Pada suatu waktu di tanggal 24 Juli 1964. Dalam atmosfer konfrontasi dengan Malaysia di bawah komando Dwikora, berangkatlah 1 regu patroli KKO (Korps Komando AL, sekarang Korps Marinir) dari Nongsa, Batam dengan menggunakan motorboat. Patroli terdiri dari 4 orang. Sebagai komandan regu adalah Prako (prajurit komando) Suratno, memimpin Prako Wahadi, Prako Riyono dan Parko Muhani. [caption id="attachment_247787" align="aligncenter" width="143" caption="Korps Marinir TNI AL (sumber: www.ardava.com)"][/caption] Saat di tengah laut mesin tiba-tiba mogok, akibatnya motorboat terseret arus ke arah Singapura. Menyadari hal itu, mereka mendayung hampir 6 jam melawan arus untuk menjauhi wilayah Singapura - Malaysia. Jam 19.15. Hari semakin gelap. Dalam keremangan malam datanglah ke arah mereka sebuah kapal yang mereka kira sebagai kapal bea cukai Indonesia. Kapal tersebut akhirnya sampailah dan menempellah motorboat KKO tersebut ke dinding kapal. Terdengarlah teriakan dari kapal tersebut, "Awak siapa ?" "Kami KKO, mau pulang", teriak prajurit KKO tersebut. Tiba-tiba mereka sadar bahwa kapal tersebut bukan kapal bea cukai Indonesia, tapi kapal Diraja Malaysia Sri Selangor, mungkin mereka melihat tulisan di lambung kapal dalam keremangan malam itu. "Angkat tangan !" begitu teriakan dari salah satu awak kapal Sri Selangor. Lalu mereka mengarahkan lampu sorotnya ke arah motorboat KKO. Agak kesulitan karena motorboat sudah terlanjur dalam posisi menempel. Tapi kapal Sri Selangor sudah merasakan kemenangan ada di tangannya, tidak sulit menangkap segelintir KKO itu, begitu mungkin pikir para awak kapal Sri Selangor. Untuk beberapa lama tidak ada reaksi dari 4 prajurit KKO tersebut. Suasana tegang sekian lama. Tiba-tiba secara serempak 4 prajurit KKO tersebut menembakkan senjatanya ke arah kapal Sri Selangor. Karena kaget, awak kapal Sri Selangor segera melarikan kapalnya untuk menjauh dari posisi motor boat KKO supaya bisa menembak mereka. Prajurit KKO berusaha tetap menembak sampai peluru terakhir, tapi usaha mereka terhenti karena awak Sri Selangor menabrakkan kapalnya ke motorboat KKO sampai terguling. Setelah melakukan pengecekan sekilas pada motorboat yang terguling itu dan tidak menjumpai mayat satu pun, segeralah Kapal Sri Selangor meninggalkan lokasi insiden kembali ke pangkalannya. Ternyata, beberapa saat setelah menyadari bahwa mereka akan ditabrak oleh Sri Selangor, keempat prajurit KKO melompat ke dalam laut lalu setelah motorboat ditabrak dan terbalik mereka segera bersembunyi di bawah motor boat yang terbalik itu. Akhir dari insiden ini, 3 prajurit KKO ditemukan selamat sementara komandan regunya, Prako Suratno tidak pernah ditemukan lagi. Ada kemungkinan almarhum tewas karena terseret arus laut yang memang sangat kencang. 21 Februari 2005. Setelah beberapa hari bekerja untuk melaksanakan proyek pembangunan menara suar di Takat Unarang (wilayah blok migas Ambalat), tiba-tiba 17 pekerja proyek dari PT Azza Mandiri ditangkap oleh awak kapal Kapal Diraja (KD) Malaysia Sri Malaka. Mereka diintimidasi untuk tidak melanjutkan konstruksi. Setelah 4 jam dijemur di bawah terik matahari di geladak KD Sri Malaka, mereka pun dilepaskan. Menerima laporan peristiwa tersebut, KRI Rencong dan KRI Tongkol meninggalkan patrolinya di Laut Sulawesi Selatan untuk meronda di Takat Unarang. Selanjutnya datang pula 5 kapal perang TNI AL yang lain yaitu KRI KS Tubun, KRI Wiratno, KRI Tedong Naga, KRI Nuku dan KRI Singa. Beberapa kali terjadi bentrok mulut dan kucing-kucingan antara KRI Rencong dengan KD Kerambit. Akhirnya, untuk memberi ketenangan kepada para pekerja proyek maka dikirimlah 10 anggota pasukan katak (kopaska) dan Taifib. Mereka siaga di atas platform menara suar maupun di kapal tongkang Lius Indah. [caption id="attachment_247791" align="aligncenter" width="143" caption="Kopaska TNI AL (sumber:www.triothepolice94.wordpress.com)"][/caption] Ternyata proyek tidak berjalan lancar. Beberapa kali tiang pancang patah sehingga harus diulang lagi untuk menancapkan tiang pancang pengganti. Situasi semakin bertambah parah karena mereka selalu diganggu oleh kapal-kapal Malaysia, baik oleh Kapal Diraja Malaysia maupun kapal polisi marine Malaysia. Kapal-kapal ini berputar-putar membuat ombak yang mampu mengombang-ambingkan platform tempat proyek melakukan konstruksinya. KRI Tedong Naga sempat secara sengaja menggesekkan dirinya dengan salah satu kapal Malaysia yang mendatanginya sebagai usaha provokasi terhadap kapal-kapal TNI AL. Karena emosi dan geram, salah seorang prajurit pasukan katak yang bernama Serka Ismail memerintahkan kapal tug boatnya untuk mengejar kapal Malaysia tersebut lalu melempar kaca kapal dengan batu yang ada di geladak kapal tongkang tersebut. Dilaporkan beberapa kaca kapal Malaysia pecah karena insiden tersebut. 20 Maret 2005. kapal polisi Malaysia PX-29 lego jangkar 100 meter dari lokasi proyek. Karena lego jangkar posisi kapal tersebut sering berubah-ubah, posisi moncong senjata mereka pun sering mengarah ke posisi kapal tongkang Lius Indah. Hal ini membuat kuatir para pekerja dan tentu saja membuat geram dan senewen para hantu laut (sebutan untuk anggota pasukan katak) yang saat itu berjaga-jaga. Lalu Serka Ismail bersama Serda Muhaji dan Pratu Yuli dengan hanya menggunakan senjata pisau komando dan bercelana pendek menggunakan kapal karet mendekati kapal polisi Malaysia itu lalu naik ke atasnya. Dilaporkan bahwa awak kapal polisi Malaysia itu mungkin agak terkejut melihat kenekadan para hantu laut tersebut. Akibatnya mereka tidak menunjukkan permusuhan. Malah mereka menawarkan kopi kepada ketiga hantu laut tersebut. Serka Ismail menolak tawaran kopi tersebut lalu berkata dengan keras, "Siapa komandan kapal ini ? Saya minta kalian segera meninggalkan perairan Karang Unarang ini. Kalau tidak pergi, kami akan potong rantai jangkarnya." Setelah ketiga hantu laut meninggalkan kapal polisi Malaysia tersebut, tidak lama kemudian kapal polisi tersebut meninggalkan arena. Demikianlah cerita mengenai aksi heroik tentara kita. Saya tidak bermaksud untuk memanas-manasi suasana paska barter 3 pejabat dengan 7 maling ikan yang baru lalu. Apalagi Bung Besar kita sudah berpidato dengan manisnya di Mabes TNI. Saya menuliskan fakta-fakta sejarah di atas karena dorongan beberapa kompasianer yang mengomentari postingan saya sebelumnya "Mengapa Bukan TNI AL di Laut Perbatasan ?". Semoga tulisan ini bisa menjadi apresiasi kecil dari seorang rakyat kecil bagi para hantu laut (prajurit marinir dan pasukan katak) kita. Tapi terus terang bukan hubungan Indonesia - Malaysia yang saya bicarakan dalam tulisan ini. Sudah banyak orang pintar yang sampai berbusa-busa membicarakannya. Saya lebih menyoroti rencana DPR dan pemerintah yang ingin mempersenjatai pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan. Terhadap rencana ini, saya kok jadi ingat keputusan Menteri Dalam Negeri yang akan mempersenjatai Satpol PP dalam menjalankan tugasnya menghadapi para gelandangan, pengemis dan pedagang kaki lima. Jadi di negeri ini akan semakin banyak pegawai negeri yang memegang senjata. Selain anggota TNI dan Polri, yang diijinkan memegang senjata adalah Petugas Bea dan Cukai, Satpol PP, petugas polisi kehutanan dan berikutnya adalah petugas Kelautan dan Perikanan. Sebenarnya sih ada petugas institusi lain yang juga pegang senjata, tapi nggak enaklah menyampaikannya di sini he..he... Ingatan saya jadi melayang pada demonstrasi di Malaysia yang memprotes pemerasan yang katanya dilakukan oleh petugas-petugas Indonesia (entah petugas yang mana karena saking banyaknya penguasa di laut Indonesia he..he...) kepada para nelayan Malaysia yang tertangkap. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hal-hal kotor seperti itu selain sering terjadi di darat juga terjadi di laut pula. Kalau Anda bekerja di laut, pastilah sudah menjadi pemandangan umum bahwa petugas institusi tertentu nyaris bentrok bahkan nyaris tembak-menembak dengan petugas institusi yang lain. Jadi bayangkan seandainya para petugas bersenjata itu sedang rebutan mangsa di laut. Karena sama-sama pegang senjata pasti seru dan heboh nantinya. Dan yang jadi korban akhirnya juga para nelayan kita yang miskin-miskin itu. Cuma saya terus membayangkan, kalau yang pegang senjata nanti tidak mendapat didikan dan pelatihan sekeras yang diterima oleh anggota TNI AL, terutama oleh para hantu laut anggota pasukan katak dan marinir, mereka akan seheroik Pak Ismail itu nggak ya ?! Sekali lagi, senjata memang penting tapi kualitas orang yang mengoperasikannya juga lebih penting. Sebagai salah seorang pembayar pajak ijinkan saya untuk mengajukan usul. Sudahlah, tidak usah munafik dengan pura-pura menjadi negara kaya. Kita ini negara miskin karena itu harus lebih pintar mengatur duit negara. Berikan saja penguasaan laut hanya kepada TNI AL. Belikanlah mereka kapal-kapal perang dan kapal-kapal patroli yang banyak, lengkap dengan persenjataannya. Sediakanlah BBM (bahan bakar minyak) sesuai dengan rencana patroli mereka, jangan disunat, supaya mereka bisa berpatroli dan merondai wilayah laut yang luas ini. Lalu sederhanakanlah aturan penindakan di laut. Buatlah pengadilan laut yang cepat, sehingga dimungkin penyitaan semua kapal asing yang masih bisa digunakan serta kalau perlu pembakaran dan penenggelaman kapal di laut untuk memberikan efek jera. Kayak yang dilakukan oleh Australia dan Malaysia sama nelayan-nelayan kita, mereka membakar semua perahu nelayan kita tidak peduli GPS-nya menunjukkan masih di wilayah negeri sendiri. Kalau mereka bisa membakar seharusnya kita bisa membakar juga kan, yang penting atas nama hukum. Tahun 2003 saya pernah mengikuti Seminar Instrumentasi dan Kontrol yang diadakan di ITB dalam rangka perayaan 50 Tahun Teknik Fisika. Kebetulan waktu itu topik yang diangkat dalam seminar adalah berkaitan dengan percepatan teknologi pertahanan di Indonesia. Saat itu, pembicara dari TNI menyampaikan bahwa perahu-perahu nelayan malaysia selalu dilengkapi dengan GPS dan radio hotline khusus ke pangkalan angkatan lautnya. Jadi seandainya mereka akan ditangkap oleh kapal Indonesia mereka akan mengontak langsung pangkalan angkatan lautnya dan tidak lama kemudian kapal perang Malaysia (yang lebih besar dari kapal Indonesia) akan mendatangi TKP. Dalam situasi seperti ini nelayan-nelayan itu bisa dibebaskan secara langsung. Pertanyaan saya, konsep pertahanan kita adalah Sishankamrata, sistem pertahanan rakyat semesta, kenapa kita tidak melakukan metode yang sama di laut ? Dengan cara ini nelayan kita berfungsi sebagai ujung tombak intelijen di laut, dengan cara ini pula bisa membuat patroli TNI AL lebih efektif dan efisien. Lalu di mana posisi Polisi Airud, Bea Cukai dan KKP ? Biarkan saja mereka bekerja sesuai tugasnya, tapi bukan di laut. Kalau di laut, lebih baik mereka embedded saja (melekat) pada gugus tugas TNI AL, jadi mereka ikut berpatroli di kapal-kapal TNI AL. Kalau ada apa-apa biarkan TNI AL yang bertindak di depan, lalu untuk proses hukumnya biarlah dilanjutkan oleh instansi-instansi terkait itu. Enak kan ? Dulu jaman Bung Karno dan Pak Harto juga sederhana seperti itu, tapi sejak reformasi malah semakin ruwet begini sehingga malah tidak efektif dan efisien. Lagian enak kalau hanya satu institusi saja yang berkuasa di laut. Sehingga kalau ada apa-apa lebih gampang kepada siapa telunjuk diarahkan. Benar nggak ? (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 3 September 2010) Sumber pustaka: 1. Supoduto Citrawijaya, Kompi X di Rimba Siglayan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005 2. http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=958 3. http://www.gatra.com/2005-03-14/artikel.php?id=82630 4. http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6646
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H