Dalam serial sebelumnya saya sudah mendongeng bagaimana Inggris akhirnya berhasil menaklukkan Batavia dengan cara relatif mudah. Kapitulasi Tuntang tanggal 18 September 1811 secara resmi mengakhiri kekuasaan Belanda dan memulai penguasaan Inggris atas Nusantara, terutama Pulau Jawa.Sekarang saya ingin memperkenalkan tokoh ini dan segala sepak terjangnya kepada Anda. Perkenalkan, dialah Thomas Stamford Raffles yang diangkat oleh Lord Minto menjadi Letnan Jenderal di Pulau Jawa dan sekitarnya tahun 1811 - 1816. Tanpa diketahui banyak khalayak, Raffles-lah yang sebenarnya mempersiapkan penaklukan Batavia oleh Inggris itu. Sebagai seorang muda yang cerdas dan berambisi besar, dia bercita-cita memperluas kekuasaan Inggris di Nusantara. Saat dia bertugas di Penang, Malaya, sebagai ajunct sekretaris pemerintahan Inggris ataupun ketika naik pangkat sebagai Agent to Governor General with The Malay States di tahun 1810, dialah yang berkali-kali membujuk Lord Minto untuk segera menaklukkan Belanda. Melalui jaringan intelijennya dia mendapat fakta bahwa Jawa gampang ditaklukkan karena rakyat Jawa resah di bawah kepemimpinan Daendels yang brutal. Dia juga mengirim agen-agen rahasia untuk menyampaikan surat pribadi dan membujuk sultan-sultan di Palembang, Banten, Yogyakarta dan Surakarta untuk bersekutu menumbangkan Belanda. Anehnya, saat Raffles datang ke Batavia, tidak ada penolakan sedikitpun dari para pejabat dan pegawai Belanda saat itu. Mereka beranggapan bahwa Inggris adalah sekutu junjungan mereka, Raja Willem, yang terpaksa harus hengkang dan meneruskan perjuangan melawan Perancis di negeri Inggris. Sementara itu kedatangan Raffles dimanfaatkan oleh Sultan Sepuh (mantan Sultan Hamengku Buwono II) untuk mengkudeta anaknya yang sebelumnya sudah diangkat oleh Daendels menjadi Sultan Hamengku Buwono III. Ternyata walaupun terlihat tenang, Raffles tegas pula. Untuk menjaga kewibawaan kolonial Inggris, dia menghukum Sultan Sepuh atas kudetanya tersebut dengan membuangnya ke Penang. Rombongan Jawa inilah yang menjadi cikal bakal kampung Jawa di semenanjung Malaya tersebut. Raffles kemudian memecah kekuatan Yogyakarta dengan mengangkat paman Sultan Hamengku Buwono III menjadi raja dengan gelar Sultan Paku Alam. Raffles juga berhasil membuat Sultan Cirebon dan Banten untuk menjual wilayah kekuasaannya ke Inggris dengan imbalan sejumlah uang dan tambahan tunjangan tahunan. Ada banyak hal yang dilakukan Raffles dalam masa pemerintahannya yang hanya 5 tahun itu. Untuk mempermudah administrasi pemerintahan, dia membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan. Ini meletakkan dasar adanya bentuk pemerintahan otonomi terbatas di negeri ini. Dia memperbaiki sistem pajak dengan menerapkan pajak atas tanah. Inilah cikal bakal pemerintah RI sekarang menerapkan PBB (Pajak atas Bumi dan Bangunan). Sistem pajak ini menggantikan sistem kerja paksa dan pembayaran pajak atas hasil bumi semasa pendudukan Belanda. Melalui sistem pajak yang baru ini, setiap desa wajib membayar pajak berdasarkan perhitungan luas tanah dan perkiraan hasil tanahnya. Inilah yang membuat operasional perpajakan agak tersendat karena tidak mudah menentukan jumlah pajaknya. Tampaknya masalah pajak ini masih berlangsung setelah 65 tahun Indonesia merdeka he..he... Karena sistem pajak ini masih tersendat dalam implementasinya, maka Raffles masih mengijinkan sistem kerja paksa sebagai pengganti pajak. Hal ini terlihat dipraktekkan di beberapa perkebunan kopi di Priangan. Tampaknya di mana pun juga tidak ada penjajahan yang rasanya enak he..he..., dalam kenyamanan pun selalu masih banyak getirnya pula. Dalam bidang ekonomi, Raffles mengambil alih tata niaga garam yang saat itu dikuasai pedagang Cina. Konon, setelah diambil alih, pertanian garam menjadi lebih berkembang dengan harga yang bisa lebih murah tapi dengan kualitas yang lebih baik. Raffles juga menghapus sistem perbudakan di tanah Jawa yang saat itu sangat marak baik oleh bangsawan Jawa maupun orang-orang Belanda. Memang tidak serta merta dihapus tapi dibuat sistem yang membuat perbudakan tidak akan menarik lagi. Caranya dengan mengenakan pajak tinggi kepada setiap pemilik budak. Lalu melarang pengiriman budak baru ke tanah Jawa. Dia juga mengeluarkan larangan bagi polisi untuk menangkap setiap budak yang lari dari pemiliknya. Dia juga melarang kebiasaan menggadaikan diri. Sudah lumrah saat itu orang menggadaikan diri, istri dan anaknya kepada pemberi hutang kalau hutangnya tidak dilunasi saat jatuh tempo sehingga orang kaya bisa memiliki banyak pembantu dan budak dengan cara seperti ini. Dengan aturan-aturan yang diterapkan Raffles, perlahan namun pasti sistem perbudakan terhapus dengan sendirinya. Dalam bidang peradilan, Raffles membuka banyak gedung pengadilan untuk kaum pribumi. Seperti Daendels, dia juga menegakkan hukum dengan keras. Di pengadilan disediakan kursi-kursi penyiksaan untuk membuat sang terdakwa mengakui kejahatannya. Coba kalau pengadilan tindak pidana korupsi dilengkapi dengan kursi penyiksaan ini....he..he... Dalam bidang budaya, Raffles melarang tradisi "pesta rampok" yang biasa digelar oleh sultan-sultan di Yogyakarta dan Surakarta. Tradisi ini biasanya diselenggarakan di alun-alun kraton. Mirip dengan gladiator, acara ini pada awalnya mengadu binatang-binatang buas seperti banteng lawan singa misalnya lalu begitu seterusnya sampai kemudian diakhiri oleh singa atau harimau melawan terpidana sebagai bentuk hukuman mati bagi yang bersangkutan. Dalam masa kekuasaan Raffles, pesta rampok ini bisa dihentikan. Tapi sepeninggal Raffles, ternyata acara seperti ini masih mudah ditemukan di beberapa alun-alun di tanah Jawa seperti yang ditunjukkan dalam gambar-gambar ini (silahkan berkunjung ke http://djaloe.com/index.php/category/tjerita/ kalau ingin lebih tahu mengenai tradisi kuno Jawa mirip gladiator dan matador ini). Biasanya diselenggarakan sebagai keramaian merayakan lebaran 1 Syawal dan ternyata baru tahun 1900-an tradisi ini dihapus pemerintah Hindia Belanda. Nah sekarang kembali kepada judul tulisan ini. Karena Belanda sebelumnya dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis, maka Belanda juga memberlakukan sistem berlalu lintas sama seperti Perancis yaitu menggunakan jalur kanan. Untuk itu, sebelum kedatangan Raffles, lalu lintas di tanah Jawa juga menggunakan jalur kanan. Dan entah seberapa hebat energi si Raffles ini. Dalam masa kekuasaannya yang 5 tahun saja, dia masih sempat-sempatnya berhasil mengubah sistem lalu lintas pada saat itu mengikuti sistem di Inggris, yaitu menggunakan jalur kiri. Hebatnya walaupun dia meninggalkan Nusantara pada tahun 1816, sistem lalu lintas jalur kiri masih diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan 200 tahun kemudian kita masih mewarisi sistem tersebut sampai sekarang. Kadang saya berpikir, Raffles yang hanya 5 tahun memerintah saja energinya begitu besar untuk membuat sistem dan tatanan ke arah yang lebih baik, bahkan dalam urusan yang tampak remeh temeh sekalipun. Bandingkan dengan pemerintah kita he..he... Saya akan lanjutkan dongeng tentang si Raffles ini dalam tulisan berikutnya. Sepak terjangnya memang menarik untuk didongengkan. Referensi: Peperangan Kerajaan di Nusantara, Capt. RP Suyono, Grasindo, Jakarta, 2003 Sumber foto: 1. http://matanews.com/2009/09/28/lalu-lintas-jakarta-lancar/ 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Stamford_Raffles 3. http://djaloe.com/index.php/category/tjerita/ (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 6 Mei 2010)
Serial L’histoire se Repete:
- Batavia nan Pengecut
- Andai Daendels menjadi presiden RI
- Kita pernah dijajah Perancis lho
- Sejak kapan nusantara belajar korupsi ?
- Benarkah Belanda menjajah kita selama 350 tahun ?
- Kekuatan sumpah
- Saving Private Ryan dalam sejarah revolusi Indonesia
- Suka membeli kapal bekas
- Samudera Indonesia atau Lautan Hindia ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H