Bekerja menyusuri Sungai Mahakam sangatlah mengasyikkan. Sungai Mahakam ini begitu lebar, terkadang lebarnya hampir mencapai 100 meter dan begitu panjang dengan kelokan-kelokannya yang terkadang menyesatkan. Saat menyusuri sungai ini Anda akan mendapati pemandangan yang seragam di kanan kiri sungai yaitu hamparan pohon nipah dan pepohonan lain yang memberi nuansa hijau segar, cukup mengasyikkan untuk mengimbangi kelembaban yang begitu tinggi di daerah ini. Sayangnya, pemandangan hijau itu sekarang mulai digantikan oleh banyaknya gunungan batubara yang siap dimuatkan ke beberapa tongkang yang antre di beberapa dermaga yang berada di Sungai Mahakam ini. Wilayah muara Sungai Mahakam ini sudah mulai rusak ditandai dengan semakin tak terkendalinya pembukaan tambak udang yang membuat wilayah nipah menjadi berkurang dan tanah tambak yang terlihat dipenuhi oleh aneka macam zat kimia penyubur lahan tambak. Hal ini berakibat pada intrusi air laut ke areal air tanah masyarakat Samarinda yang semakin lama semakin parah. Alam sedang membalas dendam rupanya. Terkadang saat Anda menyusuri sungai ini, mata Anda akan dimanjakan oleh keberadaan monyet-monyet liar yang bergelantungan di atas pohon. Anda juga akan bisa bertemu dengan babi hutan yang terkadang terlihat gemuk karena mengkonsumsi sisa-sisa makanan dari para pekerja sebuah perusahaan minyak dan gas bumi di areal ini. Dan ini yang Anda harus waspada. Kalau Anda beruntung (atau malah sial he..he..) Anda akan berpapasan dengan buaya muara yang terkenal dengan keganasannya di sini. Sebuah pengalaman yang mendebarkan ketika suatu waktu ada seekor buaya dengan panjang sekitar 3 meter berenang di belakang kapal boat kami. Ini bukan di kebun binatang lho, tapi di alam bebas he..he.... Bayangkan, hanya kurang dari 10 meter, buaya itu ada tepat di belakang kami. Suatu keberuntungan saja kalau buaya itu tidak menyerang kami. Ada teman yang sebelumnya bicara menantang masak benar ada buaya di daerah situ, tapi saat bertemu buaya itu mulutnya langsung diam karena mulai takut he..he...Itu masih belum seberapa. Ada beberapa orang yang tidak bisa naik bekerja di anjungan minyak dan gas yang ada karena saat mereka sampai sudah ada buaya sepanjang 3 meter yang berada di tangga anjungan, seakan siap menyambut para pekerja yang datang he..he... Buaya muara tergolong buaya yang ganas, apalagi kalau sedang terganggu atau habitatnya diganggu. Sudah tidak terhitung lagi kasus-kasus buaya yang menerkam manusia di sini. Beberapa tahun yang lalu di daerah Sangatta, terdapat monster buaya muara dengan panjang hampir 10 meter menerkam dan memangsa seorang warga di sana. Konon, jasad buaya itu sekarang diawetkan dan dipamerkan di sebuah museum di Tenggarong sana. Bulan yang lalu juga terdapat buaya muara sepanjang hampir 10 meter dengan lebar 1 meter kedapatan menerkam dan memangsa seorang atau 2 orang warga yang tengah bekerja di tambaknya. Ditaksir buaya tersebut berumur 60 - 70 tahun mengingat ukuran tubuh dan giginya yang luar biasa itu. Ada beberapa pekerja yang melaporkan kapal boatnya pernah melintasi 2 monster besar buaya muara yang tengah kawin di tengah Sungai Mahakam. Mengerikan sekali, begitu kesan mereka. Nah, di Balikpapan terdapat tempat penangkaran buaya, terutama untuk buaya muara. Tempatnya berada di Teritip, km 28 dari kota Balikpapan. Kami mengunjungi lokasi ini tahun yang lalu. Warga Balikpapan memang sudah menjadikan lokasi ini sebagai salah satu tempat tujuan wisata yang teramat langka di sini. Karena itu selain tempat penangkaran itu sendiri, di lokasi ini juga ditambahkan fasilitas berupa rumah adat Dayak yang bernama Lamin, juga beberapa gajah yang siap ditunggangi oleh para pengunjung. Bagi saya pribadi, yang menarik tetaplah buaya itu sendiri. Di sini, Anda kan menjumpai ratusan buaya bertebaran di beberapa kandang yang tersedia di sana. Mulai dari bayi buaya yang baru seukuran 30-50 cm sampai induk buaya yang berupa monster dengan panjang hampir 3-4 meter. Kebanyakan yang ada adalah spesies buaya muara. Kalau nggak salah, Panji pernah berjuang menaklukkan seekor buaya di sini saat syuting untuk acara Panji Sang Penakluk di ANTV. Beberapa stasiun televisi juga pernah berkunjung dan menayangkan tempat ini di salah satu acara jalan-jalannya. Jadi lokasi ini sebenarnya sudah sangat terkenal di Indonesia he..he...Padahal untuk masuk, ongkosnya hanya Rp 10 ribu untuk 1 mobil. Murah kan ? Berdasarkan keterangan dari salah satu karyawannya, tempat penangkaran ini berfungsi 2 yaitu sebagai tempat konservasi buaya muara, juga sebagai tempat budidaya buaya muara. Sebagai konservasi, di sinilah dikawinkan beberapa induk buaya (yang ganas dan sangat menakutkan itu) untuk menghasilkan anakan yang akan meneruskan generasi buaya. Sebagai tempat budidaya, di sini beberapa buaya muara yang sudah menginjak umur tertentu dengan ukuran tubuh yang dipersyaratkan dibunuh untuk diambil kulit (untuk kerajinan tas dan sejenisnya), daging (salah satunya untuk sate buaya yang dijual di lokasi ini), minyak atau lemak (biasa dijual untuk obat kulit) maupun tangkur (itu lho penis buaya yang katanya orang bisa menambah keperkasaan pria he..he..). Di sini Anda juga bisa mencoba memberi makan para buaya itu dengan ayam hidup atau bangkai ayam (yang bisa Anda beli dengan harga tertentu) yang bisa Anda lemparkan ke kandang tempat para induk berada. Saya melihat saat ayam itu dilemparkan, tampak buaya-buaya itu dengan ganas berebutan. Itulah sekelumit pengalaman kami saat berkunjung ke tempat penangkaran buaya ini. Cerita lagi tentang buaya. Di daerah muara Sungai Mahakam terdapat banyak pawang buaya yang siap menolong mencarikan sang korban kalau ada orang yang diterkam buaya. Konon, buaya yang selesai menerkam dan memangsa manusia biasanya merasa bersalah sehingga menarik diri dari pergaulan dengan sesama buaya. Hal ini mungkin saja benar, karena secara teori mereka sudah memiliki makanan yang cukup di perutnya sehingga tidak perlu berburu makanan lagi bersama gerombolannya. Nah, dalam setiap kasus buaya yang memangsa manusia, sang pawang biasanya akan mengucapkan mantranya di lokasi di mana orang tersebut diterkam. Konon, sang buaya yang menerkam akan kembali datang ke lokasi tersebut. Mungkin karena didorong oleh rasa bersalahnya. Di Balikpapan juga ada perkara yang menarik terkait buaya dan biawak. Terkadang beberapa keluarga di Balikpapan memelihara buaya dan biawak karena mereka memiliki kepercayaan bahwa buaya atau biawak yang mereka pelihara itu masih memiliki hubungan kerabat dengan mereka. Jadi, boleh percaya boleh tidak, buaya dan biawak itu dipelihara dengan kasih sayang bak anak sendiri, dan anehnya binatang tersebut juga terlihat patuh dan manja dengan "induk semang"nya itu. Makanya ketika masyarakat meminta mereka melepaskan piaraan itu ke alam liar karena ditakutkan berbahaya bagi anak-anak sekitar, biasanya upacara pelepasan itu dipenuhi dengan adegan penuh keharuan. Sang keluarga biasanya sampai bertangis-tangisan bak berpamitan dengan sang buaya. Cerita lain lagi. Biasanya ada prajurit marinir yang mengawal setiap ada pergerakan kapal boat yang melayani perusahaan minyak dan gas di daerah sini. Nah, pada suatu sore menjelang Maghrib ternyata menjadi saat yang naas bagi seseorang prajurit yang kebetulan berada di salah satu kapal boat. Senjata laras panjang yang dimiliki sang prajurit tiba-tiba saja terjatuh ke dalam sungai. Menyadari hal itu, sang prajurit memberhentikan kapal boat dan akan terjun ke sungai untuk mengambil senjatanya. Semua pekerja yang ada melarangnya karena di daerah sungai tersebut sering dijumpai ada banyak buaya. Tapi sang marinir tidak bergeming, dia tetap akan terjun ke sungai. Akhirnya sang nahkoda kapal memperbolehkan dengan mengikatkan tubuhnya pada tali yang akan dipegang oleh sang nahkoda. Terjunlah sang marinir untuk menyelam dan 30 menit kemudian dia sudah kembali ke kapal dengan membawa senjata yang akhirnya ditemukannya tersebut. Semua pekerja dan nahkoda kapal memberikan ucapan selamat kepada sang marinir atas keberanian dan keberhasilannya tersebut. Sambil menahan dingin, sang marinir tersenyum sambil berucap, " Saya sih tidak takut sama buaya muara sekalipun, saya lebih takut sama komandan saya. Lebih baik diterkam buaya ketimbang dihukum sama komandan saya". He...he... Foto: koleksi pribadi. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 5 Mei 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H