Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

L’histoire se Repete-34: Sriwijaya, Kerajaan Taman

3 Oktober 2011   03:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah pencapaian seorang pemimpin atau kepala daerah di jaman modern ini? Berapa banyaknya sekolah yang dibangun dan diperbaiki ataukah berapa banyaknya mall yang dibangun? Berapa banyaknya pasar tradisional yang diperbaiki ataukah berapa banyaknya supermarket yang dibuka? Ah....Anda bisa menilai kematangan seorang pemimpin dari apa yang diperbuatnya.

Tapi tahukah Anda, bahwa Kerajaan Sriwijaya menobatkan dirinya menjadi kerajaan taman dengan banyaknya taman yang dibangun oleh penguasanya. Setiap ada kemenangan atau pencapaian kejayaan, sang raja memerintahkan pembuatan taman untuk merayakannya. Hal ini tentu menarik bila dibandingkan dengan penguasa sekarang yang keasyikan membangun mall dan bangunan megah bertingkat daripada membuat taman kota atau ruang publik terbuka untuk acara santai warganya.

[caption id="attachment_139028" align="aligncenter" width="575" caption="Prasasti Kedukan Bukit (sumber: www.sudimuja.com/prasasti kedukan bukit)"][/caption]

Alkisah, Prasasti Kedukan Bukit dengan catatan waktu tahun 683M melaporkan adanya pawai kemenangan yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bersama 20.000 tentaranya dari Minanga Tamwar (Muara atau Batang Tebo?!) ke Matadanau (Telaga Batu - Palembang). Pawai kemenangan ini dilakukan setelah tentara Sriwijaya berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu (di sekitar Muara Tebo, daerah Jambi), sebuah kerajaan tertua beragama Budha di Sumatera. Sesampai di Matadanau, pawai kemenangan ini mendirikan sebuah wanua (biara, wihara), mungkin sebagai tempat untuk menyampaikan ucapan syukur mereka atas kemenangan yang baru saja diraih.

Penaklukan Sriwijaya atas Melayu ini ternyata dikonfirmasi pula oleh catatan lain. I-Tsing mencatat sepulangnya dari India bahwa Melayu sekarang menjadi bagian dari Sriwijaya, padahal saat keberangkatannya ke India (671M) I-Tsing masih mencatat Melayu sebagai kerajaan yang merdeka.

Hebatnya, perayaan kemenangan itu tidak berhenti sampai di sini saja. Prasasti Talang Tuwo bertarikh tahun 684 (jadi setahun setelah penaklukan Kerajaan Melayu) mencatat bahwa Dapunta Hyang menghadiahkan beberapa taman kepada rakyatnya. Salah satunya adalah Taman Sriksetra di Bukit Siguntang.

[caption id="attachment_139025" align="aligncenter" width="300" caption="Prasasti Talang Tuwo (sumber: www.sudimuja.com/prasasti talang tuwo)"][/caption]

Prasasti tersebut melaporkan bahwa di taman tersebut ditanam pohon nyiur, pinang, enau, rumbia dan lain sebagainya. Rakyat diijinkan untuk memakan buahnya. Bahkan di setiap taman luas yang dibuat itu, juga dilengkapi dengan telaga untuk rekreasi warganya.

[caption id="attachment_139026" align="aligncenter" width="300" caption="Taman Bukit Siguntang (sumber: http://terserah.byethost3.com/SUMATRA/sumsel/sumsel.html)"][/caption]

Lalu apa maksud sang raja membuat taman-taman luas lengkap dengan telaganya ini? Dalam prasasti itu dijelaskan bahwa, "Semua itu dimaksudkan demi kebahagiaan segenap mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Hendaklah daya upaya yang mulia itu mendapat kesukaan di kemudian hari dengan jalan lain."

. Kualitas hidup yang bukan hanya sesaat saja, tapi juga untuk waktu yang panjang. Pembangunan taman dan ruang publik bagi warganya dipandang oleh Dapunta Hyang sebagai fasilitas bagi rakyatnya untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik itu.

Saya membayangkan bahwa setiap hari, selepas kepenatan karena bekerja maka rakyatnya berkumpul di taman itu. Mereka bisa bercengkerama dengan keluarganya, sembari anak-anaknya berlarian ke sana ke mari menikmati lapangan yang luas atau melihat beberapa orang memancing ikan atau sekedar memandangi air yang jernih di telaga di tengah taman itu. Bukankah ini sebuah kualitas hidup, bahwa selain bekerja ada perkara yang lebih baik yang bisa dilakukan bersama keluarga?

Dapunta Hyang, penguasa di tahun 684M sudah berpikiran jauh ke depan seperti ini. Pejabat sekarang? Ah....sudahlah...................

Sumber kepustakaan: Prof. Dr. Slamet Muljana, Sriwijaya, LKiS, Yogyakarta, 2011

(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 3 Oktober 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun