negaranya. Dulu banyak orang berceloteh mobil Proton buatan Malaysia itu berkualitas rendah, tapi pemerintah Malaysia teguh memproteksinya dan sekarang lihatlah hasilnya. Bisa berkembangkah Boeing kalau tidak didukung oleh pemerintah Amerika Serikat? Bahkan walaupun pesawat Boeing 737-200nya banyak yang berjatuhan? Bisa berkembangkan Airbus kalau negara-negara Eropa tidak teguh memproteksi dan menggunakannya? Bahkan untuk kasus terbaru, bukankah pesawat raksasa A380 tetap didukung oleh Eropa walaupun ternyata ada masalah di desain turbinnya sehingga terjadi kerontokan mesin dalam beberapa kasusnya? Lalu kenapa kita tidak melakukan hal yang sama untuk CN-235? Insinyur itu bukan Tuhan sehingga bisa mendesain pesawat maha sempurna. Tapi insinyur itu juga jelas-jelas bukan keledai, kami belajar dari setiap kesalahan untuk menyempurnakan produk yang didesain oleh otak kami. Dan jelas, usaha penyempurnaan tidak akan pernah bisa dilakukan kalau tidak ada produk yang dibeli dan digunakan. Kembali kepada contoh di awal tulisan ini. Air France ternyata menerbangkan juga ATR72, salah satu produk dalam negerinya. Sementara kita menerbangkan MA60, padahal kita punya CN-235, yang bahkan di beberapa negara bahkan dijadikan pesawat VIP atau pesawat kepresidenan. Ngomong-ngomong, Air France juga menerbangkan pesawat Embraer 145 produksi Brasilia, saya ada di dalamnya kala terbang dari Paris ke Pau. Kala berada di kabinnya saya ingat ada puluhan teman-teman insinyur Indonesia alumni IPTN bekerja di Embraer sekarang. Saya yakin pesawat yang saya tumpangi ini ada sentuhan tangan dan otak mereka, dan betapa bangganya saya karena pesawat hasil racikan mereka ternyata juga dioperasikan oleh maskapai penerbangan sekelas Air France. Kok bisa-bisanya dan tega-teganya, negara sendiri memandang remeh pekerjaan mereka?  (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 31 Mei 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H