Tuhan sedang tersenyum kala menciptakan tanah Sunda, demikian pepatah bombastis untuk menjelaskan kenapa tanah Sunda terlihat begitu indahnya, dengan tanahnya yang subur penuh dengan pegunungan, orang-orangnya yang ramah dengan wajah yang terlihat cantik maupun tampan (ehm...ehm.....yang berasal dari Sunda jangan geer lho ya he..he..). Jawa Barat juga sering disebut sebagai bumi Parahyangan, yang berasal dari kata Para dan Hyang atau dalam kalimat populer adalah bumi tempat para dewa bersemayam, karena saking nyamannya hidup dan tinggal di wilayah ini. Maaf, mungkin saking nyamannya wilayah ini sehingga angka kepadatan penduduk di Jawa Barat adalah yang tertinggi di Indonesia dan karenanya suku Sunda mencatat angka tertinggi di Indonesia dalam jumlah warganya. Melihat kondisi wilayah seperti itu saya seringkali berpikir kenapa dalam versi resmi sejarah nasional Indonesia tampaknya wilayah barat Jawa ini agak tertinggal dibandingkan Jawa bagian tengah atau timur. Maksud saya tertinggal di sini adalah bahwa dilihat dari jatuh bangun dan kesinambungan kerajaan-kerajaan kuno serta peninggalan bersejarahnya, untuk saat ini memang Jawa bagian tengah dan timur lebih banyak dibandingkan Jawa bagian barat. Hal ini cukup menjadi paradoks dengan fakta-fakta yang saya kemukakan di serial sebelumnya. Bahwa Selat Sunda adalah wilayah strategis pelayaran dari Afrika dan India sehingga masuk akal kalau peradaban dari luar pertama kali masuk ke wilayah ini. Terbukti dengan adanya kerajaan pertama Salakanagara (kalau sumber sejarahnya diakui valid) yang berlokasi di Pandeglang dan kemudian di Rajatapura (Merak ?!). Kerajaan Tarumanagara yang besar itu juga berada di wilayah ini, yaitu di sekitar daerah aliran Sungai Citarum. Bahkan di kawasan Karst Citatah, Padalarang juga ditemukan bukti-bukti keberadaan manusia purba pra-sejarah. Beberapa ahli sejarah Belanda berpendapat bahwa topografi alam Jawa Barat memang relatif lebih tertutup karena terdiri dari pegunungan. Hal ini berdampak pada kondisi masyarakatnya yang lebih tertutup dibandingkan masyarakat di Jawa bagian tengah atau timur. Beberapa catatan jaman Hindia Belanda juga berpendapat bahwa kerajaan-kerajaan di tanah Sunda ini walaupun eksis tapi tidak memandang kemewahan sebagai hal yang penting sebagaimana di Majapahit, misalnya. Tidak ada tradisi mengantarkan upeti kepada raja yang paling dihormati di wilayah ini. Walaupun dikaruniai tanah yang subur karena kaya gunung berapi, penduduk wilayah ini memilih hidup secara sederhana dan menjadi petani yang berpindah-pindah. Tradisi Hindu sangat mewarnai kehidupan di sini, menurut saya wajar saja karena memang merekalah yang pertama kali bertemu dengan peradaban Hindu. Ada kebiasaan para janda ikut menceburkan diri ke dalam api pembakaran suaminya, ini biasa terjadi di kalangan bangsawan. Ada juga janda bangsawan yang kemudian memilih untuk mengasingkan diri tinggal di biara setelah ditinggal mati suaminya. Bagi rakyat jelata, mereka tidak terbiasa membakar jenasah, tapi meletakkan begitu saja di hutan belantara. Itulah sekilas catatan tentang Tanah Sunda di masa lalu. Tidak ada maksud apapun dengan menuliskan hal ini, hanya sekedar gambaran supaya kita bisa mengerti latar belakang apa di balik sejarah yang melibatkan Sunda, yang nanti akan muncul dalam serial-serial berikutnya. Kembali pada judul serial ini, kapankah Sunda pertama kali disebut dalam sejarah ? Saya belum menemukan di prasasti manakah disebut, tapi ada catatan para ahli bahwa pada tahun 397 M Maharaja Purnawarman sebagai raja Tarumanagara memindahkan ibukotanya ke wilayah yang lebih dekat dengan pantai dan berada di daerah aliran Sungai Citarum. Dia menamainya Sundapura. Nah, berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain yang bercorak sentralistis, Tarumanagara menerapkan desentralisasi dalam pemerintahannya. Kurang lebih ya mirip-mirip dengan otonomi daerah sekaranglah. Walaupun menerapkan kepemimpinan tangan besi, raja-raja Tarumanagara mempunyai kebiasaan memberikan wilayah kepada raja-raja daerah sebagai hadiah kesetiaannya kepada pemerintah pusat. Karena itulah di Tarumanagara banyak kerajaan-kerajaan kecil yang berfungsi sebagai kerajaan otonomi di bawah Tarumanagara. Jadi Indonesia jangan terlalu sombong dengan konsep otonomi daerah sekarang, nenek moyang kita di abad-abad pertama sudah menerapkannya. [caption id="attachment_271302" align="aligncenter" width="225" caption="Prasasti Pasir Muara (sumber: www.wacananusantara.org"][/caption] Pada saat Suryawarman, raja Tarumanagara ke 7 memerintah di tahun 535 - 561 M, dia pernah mengeluarkan Surat Keputusan (seperti keppres-lah) untuk memberikan kembali suatu wilayah kepada raja Sunda. Surat keputusan raja itu berbentuk prasasti bertanggal tahun 458 Saka atau 535 M. Prasasti ini ditemukan di Pasir Muara, Bogor, tidak jauh dari lokasi penemuan prasasti telapak gajah peninggalan Purnawarman. Saya kutipkan bunyi prasasti beserta terjemahannya dari wikipedia seperti berikut: ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda terjemahannya: Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan negara dikembalikan kepada raja Sunda. Rakryan Juru Pengambat tampaknya adalah seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang ditugaskan sebagai raja di wilayah tempat prasasti tersebut ditemukan. Berdasarkan keputusan raja, pada tahun 535 M, wilayah tersebut dikembalikan ke raja Sunda. Ada kemungkinan bahwa ibukota Tarumanegara juga sudah berpindah dari Sundapura. Besar kemungkinan bahwa lama kelamaan kerajaan-kerajaan wilayah semakin mempunyai otonomi yang lebih kuat di masa-masa akhir Tarumanagara. Contohnya ada sebuah catatan bahwa di tahun 526 M, menantu Suryawarman ;Manikmaya; mendirikan kerajaan Kendan, di daerah Nagrek antara Bandung dan Garut. Tahun 612 M, pada masa raja Kretawarman (561 - 628 M), cicit Manikmaya (kemungkinan bernama Wretikandayun) malah mendirikan kerajaan baru bernama Galuh di wilayah timur. Puncaknya adalah saat raja terakhir, Linggawarman, memerintah di tahun 666 - 669 M. Linggawarman mempunyai 2 puteri. Puteri yang pertama bernama Manasih, menikah dengan Tarusbawa dari Kerajaan Sunda. Puteri yang kedua bernama Sobakancana, isteri Sang Daponta Hyang Sri Jayanasa yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Sriwijaya. Saat Tarusbawa mendapat mandat untuk menggantikan mertuanya, dia bermaksud untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun itu. Tampaknya ia mengembalikan ibukota ke Sundapura dan karenanya pada tahun 670 M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Sunda. Menanggapi hal ini Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh menyatakan ketidaksetujuannya. Saat itu Wretikandayun besanan dengan Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga. Putera mahkotanya menikah dengan Parwati, dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah bagian utara. Karena itulah karena merasa mendapatkan sekutu dari kerajaan Kalingga, Wretikandayun meminta Tarusbawa memecah wilayah Tarumanagara menjadi dua, yaitu Kerajaan Sunda di bagian barat dan Kerajaan Galuh di bagian timur, sebagai pemisahnya adalah Sungai Citarum. Demikianlah, untuk menghindari perang saudara, Tarusbawa pada tahun 670 M memecah wilayah Tarumanagara menjadi Sunda dan Galuh. Tarusbawa memerintah Sunda sampai tahun 723 M. Demikianlah akhir cerita kejayaan Tarumanagara. Berikutnya saya akan membagikan kepada Anda kisah kerajaan Kalingga yang sangat terkenal dengan kebijaksanaan pemimpinnya. Sampai jumpa di serial berikutnya ya. Sumber literatur: 1. www.wacananusantara.org/6/16/tarumanagara 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Taruma 3. http://www.cikalbogor.20m.com/custom3.html (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 28 September 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H