[caption id="attachment_198963" align="alignleft" width="300" caption="Peta Provinsi Banten sekarang"][/caption] Dalam seri ke 22 saya menyebutkan bahwa ada sebuah catatan dari Cina di tahun 132 M yang melaporkan bahwa ada seorang raja dari "Ye-Tiao" yang mengirim duta kepada Kaisar Cina untuk menyerahkan upeti atau hadiah. Dalam catatan tersebut nama "Ye-Tiao" dijelaskan sebagai "Jawadwipa" sementara nama rajanya disebut "Tiao-pien" atau dijelaskan sebagai "Dewawarman". Sampai Bernard H.M. Vlekke menulis dalam bukunya "Nusantara: A History of Indonesia" di tahun 1961, dia masih meragukan ada seorang raja di Jawa yang bernama Dewawarman karena tidak ada catatan kuno yang menyebutkan demikian. Di buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah pun juga tidak ada nama Raja Dewawarman. Benar nggak ? Dalam bukunya yang sama Bernard H.M. Vlekke juga membuat hipotesis bahwa perkembangan peradaban di Jawa bagian barat lebih barat daripa Jawa bagian tengah dan timur, buktinya lebih banyak peninggalan sejarah di Jawa Tengah dan Jawa Timur ketimbang di Jawa Barat. Benarkah pendapat sang ahli ini ? Nah, saya menemukan sebuah fakta baru dalam sejarah Indonesia kala bersama-sama anak istri bulan lalu liburan di Jakarta dan mengantar mereka ke Taman Mini. Saat kami masuk ke Istana Anak-Anak, di situlah saya mendapatkan fakta baru mengenai Kerajaan pertama di Nusantara. Pasti di sekolah Anda diajari kalau kerajaan pertama di Nusantara adalah Kerajaan Kutai di Kalimantan kan ? Tapi benarkah demikian ? Nah, ada sebuah catatan dari Cirebon berjudul Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara yang menceritakan tentang kerajaan yang lebih "pertama" lagi sekaligus akan menjawab rasa penasaran Bernard Vlekke. Anda penasaran juga ? Mari kita mulai dongengnya ya he..he... Tersebutlah kisah di tahun 1970-an ditemukan oleh ahli sejarah Jawa Barat 3 paket naskah kuno dari Kesultanan Cirebon. 3 paket naskah kuno tersebut adalah Pustaka Rayjarayja I Bhumi Nusantara (yang terdiri dari 5 parwa (bagian) dan berjumlah 25 sarga (jilid)), Pustaka Pararatwan (yang terdiri dari 6 parwa dan berjumlah 10 jilid) dan Pustaka Nagarakretabhumi (yang berjumlah 12 jilid). Tahun 1677, di Kasultanan Kasepuhan Cirebon diadakan gotrasawala (seminar atau musyawarah ilmiah) untuk menyusun sejarah Nusantara. Peserta seminar adalah para ahli sejarah yang datang dari berbagai kerajaan di Nusantara plus perwakilan dari Trengganu dan Malaka (Malaysia) serta Tumasik (Singapura), juga penasihat ulama Islam dari Arab dan ulama Siwa dari India. Hadir juga para peninjau tanpa hak suara dari India, Arab, Mesir, Cina, Campa, Srilanka dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaya). Sebagai amanat dari almarhum Panembahan Girilaya, seminar ini diadakan di bawah tanggung jawab Sultan Sepuh dan Sultan Anom Cirebon. Sementara untuk penulisan sejarah ditangani oleh sebuah panitia yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta, menurut catatan harian VOC (Dagh Register) anak bungsu Panembahan Girilaya ini dicatat sebagai pangeran Cirebon yang lembut, cerdas dan memiliki kemampuan memimpin. Tampaknya pertemuan ini berlangsung secara rahasia atau digelar secara alami sehingga tidak terkesan sebagai sebuah acara besar yang menarik perhatian VOC, terbukti dengan tidak dicatatnya peristiwa seminar ini dalam Dagh Register VOC. Setelah 22 tahun bersidang dan berdiskusi, pada tahun 1698 dihasilkanlah 3 paket naskah kuno tersebut yang kemudian dikenal sebagai "Naskah Pangeran Wangsakerta". Berbeda dengan kitab Babad Tanah Jawa yang masih dipenuhi dengan legenda dan mitologi yang melebih-lebihkan sang penguasa, naskah kuno Cirebon ini lebih bersifat rasional dan ilmiah serta mengikuti alur metode penelitian modern. Sayangnya, terjadi polemik di tahun 1988 mengenai keaslihan dan kesahihan naskah kuno ini sehingga sampai sekarang para ahli sejarah dan arkeologi masih terbelah menjadi 2 pihak yang berseberangan dalam menyikapi naskah kuno ini. Untuk itu dalam Diskusi Panel Naskah Kuno Kerajaan Tarumanegara yang diselenggarakan tanggal 16 September 1988 di Universitas Tarumanegara diputuskan bahwa "Sampai saat ini naskah-naskah tersebut masih belum dapat dinyatakan sebagai sumber primer untuk penulisan sejarah". Tapi walaupun bukan sebagai sumber primer, karena saya bukan ahli sejarah dan tidak bermaksud menulis sebuah buku sejarah resmi dan baku ala buatan pemerintah dan para ahli sejarah, tentu boleh dong untuk tetap menggunakan naskah itu sekedar sebagai pembanding bahwa ada alternatif dari arus sejarah utama yang ada saat ini he..he... Sekarang kembali pada pertanyaan, yang manakah kerajaan pertama di bumi Nusantara ini ? Sebenarnya enggak penting yang pertama atau bukan, tapi terkadang dalam sejarah kronologi itu penting. Nah, metodologi untuk menentukan kerajaan pertama adalah dengan menemukan situs-situs peninggalan sejarahnya lalu dianalisa kira-kira situs itu ada pada tahun berapa. Nah, dari peninggalan prasasti yang sampai saat ini sudah ditemukan, prasasti tertua adalah prasasti di Kutai yang merujuk pada Kerajaan Kutai di kalimantan Timur serta prasasti di Ciaruteun Bogor yang menunjuk pada Kerajaan Tarumanegara. Keduanya dibuat kira-kira tahun 400 M. Karena itu masuk akal kalau pelajaran sejarah di sekolah menyebutkan kedua kerajaan tersebut sebagai kerajaan pertama di Nusantara. Namun naskah Pangeran Wangsakerta mencatat sebuah fakta baru tentang kerajaan pertama di Nusantara. Cuma sayangnya belum ada situs-situs peninggalan atau prasasti yang bisa mendukung catatan tersebut. Tapi nanti coba kita lihat apakah catatan naskah kuno tersebut lumayan masuk akal atau tidak. Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa ada sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara di Pulau Jawa. Menurut naskah pangeran Wangsakerta, itulah kerajaan pertama di Nusantara. Coba saya akan dongengkan untuk Anda ya he..he... Melanjutkan cerita dari serial sebelumnya bahwa semua ras penghuni Nusantara pada dasarnya sudah memiliki sistem budidaya pertanian untuk kehidupan mereka, maka terjadilah interaksi antar mereka lalu berkembanglah mereka membentuk komunitas semacam desa lengkap dengan pemimpin atau penghulu yang bertugas memelihara adat istiadat setempat. Nah di sebuah wilayah di Pandeglang sekarang (Jawa Barat atau Banten bagian barat) terdapatlah sebuah komunitas dengan sang penghulu yang bernama Aki Tirem. Diceritakan bahwa Pulau Jawa sudah termasyur sebagai pulau dengan tanahnya yang subur. Hal itu membuat orang-orang dari wilayah lain (India, Cina dan sebagainya) berani mengambil resiko untuk bermigrasi di Nusantara ini. Tujuan para imigran itu beragam, ada yang ingin mengadu nasib di sini, ada yang ingin melakukan syiar Agama Hindu dan ada yang sekedar berdagang. Karena itulah jalur pelayaran Jawa dengan India saat itu memang diberitakan ramai. Jadi, kalau sekarang ada banyak pengungsi-pengungsi dari Afghanistan, Irak dan negara-negara lain terdampar di Pulau Jawa saat ingin menyusup ke Australia, janganlah Anda heran. Kasus ini pada dasarnya adalah perulangan pola sejarah. 2000 tahun yang lalu sudah jamak ada imigran dari India yang datang ke Jawa karena ingin melarikan diri dari berkecamuknya perang di India. Jadi mirip kan dengan kejadian sekarang ? Salah satu rombongan perahu dari India itu adalah rombongan Dewawarman, seorang pedagang dari Wangsa Pallawa India. Mereka mendarat di Jawa bagian barat dengan harapan bisa membeli rempah-rempah dari penduduk pribumi untuk kemudian bisa dijual kembali di India. Tampaknya mereka bolak-balik India - Jawa Barat untuk melaksanakan perdagangan itu sehingga mereka mendirikan "base camp" bagi rombongan mereka di Jawa Barat. Di markas mereka inilah Dewawarman diangkat sebagai pemimpin pedagang-pedagang India ini. "Witing tresno jalaran saka kulino", cinta tumbuh karena kebiasaan bergaul, demikianlah akhirnya Dewawarman mengalami cinta lokasi dengan anak Aki Tirem, sang penghulu yang bernama Pwahaci Larasati. Sejak dulu cinta lokasi memang sudah lumrah terjadi ya ? he..he... Enaknya mendapatkan mertua yang kaya dan menjadi kepala daerah. Dewawarman akhirnya mewarisi pemerintahan wilayah yang menjadi tanggung jawab Aki Tirem itu. Mungkin karena terpengaruh oleh suasana kerajaan di India yang dia tinggalkan, akhirnya Dewawarman mendirikan sebuah kerajaan dengan model yang sama di wilayah Aki Tirem tersebut. Namanya adalah Kerajaan Salakanagara, dengan ibukotanya Rajata. Naskah Pangeran Wangsakerta mencatat bahwa Sang Dewawarman dinobatkan menjadi raja pada tahun 52 tahun Saka atau 130 M. Istrinya kemudian bergelar Dewi Dwanirahayu. Beberapa ahli sejarah Sunda menduga ibukota Rajata adalah wilayah kota Merak, Banten sekarang ini. Konon, Salaka konon artinya perak, kemudian meleset menjadi kata Merak. Patut diduga apakah Salakanagara inilah yang dimaksud oleh Ptolemeus dalam buku Geographia yang diterbitkannya tahun 160 M sebagai Argyre, bandar di ujung barat Iabadiou (Jawa). Agyre artinya kota perak dan ibukota Salakanagara adalah Rajata (kota perak). Mungkinkah Alexander sang pelaut saat berlayar di kepulauan Nusantara pernah mendarat di kerajaan ini lalu mencatatnya sampai kemudian dikutip oleh Plinus dan berikutnya dikutip pula oleh Ptolemeus (lihat serial 22) ? [caption id="attachment_198961" align="aligncenter" width="300" caption="Argyre menurut Pomponius Mela (sumber: http://orias.berkeley.edu/spice/images/Map5.jpg)"][/caption] [caption id="attachment_198962" align="aligncenter" width="300" caption="Posisi Iabadiou menurut Ptolemeus. (sumber: http://orias.berkeley.edu/spice/images/Map6.jpg)"][/caption] Sementara Dewawarman memerintah di Salakanagara, keluarganya yang adalah Wangsa Pallawa juga sedang memerintah di India. Hal ini mempermudah perdagangan antara kedua wilayah, yang berujung pada naiknya pemasukan Kerajaan Salakanagara dari pajak yang dikutip dalam setiap transaksi dari perahu yang mendarat. Sebagai balasannya, Dewawarman membangun pasukan penjaga di sepanjang pesisir juga memerangi para bajak laut yang saat itu sudah ada dan berpotensi mengganggu jalur perdagangan dan pelayaran. Dewawarman sendiri juga rajin berlayar dan berkirim utusan ke wilayah-wilayah lain termasuk Cina. Mungkinkah utusan ini yang dicatat di Cina tahun 132 M sebagai utusan dari Raja Tio Pien dari kerajaan "Ye-Tiao" yang mengirim hadiah kepada Kaisar Cina saat itu ? Jadi penasaran Bernard Vlekke seharusnya sudah terjawab sudah dengan adanya fakta ini ya ? Dewawarman kemudian menurunkan dinasti Dewawarman yang kelak akan memerintah Salakanagara sampai sekitar tahun 362 M, sebelum kemudian dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara. Saya sebenarnya menemukan informasi bahwa jauh sebelum Kerajaan Kutai di Kalimantan berdiri, juga sudah ada kerajaan di sana yang bernama Kerajaan Nan Sarunai, ditandai dengan peninggalan-peninggalan di kawasan Candi Agung di Amuntai yang diperkirakan sudah berdiri pada tahun 242 -226 SM. Mungkinkah ini benar-benar kerajaan seperti yang kita pahami sekarang atau sekedar komunitas seperti komunitas yang dipimpin oleh Aki Tirem di Jawa bagian barat sebagai cikal bakal Salakanagara itu ? Sayang literatur yang saya punya tentang Kerajaan Nan Sarunai kuno ini masih sangat sedikit sehingga saya belum bisa menuliskannya di sini. Jadi kalau benar catatan bahwa Salakanagara benar-benar ada, berarti dialah kerajaan pertama di Indonesia ini karena dia didirikan pada tahun 130 M. Demikian juga fakta ini mematahkan anggapan Bernard Vlekke bahwa peradaban Jawa bagian barat lebih lambat dibandingkan Jawa bagian tengah dan timur. Tapi karena fakta ini menurut pandangan para ahli masih didasarkan pada Naskah Pangeran Wangsakerta yang masih menjadi polemik dan belum ditetapkan sebagai sumber primer, maka untuk teman-teman yang masih sekolah, sementara ini kalau ada pertanyaan atau soal ujian tentang kerajaan tertua di Nusantara jawablah saja dengan Kutai atau Tarumanagara, he..he... Sambil kita tunggu saja siapa tahu kelak ada bukti pendukung mengenai keberadaan Kerajaan Salakanagara di pesisir Jawa bagian barat ini atau Kerajaan Nan Sarunai di Kalimantan. Apakah Anda penasaran kapankah kudeta pertama terjadi di Indonesia ? Apakah Ken Arok saat membunuh Tunggul Ametung ? Kita akan membahasnya di serial berikutnya ya. Sampai jumpa. Sumber literatur: 1. Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008. 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Salakanagara 3. Naskah itu ternyata palsu. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/10/22/ILT/mbm.19881022.ILT25644.id.htm 4. http://akubacabuku.blogspot.com/2009/01/wangsakerta-terlalu-pintar.html 5. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 20 Juli 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H