Teknologi dan tradisi seharusnya tidak perlu dipertentangkan, keduanya malahan bisa saling memperlengkapi. Sebagai bangsa yang diberkahi kekayaan aneka macam seni tradisi, seharusnya kita bisa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk melestarikannya. Atas dasar itulah tahun kemarin saya memposting tulisan berjudul "Mencari Wayang Kulit Dalam Format Film". Tulisan tersebut adalah usulan dan proposal sederhana seorang anak negeri yang menginginkan wayang kulit menjadi ikon budaya yang tetap diterima oleh generasi sekarang.Awal reformasi dulu sebenarnya ada fenomena yang menggembirakan sehubungan dengan wayang kulit. Pada saat itu stasiun televisi Indosiar secara rutin menayangkan pergelaran wayang kulit semalam suntuk setiap malam Minggu. Itu kemajuan luar biasa untuk sebuah seni tradisi karena terbukti penayangan wayang kulit juga bisa mendatangkan iklan dan pemasukan bagi sebuah industri televisi komersial. Entah kenapa sejak 2 - 3 tahun lalu Indosiar menghentikan tayangan ini. Sayang sebenarnya. Mengikuti perkembangan film Indonesia, saya mengusulkan supaya ada pergelaran wayang kulit dalam format film bioskop. Karena dalam format bioskop, sebuah lakon wayang kulit yang biasanya digelar semalam suntuk haruslah bisa dikompres dalam durasi 2 - 3 jam. Mengikuti format skenario film holywood, film lakon wayang kulit ini bisa dimodifikasi menjadi drama 3 babak sehingga bisa diikuti oleh penonton awam sekalipun. Untuk membuat film bioskop yang menarik, wayang kulit bisa dipadukan dengan unsur animasi sehingga setting cerita mengenai hutan, riuh rendah peperangan dan romantisme bisa lebih pas dengan mata modern para penonton dari generasi terkini. Lalu bagaimana dengan bahasa filmnya ? Kalau selama ini kita enak-enak saja menonton film berbahasa Inggris dengan sub-title Bahasa Indonesia, pastilah penonton tidak akan protes apabila film wayang kulit tersebut menggunakan Bahasa Jawa tapi dilengkapi dengan sub-title Bahasa Indonesia. Entah kapan mimpi saya ini bisa terwujud. Moga-moga ada orang-orang kaya Indonesia yang mau menginvestasikan hartanya untuk membuat film bioskop ini. Kalau bisa sekarang, sebelum ada tetangga yang mendahului kita dalam membuatnya he..he... Sebenarnya ada satu harapan yang lain, yaitu pergelaran wayang kulit dalam format DVD. Bentuknya kurang lebih sama dengan DVD mini seri film Band of Brothers itu. Lalu di situ juga ada bonus interactive berupa riwayat hidup masing-masing lakonnya sehingga penonton bisa semakin mengenal lakon Arjuna, Dursasana, Hanoman atau Bima melalui bonus track ini. Supaya menarik, pergelaran tersebut perlu diperlengkapi dengan tata artistik, tata suara dan tata cahaya sekelas film bioskop. Kalau DVD seperti ini ada di pasaran, bisa dipastikan saya akan membelinya he..he.. Bulan lalu, kami jalan-jalan ke Disc Tara Balikpapan. Setelah melihat-lihat CD, VCD dan DVD yang dipajang, mata saya tertuju pada sebuah VCD pergelaran wayang kulit berjudul Semar Mbangun Kayangan bersama dalang Ki Hadi Sugito. Pergelaran selama 6 jam ini terwujud dalam 6 keping VCD produksi Dasa Studio. Ternyata adalah sebuah pergelaran wayang kulit di sebuah kampung di Jawa. Tak ada rotan akar pun jadi. Walau belum ada film bioskop atau format DVD untuk pergelaran wayang kulit, untuk saat ini VCD pun tidak apa-apa. Langsung saja kami membelinya. Akhirnya kami pun bisa menonton wayang kulit di rumah sendiri he..he...Saat menonton keping pertama, anak-anak saya banyak bertanya tentang lakon-lakon wayang yang ditampilkan sang dalang. Sayang, tidak ada sub-title Bahasa Indonesia sehingga capek juga harus menjawab setiap pertanyaan dari anak-anak karena tidak mengerti Bahasa Jawa. Karena baru dalam format VCD, tentu saja wajar kalau tampilan gambarnya tidak terlalu bagus, jernih dan tajam. Demikian pula dengan tata suara, jauh dari memuaskan karena hanya mengandalkan sound system dari sebuah pertunjukan di udara terbuka. Bahkan ada satu keping VCD yang gambarnya hilang, hanya terwakili oleh suara karena sepertinya ada masalah saat perekaman. Yang agak mengecewakan gambar yang hilang itu adalah adegan puncak perang brubuh sehingga ketampilan sabetan sang dalang kurang terlihat dalam VCD tersebut. VCD wayang kulit ini memang banyak kelemahannya, tapi saya harus angkat topi sekaligus angkat jempol terhadap keberanian sang produser untuk membiayai proyek VCD ini. Saya yakin tidak mudah bagi sang produser untuk mendapatkan balik modal dari proyek ini, tapi itulah sebuah perjuangan untuk melestarikan seni tradisi yang konon sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia tapi diabaikan oleh warga Indonesia sendiri. Semoga mimpi melihat wayang kulit dalam format teknologi terkini bisa segera terwujud. Semoga kita tidak selalu marah-marah terhadap tetangga yang usil lalu kita baru memperhatikan kekayaan kita sendiri. Anda tahu maksud saya kan ? he...he.... Foto: koleksi pribadi (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 1 Mei 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H