Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

L’histoire se Repete-28: Jejak Tertua Marinir di Nusantara

16 September 2010   04:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 1903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Marine Brotherhood, setiap prajurit marinir di dunia adalah saudara. Itulah slogan yang menunjukkan adanya ikatan persaudaraan yang kuat di antara para marinir. Tidak hanya sesama satuan di dalam negeri, tapi juga sesama marinir dari seluruh dunia. Walau terkadang para marinir sering harus berhadapan di medan tempur, tapi di masa damai mereka adalah saudara. Saya kurang tahu kenapa tradisi seperti ini muncul di kalangan marinir, mungkin karena tingkat keterampilan tempur para marinir di seluruh dunia sudah sangat seragam sehingga masing-masing satuan sudah tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing. Nah, tahukah Anda mengenai sejarah korps marinir kebanggaan kita ? Majalah Edisi Koleksi Angkasa berjudul Operasi Amfibi pernah membahas sejarah Korps Marinir TNI AL. Merunut pada sejarahnya, semuanya bermula dengan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut pada tanggal 10 September 1945 yang beranggotakan mantan pasukan Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine), Heiho Laut (Kaigun Heiho), nelayan dan rakyat sipil lainnya. Kesatuan ini kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut dan berkembang pesat dengan banyaknya prajurit yang mendaftar dengan segala macam keahliannya. Tanggal 15 November 1945 dibentuklah beberapa korps di resimen yang berkedudukan di Tegal, yaitu Korps Navigasi, Korps Mesin, Korps Polisi Tentara Laut dan Korps Tentara Laut (Corps Mariniers). Komandan pertamanya adalah Mayor Laut Agus Subekti. Tanggal 9 Oktober 1948, Korps Tentara Laut berubah nama menjadi Korps Komando Angkatan Laut (KKO - AL). Sejak tanggal 15 November 1975, namanya berubah lagi menjadi Korps Marinir sampai sekarang. [caption id="attachment_259008" align="aligncenter" width="143" caption="Korps Marinir TNI AL (sumber: www.ardava.com)"][/caption] Tugas pokok Korps Marinir adalah membina kekuatan, kesiapsiagaan dan kemampuannya sebagai pasukan pendarat amfibi dalam rangka proyeksi kekuatan ke darat melalui laut. Berdasarkan tugas pokok Korps Marinir inilah akhirnya Supodito Citrawijaya mendesain emblem baret ungu Korps Marinir, lengkap dengan pita semboyan "Jalesu Bhumyanca Jayamahe" yang berarti Di laut dan di darat kita berjaya. Secara pribadi, saya sangat berkesan dengan korps satu ini karena mereka bekerja secara profesional untuk menyekat berbagai kekuatan militer di satu sisi dan gerakan mahasiswa di sisi lain selama proses gerakan reformasi 1997 - 1998. Karena itu tidak heran banyak mahasiswi yang menggunakan waktu luangnya saat berdemonstrasi saat itu untuk berfoto bersama dengan para prajurit baret ungu tersebut he..he... Membuka-buka arsip dan buku sejarah saya mendapati jejak-jejak marinir di masa silam Nusantara. Sesuatu yang menurut saya masuk akal mengingat kondisi Nusantara yang berbentuk kepulauan sehingga banyak kerajaan yang memiliki kekuatan Angkatan Laut yang kuat plus pasukan marinirnya. Bergerak ke belakang, bisa dicatat adalah kekuatan Angkatan Laut Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin, demikian juga kekuatan Kerajaan Bone di bawah pimpinan Aru Palaka. Selanjutnya adalah kekuatan Angkatan Laut Kerajaan Banjar yang memiliki spesialisasi dalam pertempuran sungai. Sejarah Nusantara juga mencatat komandan marinir perempuan dari Kesultanan Aceh, yaitu Laksamana Keumala Hayati. Di bawah komandonya, marinir Aceh pada tahun 1599 menyerang armada laut Belanda di bawah pimpinan Cornellis de Hautman yang berujung pada tewasnya De Hautman. [caption id="attachment_259295" align="aligncenter" width="200" caption="Laksamana Keumalahayati (sumber: www.acehpedia.org)"][/caption] Pada masa Kerajaan Majapahit, kerajaan ini juga memiliki Angkatan Laut dan marinir yang kuat di bawah komando Laksamana Nala. Pasukan inilah yang menjadi andalan Mahapatih Gajah Mada di dalam menaklukkan satu per satu kerajaan di Nusantara sebagai perwujudan Sumpah Amukti Palapa-nya. Saat saya mempelajari Kerajaan Salakanagara berdasarkan Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa dan Pustaka Rayjarayja I Nusantara, ternyata saya menemukan fakta adanya jejak tertua Korps Marinir di Nusantara kita ini. Nah, ini yang saya mau bagikan dengan Anda. Saat Dewawarman I menjadi raja atas Kerajaan Salakanagara (130 - 168 M), dia mendapat julukan sebagai Penguasa Laut Barat. Hal ini disebabkan karena posisi Salakanagara di pesisir barat Jawa Barat sangat strategis dalam bidang pelayaran. Seperti yang sudah saya ceritakan di serial sebelumnya, banyak kapal dari India melalui Samudera India mampir sebentar di Salakanagara sebelum melanjutkan pelayaran ke arah timur atau ke arah Cina di utara. Demikian pula banyak kapal lalu lalang dari arah timur atau Cina mampir sebentar di Salakanagara sebelum melanjutkan pelayaran ke barat atau India dan sekitarnya. Kondisi yang sama juga masih terjadi saat pelaut-pelaut Barat datang ke Nusantara, mereka masih menjadikan Banten atau Sunda Kelapa sebagai tumpuan sebelum berdagang di wilayah Nusantara. Seperti jaman sekarang, setiap kapal yang lalu lalang di perairan Salakanagara wajib membayar upeti atau persembahan kepada Salakanagara. Dan ini hebatnya. Dewawarman membalas setiap bea masuk dan upeti tersebut dengan menyediakan pengawalan jalur pelayaran di Selat Sunda dengan menyiagakan batalyon marinirnya di pesisir barat Jawa, pesisir selatan Sumatera dan batalyon marinirnya di Pulau Apuy di Selat Sunda. Semuanya ini untuk memberikan kenyamanan bagi para pelaut yang melaksanakan misi pelayaran dan perdagangannya di wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara. Kalau sekarang ada banyak kejadiaan perompakan di perairan Somalia maupun di Selat Malaka, pada abad pertama Masehi juga manyak perompakan di Selat Sunda. Kadang-kadang ada perompak yang menaiki perahu dan nekad ingin merebut kekuasaan Salakanagara. Tercatat bahwa Dewawarman I juga memegang peran sebagai Panglima Perang Angkatan Laut Salakanagara dan dalam kondisi darurat seperti ini, dia berhasil memimpin pasukan marinirnya untuk menghancurkan para perompak tersebut. Pernah pada suatu kali, datanglah rombongan perompak dari Cina beroperasi di perairan Salakanagara. Mereka bermaksud merompak armada perdagangan yang lalu lalang di Selat Sunda untuk merampok perhiasan emas, perak maupun harta kekayaan lain yang sering kali ditimbun di dalam kapal. Mereka juga merampok para penduduk di daerah pesisir. Menghadapi ulah perompak ini, Dewawarman I memimpin sendiri marinirnya untuk membasmi para perompak sampai tidak ada seorang pun yang tersisa. Saat Dewawarman V memerintah pada tahun 252 - 276 M, sebagai panglima perang Angkatan Laut dia memimpin komando marinirnya saat melawan perompak di laut. Dicatat bahwa armada perompak terbagi atas 3 kapal, sementara armada laut Salakanagara terbagi atas 4 kapal. Terjadilah pertempuran laut yang sangat hebat. Armada perompak berhasil dihancurkan tapi kemenangan ini ternyata harus dibayar mahal. Sang Dewawarman V tewas dalam pertempuran laut ini setelah dipanah dari belakang oleh salah seorang perompak Cina itu. Hal yang mirip juga masih dipraktekkan pada jaman Kerajaan Tarumanagara. Maharaja Purnawarman, raja terbesar Tarumanagara juga diberitakan berperan sebagai panglima perang Angkatan Laut Tarumanagara. Tercatat dalam sejarah bahwa tahun 399 - 403 M, dia pernah memimpin Angkatan Laut Tarumanagara untuk memerangi para perompak di perairan Ujung Kulon dan juga di perairan Laut Jawa. Gerombolan perompak berhasil ditumpas, sementara yang hidup ditawan dan mendapatkan hukuman mati dengan cara yang mengerikan seperti dipotong kaki dan tangannya lalu dibakar hidup-hidup, diumpankan ke binatang buas, dipatukkan ke ular berbisa, dilemparkan dari gunung, direbus sampai mati lalu dagingnya disuruh makan ke temannya, dipalu sampai mati dan sebagainya. [caption id="attachment_259297" align="aligncenter" width="300" caption="Pangeran Charles (sumber: www.dailymail.co.uk)"][/caption] Membaca tradisi Angkatan Laut Salakanagara dan Tarumanagara di atas, saya teringat dengan tradisi di Kerajaan Inggris. Semua putera kerajaan dari dulu sampai sekarang diwajibkan untuk mengikuti wajib militer sebagai perwira Angkatan Laut. Seperti contoh sekarang, Pangeran Charles dan kedua anaknya dari Lady Diana yaitu Pangeran William dan Pangeran Harry adalah anggota Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Karena anggota keluarga Kerajaan Inggris adalah sekaligus juga perwira Angkatan Laut Inggris, maka sampai sekarang sejarah mencatat bahwa Angkatan Laut Inggris masih cukup disegani di kalangan militer dunia. Bandingkan dengan kisah Angkatan Laut di negara Indonesia saat ini. Pernah dalam sejarah masa silam, Angkatan Laut benar-benar dihapuskan oleh salah satu kerajaan besar di tanah Jawa. Saya akan dongengkan perkara ini dalam serial-serial berikutnya kelak. Pernah juga dalam sejarah Indonesia modern, Angkatan Laut kita mendapat julukan sebagai Angkatan Laut terkuat di belahan bumi selatan yaitu saat masa pemerintahan Bung Karno. Selepas lengsernya Bung Karno, pamor TNI Angkatan Laut memudar sejak masa pemerintahan Pak Harto, bahkan sampai sekarang ini. Mungkin, tradisi Kerajaan Inggris dan Salakanagara itu bisa ditiru sekarang, bahwa anak Presiden harus mau menjadi perwira TNI Angkatan Laut. Demikian pula semua anggota komisi pertahanan DPR harus mau berlayar selama sebulan penuh di salah satu kapal TNI AL untuk bisa merasakan bagaimana pahit getirnya menjadi anggota TNI AL. Siapa tahu dengan tradisi seperti ini, DPR tidak akan banyak omong lagi untuk memperkuat TNI Angkatan Laut kita he..he... Sumber literatur: 1. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 2. Majalah Commando, volume III Edisi 4 Tahun 2007 3. Operasi Amfibi, Majalah Edisi Koleksi Angkasa XXVIII 4. Supoduto Citrawijaya, Kompi X di Rimba Siglayan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005 (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan,16 September 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun