Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

12 Agustus 1945

13 Agustus 2010   00:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:05 8675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menempuh rute penerbangan berbahaya sejak 8 Agustus 1945 dari Jakarta ke Dalath, Saigon ketiga tokoh pergerakan Indonesia akhirnya kesampaian juga untuk bertemu dengan Jenderal Terauchi, Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara. Ketiga tokoh Indonesia yang dipanggil itu adalah Soekarno, Mohammad Hatta dan dr. Radjiman Wedijodiningrat. [caption id="attachment_224402" align="aligncenter" width="220" caption="Pertemuan Dalath Saigon. (sumber: http://semangatbelajar.com/tag/marsekal-terauchi-hisaichi/)"][/caption] Waktu itu jam 10 pagi. Dalam pertemuan itu diberitahukanlah kepada mereka bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Bahkan sang jenderal menambahkan bahwa kapan pun Bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan. Itulah yang diucapkan Jenderal Terauchi pada tanggal 12 Agustus 1945 di Dalath, Saigon. Di akhir acara, jenderal Terauchi mengucapkan selamat kepada mereka bertiga lalu pertemuan itu diakhiri oleh jamuan minum teh dan makan kue-kue. [caption id="attachment_224404" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Bersama setelah pertemuan (sumber: http://ilmazahara.blogspot.com/2009_08_01_archive.html)"][/caption] Bung Karno sempat menanyakan apakah mereka sudah boleh bekerja sekitar tanggal 25 Agustus 1945 ? Dengan santai Jenderal Terauchi menjawab, "Silakan saja, terserah tuan-tuan". Yang saya ceritakan di atas adalah episode kesekian dari pasang surutnya janji kemerdekaan yang dilontarkan Jepang kepada Indonesia. Saya bersyukur bahwa sampai di detik-detik terakhir Jepang akhirnya tidak menepati janji tersebut. Bagaimana jelasnya, saya akan ceritakan dalam postingan berikutnya. Awalnya adalah saat Bung Karno dan Bung Hatta diundang untuk mengunjungi Jepang pada bulan November 1943. Pada saat itu terjadi adegan yang sangat mengundang penafsiran macam-macam, yaitu Kaisar Hirohito secara mengejutkan menjabat tangan Bung Karno. Padahal menurut adat kebiasaan Kekaisaran Jepang, Kaisar Jepang hanya mau menjabat tangan seorang kepala negara. Jadi kalau sang kaisar mau menjabat tangan Bung Karno, apa artinya ini ? Janji kemerdekaan sudah diberikan lebih dulu kepada Burma (Myanmar) dan Filipina, tapi tidak untuk Indonesia (Hindia Timur). Kenyataan ini membuat para tokoh pergerakan Indonesia mulai merasa tidak sabar dan diliputi kemarahan. Menjelang pertengahan tahun 1944, kekuatan Jepang dalam Perang Pasifik semakin meredup. Di mana-mana Jepang menderita kekalahan dan inilah saatnya untuk memikirkan kembali proposal dari Kementerian Luar Negeri Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur. Taufik Abdullah mencatat bahwa ada 3 alasan yang dikemukakan untuk mengajukan proposal tentang janji kemerdekaan ini, yaitu untuk menarik simpati rakyat, untuk memperkuat politik Asia Timur Raya dan untuk mendapatkan keuntungan dalam percaturan perang. Bulan September 1944 terbitlah Deklarasi Koiso. Perdana Menteri Jepang Koiso (pengganti Tojo) mengumumkan bahwa Kekaisaran Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur, To Indo no jori dokuritu, Hindu Timur sanggup merdeka sekarang, sebagaimana juga sudah dijanjikan kepada Burma dan Filipina. Mendapat kabar seperti ini, konon Bung Karno menangis saking gembiranya bersama-sama kawan Jepang. Eforia kegembiraan lenyap dalam sekejap. Terjadi silang pendapat dalam tubuh tentara Jepang di Indonesia dalam melaksanakan perintah Perdana Menteri Koiso tersebut. Tentara Angkatan Darat ke-16 yang berkuasa di Jawa menginginkan seluruh wilayah Hindia Belanda dimerdekakan. Tentara ke-25 yang berkuasa di Sumatera tidak setuju kalau Sumatera ikut dimerdekakan. Sementara Angkatan Laut yang berkuasa di Indonesia Timur hanya setuju kalau kemerdekaan hanya untuk wilayah yang dikuasai oleh Angkatan darat saja. Bung Karno marah dan mengeluh kepada pihak pembesar Jepang di Jakarta. Saya kutipkan di bawah ini seperti yang ditulis oleh Taufik Abdullah: "Tuan mengatakan seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanyalah membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar." Bosan dengan janji-janji manis Jepang, Bung Karno menulis sebuah surat bernada keras kepada mahasiswa Indonesia di Jepang. Tanggal 24 September 1944, surat itu sampai di Asrama Mahasiswa Kokusai Gakuyukai di Tokyo, salah satu bagiannya adalah "perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia lebih penting daripada janji Jepang". Sikap keras Bung Karno mengkhawatirkan kawan-kawan Jepang dekatnya. Miyoshi, seorang pejabat Gunseikanbu khawatir akan terjadi revolusi yang tidak diinginkan kalau tidak ada tindakan sebelum hari ulang tahun ke 4 Jepang di Indonesia yaitu 9 Maret 1945. Untuk meredam kegusaran Bung Karno dan teman-teman, akhirnya dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berdasarkan Makloemat Gunseikan No. 23 tanggal 29 April 1945. Di lembaga inilah KRT dr. Radjiman Wedijodiningrat, seorang mantan dokter Keraton Surakarta dan sekaligus sebagai anggota tertua, dipilih menjadi ketua BPUPKI. Bersamanya ada 2 wakil ketua (dari Jepang dan dari Indonesia) dan 60 anggota. Secara umum Jepang memilih anggota-anggota BPUPKI yang tidak terlalu berjiwa revolusioner, kerakyatan dan agak kekiri-kirian, dan memang ada udang di balik batu dalam tindakan Jepang memilih tokoh-tokoh sebagai anggota BPUPKI ini. [caption id="attachment_224411" align="aligncenter" width="200" caption="dr. Radjiman Wedijodiningrat (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Dr-radjiman-w.jpg)"][/caption] Masa sidang pertama BPUPKI dimulai 29 Mei 1945, membicarakan segala hal yang berbau filosofis, termasuk dasar negara dan konsep negara apa yang akan didirikan kelak. Masa sidang kedua dimulai pada 10 Juli 1945, fokus pada dimulainya pembicaraan mengenai hukum dasar negara atau konstitusi. Di sinilah adu argumentasi sehat ala para pendiri negara ini ditampilkan. Maaf, jangan bandingkan suasana intelektual sidang BPUPKI dulu dengan sidang DPR sekarang, bak langit dengan bumi deh. Walaupun ada catatan pula bahwa terjadi "benturan kultural" antara Muhamad Yamin yang terlalu banyak bicara dan bicaranya pun panjang-panjang dengan sang ketua yang berciri khas kaum ningrat keraton yang terbiasa dihormati. Dalam sidang-sidang inilah Bung Karno memprovokasi para tokoh yang lain dengan idiom-idiom revolusioner seperti "Indonesia merdeka selekas-lekasnya" atau "Indonesia merdeka sekarang juga". Atau kalimat sentilan seperti ini, seperti yang saya kutip dari catatan Aiko Kurasawa: "Kemerdekaan itu tampaknya seperti perkawinan. Siapakah yang menunggu sampai gajinya naik, sampai, katakanlah 500 gulden, dan menunggu sampai rumah yang dibangunnya selesai ?" Selesai melaksanakan tugasnya BPUPKI dibubarkan. Untuk seterusnya dibentuklah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 7 Agustus 1945 dengan Bung Karno sebagai ketua dan Bung Hatta sebagai wakil ketua. Sebagai anggota adalah 12 orang dari mantan anggota BPUPKI plus 3 utusan dari Sumatera, 2 utusan dari Sulawesi, 2 dari Kalimantan dan 1 utusan dari Bali. Ada juga yang mencatat 1 dari Kalimantan, 1 dari Nusa Tenggara (Sunda Kecil) dan 1 dari masyarakat Tionghoa. Demikianlah, selesai dilantik sebagai ketua dan wakil ketua PPKI, Bung Karno dan Bung Hatta diundang untuk menemui Jenderal Terauchi di Dalath Saigon. Diundang pula dr. Radjiman sebagai mantan ketua BPUPKI. Tanggal 8 Agustus 1945, mereka bertiga meninggalkan Jakarta jam 5 pagi untuk memulai sebuah penerbangan yang berbahaya. Sebuah penerbangan yang berbahaya, karena pesawat terbang yang mereka tumpangi sewaktu-waktu bisa disergap dan ditembak jatuh oleh pesawat-pesawat pemburu Sekutu yang pada saat itu sudah menguasai wilayah Burma dan sebagian dari Semenanjung Malaya. Kalau itu terjadi, pastilah nasib mereka akan sama dengan Laksamana Yamamato, pahlawan perang Jepang dalam penyerangan Pearl Harbour dulu, yang kemudian pesawatnya disergap dan ditembak jatuh pesawat pemburu AS saat akan mengunjungi pasukannya di salah satu medan perang di Pasifik. Untunglah, takdir Yamamoto berbeda jauh dengan nasib Bung Karno, Bung Hatta dan dr. Radjiman. Apalagi saat itu tersiar kabar, Sekutu sedang bernafsu menangkap seorang kolaborator Jepang yang bernama Soekarno. Karena itu walau diantar oleh Letnan Kolonel Nomura dan Miyosi sebagai penterjemah dengan 20-an perwira Jepang yang lain, penerbangan ini harus dirahasiakan bahkan kepada keluarga terdekat sekalipun. Tanggal 9 Agustus 1945, rombongan menginap semalam di Singapura. Tampaknya sangat berbahaya melakukan penerbangan malam di bawah bayang-bayang sergapan pesawat musuh. 10 Agustus 1945, dalam guncangan hebat pesawat yang ditumpangi Bung Karno, Bung Hatta dan dr. Radjiman mendarat di Saigon jam 7 malam. Gara-gara guncangan itu Bung Karno mengaku bahwa semua barang-barang di dalam pesawat berserakan, menambah deg-degan Bung Karno yang masih menebak-nebak alasan mereka dipanggil oleh Panglima tertinggi Jepang di Asia Tenggara itu. Malam itu mereka diinapkan di Istana Saigon dalam pengawalan ketat. 11 Agustus 1945. Pada siang hari ketiga tokoh kemerdekaan ini diterbangkan ke Dalath. Sesampai di sana mereka menginap semalam dalam suasana hati bertanya-tanya apa yang akan terjadi keesokan harinya. Tanggal 12 Agustus 1945, sejarah mencatat apa yang terjadi pada hari itu seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Apa yang terjadi pada hari-hari kemudian, saya akan coba bagikan kepada Anda semua. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 13 Agustus 2010, 65 tahun sesudah kisah nyata di atas terjadi) Bahan Pustaka: 1. Her Suganda, Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, Penerbit buku KOMPAS, Jakarta, Agustus 2009. 2. A.M. Hanafi, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997. 3. Taufik Abdullah, BPUPKI: Sebuah Episode di Panggung Sejarah, Suplemen KOMPAS Menuju Milenium III, Kompas Sabtu, 1 Januari 2000. 4. Aiko Kurasawa, Bung Karno di Bawah Bendera Jepang, Edisi khusus KOMPAS, 100 tahun Bung Karno, Kompas Jumat, 1 Juni 2001. 5. http://rubijanto.wordpress.com/2009/11/29/bangsaku-bergerak/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun