Sampai sekarang rakyat Inggris masih begitu menghormati pilot-pilot RAF. Semuanya berawal dari kegigihan pilot-pilot RAF saat melawan angkatan udara Jerman di Perang Dunia 2. Apalagi Sir Winston Churcill pernah mengucapkan kalimat penghormatan yang begitu terkenal ini,"Tidak pernah sepanjang sejarah konflik manusia, begitu banyak orang berhutang begitu besar pada begitu sedikit orang seperti mereka".
Nah, salah satu jenis pesawat tempur yang digunakan RAF saat itu adalah Hurricane. Pesawat ini lincah dan sangat efektif, tapi ternyata memiliki satu cacat yang sangat fatal. Dalam desainnya, mesin berpropeler tunggal ditaruh di depan kira-kira 1 kaki dari kokpit dengan saluran bahan bakar berada di sisi kokpit sampai ke mesin. Inilah yang menyebabkan kenapa sekali tertembak saja, kokpit akan meledak dan terbakar. Pilot bisa melompat ke luar tapi butuh waktu 1 atau 2 detik untuk menarik tombol eject, padahal dalam 1 atau 2 detik tersebut api sudah melelehkan wajah sang pilot. Karena itulah mayoritas pilot RAF yang pesawatnya tertembak mengalami cacat wajah yang sangat serius. Cacat wajah ini membuat pemerintah Inggris mengerahkan ahli-ahli bedah plastik diantaranya Sir Archibald McIndoe untuk merekonstruksi wajah para pilot ini memakai cangkokan kulit dari perut dan dada sehingga diharapkan kepercayaan diri mereka akan pulih kembali.
Tapi ada satu hal yang masih mengganjal. Para pilot yang masih muda ini seringkali gelisah, stres dan mengalami tekanan batin bahkan tidak mau pulang ke rumah walaupun sudah dinyatakan sehat. Mereka cemas apakah keluarga dan masyarakat mau menerima mereka dengan wajah cacatnya tersebut.
Dalam jurnal tersebut dilaporkan suatu data bahwa 60% dari 11.000 narapidana kasus pembunuhan dan pemerkosaan memiliki cacat wajah seperti luka parut, bekas jerawat, tanda lahir, cacat mata atau lainnya. Sebuah hipotesa muncul bahwa karena cacat wajah itulah mereka terus menerus diejek oleh teman-temannya dalam masa pertumbuhan pubernya dan pengalaman diejek dan dipermalukan itulah yang secara tidak langsung mendorong mereka ke arah ketidakseimbangan metal yang mengarah pada tindakan kriminal. Kesimpulan dari jurnal ini adalah bahwa manusia membentuk citra dirinya berdasarkan citra seperti apa yang dicerminkan orang lain tentang mereka. Itulah akibat kalau kita menilai orang berdasarkan penampilan luarnya, tanpa sadar penilaian kita juga akan memurukkan mereka ke dalam citra diri yang negatif sehingga selalu merasa kalah dibandingkan orang lain.
Dalam konteks Bangsa Indonesia kita juga mengalami sindroma kompleks Quasimodo ini, nama lainnya adalah mental inlander. Untuk mengingatkan tentang mental inlander ini saya kutipkan kembali perkataan Bung Karno ini.
"Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan "Bangsa jang pandir" seperti orang Belanda berulang-ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi "Inlander goblok hanja baik untuk diludahi" seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing jang berdjalan menjuruk-njuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti jang dikehendaki oleh madjikan-madjikan kolonial dimasa jang silam. Setelah Republik Rakjat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa jang kelima didunia dalam hal djumlah penduduk. 3000 dari pulau-pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banjak rakjat jang tidak mengetahui tentang Indonesia ? Atau dimana letaknja ? Atau tentang warna kulitnja, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih ? Jang mereka ketahui hanja nama Sukarno. Dan mereka mengenal wadjah Sukarno. Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau jang terbesar didunia. Bahwa negeri kami terhampar sepandjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri-negeri Eropa sedjak dari pantai Barat benuanja sampai keperbatasan paling udjung disebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua djuta mil persegi. Mereka umumnja tidak menjadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia"
Akibat penjajahan yang dimulai hampir 4 abad yang lalu ternyata berpengaruh kepada kondisi mental kita. Sampai sekarang hampir semua dari kita secara bawah sadar masih mengidap perasaan inferior dan rendah diri terhadap orang-orang bule. Saya saja tanpa saya sadari juga mengidap mental inlander seperti ini. Walaupun secara logika saya merasa sama dan sederajat dengan orang-orang bule tapi secara bawah sadar saya seringkali gugup kala berbicara dengan mereka. Bersyukur setelah sekian tahun berinteraksi dengan orang-orang Jepang dan bule, saya semakin percaya diri kala berhadapan dengan mereka walau terkadang penyakit lama masih muncul pula. Itulah juga yang menjelaskan kenapa pejabat-pejabat kita seringkali merasa serba salah saat berhadapan dengan orang-orang bule tersebut. Beberapa kali Kwik Kian Gie membeberkan fakta bagaimana delegasi pemerintah RI seringkali ditekan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga asing dalam negosiasi bidang politik maupun ekonomi sehingga mereka terpaksa mengakomodasi keinginan pihak asing. Bandingkan dengan diplomat-diplomat masa revolusi seperti LN. Palar, Mochtar Kusumaatmaja, Sam Ratulangi dan Hasyim Jalal yang ditempa oleh semangat revolusi perjuangan sehingga tercatat dalam sejarah sering memenangkan pertempuran di meja diplomatik dan perundingan internasional.
Saya pikir nggak apa-apalah kalau mental inlander ini masih melekat dalam memori generasi kita sekarang. Mau gimana lagi wong sudah terlanjur melekat sejak lahir ?! Yang patut menjadi perhatian sekarang adalah bagaimana mencabut mental inlander ini dari diri anak dan cucu kita. Saya mencatat ada beberapa pendekatan yang bisa kita lakukan:
1. Biasakan anak kita berinteraksi dengan orang-orang asing sedini mungkin.
Saya ini orang kampung, jadi mulai berinteraksi dengan orang asing saat sudah berumur 23 tahun, itu yang menjelaskan kenapa mental inlander masih melekat selepas saya lulus kuliah. Lain dengan warga Balikpapan sini. Saya amati kepercayaan diri orang-orang Balikpapan sangat tinggi karena mereka sudah biasa bergaul dengan orang-orang asing yang banyak tinggal dan bekerja di sini. Kalau Anda ke pasar, Anda akan melihat banyak orang bule berbelanja dilayani oleh pedagang lokal di sini. Juga banyak orang bule yang naik angkot sehingga sopir-sopir di sini juga sudah terbiasa bergaul dengan mereka. Demikian juga dengan anak-anak sekolah di sini. Kami juga membiasakan anak-anak untuk tidak takut bermain dan bergaul dengan anak-anak bule walaupun dengan Bahasa Inggris sebisanya.