[caption id="attachment_197882" align="alignleft" width="195" caption="Sumber: http://airlambang.wordpress.com/2009/12/05/film-balibo/"][/caption] Saya menonton film Balibo melalui DVD bajakan pinjaman dari seorang teman, soalnya film itu tidak lolos sensor sehingga tidak beredar secara resmi. Itu adalah film pertama tentang Timor Timur yang pernah saya lihat. Aneh, apa yang dilakukan pemerintah kita kok selama 24 tahun mereka berintegrasi dengan NKRI saya kok tidak pernah menonton film tentang mereka ?! Dan sekarang setelah ada film Balibo semuanya mencak-mencak. Entah karena nasionalisme atau semata karena cemburu, kenapa kok bukan kita duluan yang buat filmnya he..he.... Lama sebelum menonton film Balibo yang berkisah tentang tuduhan pembunuhan 5 wartawan Australia oleh TNI tersebut saya sudah membaca dan mempelajari beberapa buku sejarah mengenai integrasi Timor Timur dan Operasi Seroja. Salah satu diantaranya adalah buku kesaksian Hendro Subroto, seorang wartawan perang yang secara langsung meliput jalannya Operasi Seroja, bahkan sempat mendapatkan luka dan cacat di jari tangannya. Juga saya membaca dari internet peristiwa Balibo versi yang dituduhkan oleh wartawan Australia. Film Balibo; walau saya tidak yakin akan akurasi, rekonstruksi fakta dan kebenaran seratus persennya; telah berhasil memberikan visualisasi atas tuduhan tersebut. Kenapa bukan kita yang membuatnya ?! Yang paling berkesan dari film Balibo bagi saya bukanlah adegan pembunuhan 5 wartawan, atau penerjunan pasukan TNI besar-besaran di atas kota Dilli, atau penggambaran sosok Ramos Horta yang dikesankan sebagai pahlawan suci. Tapi yang berkesan bagi saya adalah musik dan lagu "soundtrack" nya, terasa begitu Timor Timur gitu lho. Lalu penggambaran alamnya yang bergunung-gunung dengan kesan tandus dengan jalan yang berliku-liku, juga penggambaran kehidupan suku-suku di sana dengan segala mitologinya ditambah dengan suasana perjuangan masyarakatnya. Hal seperti ini yang belum pernah saya dapatkan dari setiap visualisasi tentang Timor Timur di jaman Orde Baru. Terus terang, saya sangat tertarik dengan segala hal mengenai Timor Timur karena terasa ada ikatan psikologis di dalamnya. Istri saya, lahir di Asrama Brimob Surabaya tahun 1976 tanpa ditunggui oleh papanya yang saat itu sedang bertugas bertempur dalam Operasi Seroja di Viqueque. Bahkan dalam nama isteri saya tersemat kenang-kenangan akan Timor Timur yaitu nama Noviqueanti. Kemudian bapak mertua saya meninggal dunia setelah pensiun dengan status sebagai veteran perang Timor Timur. Saat terjadi gelombang pengungsian warga Timor Timur ke Timor Barat, saya juga terlibat dalam diskusi persiapan sebuah LSM di Jakarta untuk melayani para pengungsi tersebut. Dan sekarang, saat saya menulis postingan ini, adik perempuan saya bersama suaminya sudah 3 tahun ini melayani anak-anak para pengsungsi Timor Timur di kamp pengungsian dan panti asuhan di Kupang. Jadi wajar kalau saya "tertarik" dengan segala hal berbau Timor. Bakan di acara Indonesia Mencari Bakat pun sebenarnya saya berharap Berto tetap bertahan dengan ketrampilan memainkan Sasandonya itu he..he... Nah, saat liburan bulan lalu, saya mengajak istri dan anak-anak untuk berlibur seminggu di Jakarta. Kebetulan saya mempunyai beberapa saudara akrab di sana sehingga bisa sekalian kangen-kangenan setelah 5 tahun berpisah karena hijrah ke Balikpapan. Uniknya saya dan saudara-saudara saya tersebut bernasib sama, yaitu anaknya semua laki-laki he..he...Anak saya 2, laki-laki semua. Saudara saya yang satu anaknya 3, laki-laki semua. Saudara akrab yang kedua anaknya sudah 2, laki-laki semua juga. Tampaknya, Tuhan memilih kami untuk spesialis melahirkan anak laki-laki ke dunia ini he..he... Jadi bayangkan, saat kami berkumpul ada 7 anak yang semuanya laki-laki dari yang berumur 2 tahun sampai yang berumur 9 tahun. Ramai nggak karuan, berlarian ke sana kemari dan terkadang terselip adegan perkelahian. Namanya juga anak laki-laki. Pada sebuah hari Minggu, saya membawa anak-anak dan keponakan saya tersebut ke planetarium Jakarta. Total 5 anak lelaki plus saya akhirnya menjadi sebuah geng yang beramai-ramai pergi ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Sayang, planetarium sangat penuh dengan lautan manusia sehingga kami, 6 lelaki ini gagal menonton bioskop bintang. Lalu saya tawari mereka menonton pergelaran balet di TIM. Langsung saja mereka menolak mentah-mentah he..he..."Kami ini laki-laki Om, bukan cewek !!" begitu mereka memprotes saya he..he... Akhirnya saya ajak mereka ke Studio XXI TIM, saya tawari mereka untuk nonton film saja, kebetulan ada 2 film anak-anak di sana, yaitu Tanah Air Beta dan Karate Kid. Sebenarnya saya agak keberatan menawari mereka film Karate Kid, soalnya pasti ada adegan kelahi di situ. Benar saja, semuanya memilih film Karate Kid. Waduh, akhirnya secara persuasif saya tawarkan bagaimana kalau kita nonton Tanah Air Beta saja, alasannya nanti para bunda mereka pasti marah kalau lihat film kelahi-kelahian. Supaya mereka yakin, saya telpon salah satu bundanya dan benar perasaan saya sang bunda menyarankan nonton Tanah Air Beta saja. Mendengar itu 5 cowok cilik itu pun menurut. [caption id="attachment_197887" align="aligncenter" width="300" caption="5 Cowok Keren itu. (koleksi pribadi)"][/caption] Akhirnya terjadilah, ada geng berisi 6 cowok keren (termasuk saya he..he...) menonton film Tanah Air Beta. Dan ternyata mereka semua sangat tertarik, termasuk anak saya. Terus terang, saya terpuaskan dengan menonton film ini. Tidak ada kata-kata "lu" atau "gue" di sana (gaya Jakarte minggir dulu deh he..he...). Ada lagu-lagu khas Timor yang menarik, mengingatkan saya akan film Balibo. Kepada anak-anak dan saya juga diperkenalkan bahasa dengan logat Timornya yang kental, sesuatu yang sangat jarang kita lihat dalam kebanyakan film dan acara televisi kita. Anak-anak saya sekarang jadi mengenal suku Timor, lengkap dengan kata "sa" yang sering diucapkan mereka. Mirip dengan "rek" waktu kami di Surabaya, "geh" waktu kami di Banten dan "na" waktu sekarang kami di Balikpapan. "Jangan begitu na," begitu biasanya mereka berceloteh, mungkin kalau di Timor jadi "jangan begitu sa". He..he.... Anak-anak sekarang juga mengenal istilah "obrigado" (benar enggak ya ejaannya ?!), bahasa Portugis (atau Spanyol ya ?!) untuk terima kasih. Mereka senang waktu di Piala Dunia kemarin ada beberapa pemain bola yang mengucapkan "obrigado" di akhir wawancara, mereka sekarang mengerti kalau itu artinya terima kasih. Demikian pula anak-anak dihadapkan pada suasana pemandangan dan alam Timor yang terlihat gersang, tandus dan dipenuhi dengan padang savana seluas mata memandang. Anak-anak berucap, "kasihan ya Ayah." Dan saya menjawab itulah Indonesia, ada yang daerahnya subur, ada pula yang tanahnya tandus seperti di Timor, makanya mereka harus pintar supaya bisa menolong orang-orang itu. [caption id="attachment_197888" align="aligncenter" width="211" caption="sumber: http://blognyalady.blogspot.com/2010/03/tanah-air-beta-coming-soon.html"][/caption] Begitulah 6 cowok keren ini menikmati sekali adegan demi adegan dalam film itu. Terkadang tertawa saat melihat adegan lucu yang dilakukan oleh Abubakar yang orang Timor keturunan Arab itu, terkadang heran melihat kebaikan hati Ibu Merry sang pemilik toko yang Tionghoa itu, terkadang diam saat menonton adegan sang Mama Tatiana yang sedih. Dan lihatlah, di akhir film saat sang mama bertemu dengan anaknya diiringi lagu Kasih Ibu dan Indonesia Pusaka, seorang dari 6 cowok itu menangis terharu. Saya pikir keponakan saya tersebut sudah pengin pulang ke rumah, waktu saya tanyai ternyata dia kasihan sama bunda dan anak di film itu he...he... Bagi saya, film Tanah Air Beta bagaikan melancarkan serangan balik terhadap film Balibo. Saya setuju, keadilan dan kebenaran perlu ditegakkan tapi masalah masa kini dan harapan akan masa depan juga perlu diperjuangkan. Ketika film Balibo masih menuntut keadilan untuk masa silam, film Tanah Air Beta malah mempertanyakan masa depan di saat keluarga telah tercerai berai, sekolah yang tidak layak dan kehidupan di kamp pengungsian yang kelam tanpa ada lagi perhatian dari pemerintah. Angkat jempol kami untuk Ale Sihasale dan Nia Zulkarnain yang untuk kesekian kalinya telah memproduksi film anak bermutu dengan latar belakang aneka macam suku bangsa seperti suku Papua (film Denias, Senandung di Atas Awan), suku Jawa dan Tionghoa (film King) dan sekarang suku Timor. Semoga ada film bermutu berikutnya yang diproduksi dengan cerita dari suku-suku lain. Suku Kubu dengan Sokola Rimba-nya, misalnya. Semoga. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 19 Juli 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H