Di laut Indonesia sekarang banyak penguasanya. TNI AL tidak lagi menjadi penguasa tunggal di sana. Ada Polair (Polisi Air), ada Bea Cukai, ada Basarnas untuk menolong kecelakaan laut, sekarang ada pula DKP atau KKP. Yang terakhir ini singkatan dari Dinas atau Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang 3 pejabatnya baru saja dibarter dengan 5 maling ikan asal Malaysia tepat pada 17 Agustus 2010 kemarin.Alamak, kita memang negara yang kaya raya sehingga punya begitu banyak lembaga yang menguasai lautan. Saya nggak bisa membayangkan betapa ribetnya kalau kebetulan semua instansi itu mengejar buruan yang sama, apa nggak akan berkelahi mereka untuk memperebutkan buruannya tersebut ? Dan setiap lembaga itu membutuhkan kapal untuk menjalankan pekerjaannya di laut. Oh, uang pemerintah memang begitu banyak sehingga mampu membelikan setiap instansi itu mainan kapal yang dibutuhkan. Hanya jangan kaget, kapal mainan belaka yang dibelikan kepada masing-masing instansi itu. Ada sih kapal beneran yang dibelikan pemerintah untuk TNI AL kita yang terkenal perkasa di masa lalu itu, tapi jumlahnya tidak lebih dari jari di satu telapak tangan Anda. Itulah akibatnya punya lembaga banyak, akhirnya fasilitasnya pun harus dibagi rata supaya adil, akhirnya dapatnya ya kapal yang kecil-kecil, yang gampang dikejar kapal milik negara tetangga tapi gampang ngos-ngosan saat mengejar maling dari wilayah mereka. Khusus untuk instansi KKP, jangan salah, mereka punya dinas di masing-masing provinsi lho. Jadi setiap provinsi punya anggaran untuk membiayai operasional kapal-kapal mereka. Jadi jangan kaget kalau seringkali banyak tender proyek pengadaan kapal KKP. Dan ingatkah Anda, saat pertama kali tender pengadaan kapal ini diluncurkan ? Hasilnya adalah seorang anggota DPR dan beberapa orang dari KKP yang masuk penjara karena terlibat korupsi selama proses tender, ya gimana wong pemenang tender kok ditentukan melalui undian he..he....Coba silakan ketik "kasus pengadaan kapal DKP" di google, Anda akan melihat banyak temuan kasus penyimpangan pengadaan kapal DKP ini. Ingatkah Anda juga, bahwa di akhir tahun kemarin, KKP kedatangan 1 kapal (baca: 1 kapal lho) yang katanya untuk menjaga perairan Indonesia, eh bukan, katanya untuk mengawasi terumbu karang. Eh, yang datang adalah kapal pesiar kelas Lagoon 500 yang didatangkan langsung dari Perancis, padahal kita punya PT PAL yang sudah menjadi langganan dunia untuk urusan beginian. Lagian untuk kerjaan seperti ini kok ya yang dibeli itu kapal jenis yacht tho, kok logika saya nggak nyambung ya ?! [caption id="attachment_230063" align="aligncenter" width="300" caption="Kapal tipe Lagoon 500 (sumber: www. planet.sg.or.id)"][/caption] Karena itulah dulu di tahun 2000-an saat KSAL-nya adalah Bernard Kent Sondakh, dia pernah mengusulkan supaya ketimbang membuat kapal-kapal sendiri, lebih baik setiap provinsi "menyumbangkan" anggaran pengadaan kapalnya kepada TNI AL. Maksudnya daripada membuang uang untuk beli kapal yang ecek-ecek, lebih baik uangnya dibelikan sebuah kapal patroli cepat bersenjata standar TNI AL lalu dipinjamkan ke TNI AL sehingga kelak bisa dioperasikan oleh TNI AL walaupun tetap menjadi inventaris KKP masing-masing provinsi. Tapi namanya Indonesia, usulan yang begitu inovatif ditolak beramai-ramai dengan 1001 alasan. Biasa UUD-lah he..he... Akibatnya banyak lembaga itu hanya punya kapal kelas ecek-ecek dengan kualitas operator yang ecek-ecek pula, sekali gertak oleh pihak asing sudah gemetar dan nurut dibawa ke markas polisi negara asing tanpa ada perlawanan. Saya maklum, para operator dan pejabat KKP itu hanyalah berkualitas pegawai, PNS, bukan petarung seperti TNI AL. Kenapa ? wajar saja wong mereka direkrut tidak menggunakan standar TNI AL, mereka dilatih dan ditraining juga tidak mengikuti standar TNI AL akibatnya mereka bekerja juga seperti oknum PNS kebanyakan, tanpa punya jiwa petarung, tanpa nyali besar yang mampu bertarung dengan polisi dari negara lain. [caption id="attachment_230715" align="aligncenter" width="145" caption="Usman dan Harun. (sumber: http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/u/usman-harun/05.shtml)"][/caption] Dulu, waktu jaman Bung Karno, pernah ada 2 KKO (sekarang Korps Marinir) yang disusupkan untuk meledakkan sebuah gedung di Singapura, namanya Usman dan Harun. Harap maklum, saat itu masa dwikora. Mereka berhasil menyelesaikan misinya lalu segera pulang kembali menggunakan kapal motor boat curian dengan menembus blokade pihak Malaysia - Singapura yang diperkuat sesaat setelah terjadi pemboman. Sayang, kapal mereka rusak saat masih di laut Singapura, sehingga dengan mudah didatangi kapal patroli Singapura. Dalam keadaan seperti itu dengan berani mereka berusaha menabrakkan kapal mereka ke kapal patroli itu. Usaha mereka gagal bahkan mulai ditembaki. Mereka membalas tembakan itu sampai peluru terakhir. Merasa terdesak, mereka terjun ke laut, berusaha berenang. Tapi karena arus laut, usaha mereka terhalang sehingga akhirnya ditangkap setelah melakukan perlawanan sengit. Ujung kisah ini memang berakhir di tiang gantungan. Tapi mereka sudah melawan dengan kebanggaan sebagai prajurit Indonesia yang besar, dan mereka jadi pahlawan bukan pecundang. Bandingkan dengan 3 pegawai KKP yang baru dilepaskan kemarin. Saat diwawancarai oleh Metro TV semalam, terus terang bukan kebanggaan yang saya rasakan malahan rasa malu. Ditanya apakah mereka ditangkap saat di wilayah Indonesia mereka menjawab tidak tahu karena GPS-nya kemungkinan salah karena battery-nya sudah lemah (jawaban aneh dan lucu bagi orang teknik seperti saya he..he..) Saat ditanya bagaimana perlakuan yang mereka dapat di sana, mereka menjawab bahwa mendapat perlakuan baik sambil memuji-muji pihak yang menahannya. Saat ditanya proses penangkapannya, mereka ternyata gampang sekali ditangkap oleh pihak sana, tidak ada perlawanan, dan mereka sudah keder saat mendapat tembakan peringatan hanya sebanyak 2 kali. Padahal mereka menggunakan seragam dinas dengan lambang KKP di pundak mereka, tapi tanpa perlawanan mereka gampang ditangkap oleh pegawai instansi asing. Bulan September 2007 dulu juga ada kasus yang sama, sebuah kapal polisi air Indonesia telah dikejar oleh kapal polisi negara utara bahkan sempat ditembak mesinnya sampai berhenti dan kemudian polisi laut negara utara itu menangkap polisi kita, nahkoda dan staf juru mudinya ke sana. Persis seperti kejadian kemarin. Sebagai pengingat, beritanya bisa dibaca di sini. Saya ingat saat kasus Ambalat pertama kali terjadi. Saat itu untuk mengawal proyek pembangunan rambu laut di Ambalat yang terus diganggu oleh kapal perang tetangga didatangkanlah beberapa orang anggota elite TNI AL yaitu Kopaska dan Taifib. Terlihat mereka bertarung dengan berani dan sabar (padahal mereka sudah ingin menembak lho), padahal posisi mereka selalu digoyang-goyang oleh ombak yang dibuat oleh kapal perang asing itu. Dari berbagai contoh ini kita bisa lihat perbedaan jiwa korsa dan karakter beberapa institusi di laut ini. KSAL sekarang sebenarnya punya ide bagus, yaitu untuk membuat lembaga seperti Coast Guard di AS. Merujuk pada AS, Coast Guard ini bisa memegang peran lembaga kepolisian, bea cukai dan KKP sekaligus. Mereka boleh menangkap di laut, lalu saat di darat menyerahkan kepada instansi terkait, bisa polisi, bisa bea cukai, bisa pula KKP. Mereka juga berperan sebagai Basarnas pula selama di laut. Jangan tanya mengenai jiwa petarung Coast Guard ini, kalau Anda menonton film The Guardian, Anda pasti tahu bahwa mereka direkrut dengan standar sama seperti Angkatan Laut. Bahkan banyak dari anggotanya diambilkan dari AL pula. [caption id="attachment_230072" align="aligncenter" width="202" caption="sumber: www.flashfilmworks.com"][/caption] Kalau pun tidak setuju adanya Coast Guard lebih baik dirampingkan saja instansi yang berkuasa di laut itu. Biarlah hanya TNI AL saja, supaya tidak memalukan saat mereka harus bentrok di perbatasan. Biarlah yang lain hanya bekerja di darat atau kawasan pantai saja, kalau polisi air lebih baik ya hanya bergerak di sungai saja. Dengan begini, TNI AL akan mendapatkan lebih banyak anggaran untuk memiliki kapal perang yang lebih banyak, lebih kuat, lebih bergigi, lebih cepat dan lebih modern. Kalau perlu mereka akan melindungi kapal-kapal nelayan kita di daerah perbatasan utara maupun di perbatasan selatan yang sering dibakar pihak negara di selatan itu. Kalau perlu mereka diberi kuasa untuk membakar setiap kapal maling ikan, entah di perbatasan utara atau perbatasan selatan, seperti padan jaman KSAL Bernard Kent Sondakh dulu. Entah impian ini akan tercapai atau tidak, karena kalau dulu kita punya "si bung kecil dengan nyali besar", sekarang kita hanya punya "si bung besar dengan nyali kecil". Mungkin harus menunggu HUT kemerdekaan RI ke 100 untuk mewujudkannya. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 18 Agustus 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H