15 Agustus 1945, menjelang buka puasa Subadio Sastrosatomo bersama Subianto Djojohadikusumo memberanikan diri menemui Bung Hatta di rumahnya. Subadio cukup percaya diri karena merasa memiliki hubungan yang lumayan dekat dengan Bung Hatta. Mereka meminta Bung Hatta untuk membujuk Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sekarang, tanpa campur tangan Jepang melalui PPKI. Subadio berkata bahwa "yang kami perlukan sekarang adalah Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pemimpin, bukan sebagai ketua dan wakil ketua PPKI bentukan Jepang itu". Bung Hatta yang sudah mengambil keputusan bersama Bung Karno untuk melibatkan anggota PPKI tentu saja menolak sekali lagi permintaan itu. Setengah jam perdebatan itu pun berakhir tanpa hasil. [caption id="attachment_227041" align="aligncenter" width="200" caption="Subadio Sastrotatomo "][/caption] Selesai buka puasa, secara mendadak Chaerul Saleh menyuruh Pardjono untuk menjemput AM Hanafi untuk rapat di belakang gedung Eykman Instituut yang ada kebun jaraknya. Subadio mencatatnya di Laboratorium Bacteriologi, Jalan Pegangsaan Timur 16. Â Ternyata di sana diadakan rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh. Wikana baru saja datang setelah dibonceng oleh DN Aidit dengan sepedanya. Selanjutnya AM Hanafi dan Pardjono yang baru saja datang, sementara yang lainnya sudah tiba seperti Djohan Nur, Abu Bakar Lubis, Eri Sudewo, Armansyah, Subadio Sastrosatomo dan Yusuf Kunto. Tidak tampak Sukarni dan Adam Malik dalam pertemuan rahasia itu, entah kenapa. Â Pertemuan diawali dengan laporan dari Yusuf Kunto (yang bekerja sebagai pegawai BEPANG) melaporkan bahwa berita mengenai menyerahnya Jepang adalah benar-benar valid. Setelah itu, tanpa sidang bertele-tele (seperti yang biasa terjadi di DPR kita sekarang) diambillah keputusan penting yaitu mengutus Wikana sebagai juru bicara, serta Subadio dan Yusuf Kunto sebagai anngota utusan untuk segera menemui Bung Karno, mendesak supaya proklamasi kemerdekaan diumumkan segera. AM Hanafi sebenarnya diutus pula, tapi dia merasa keberatan karena masih nggak enak dengan Bung Karno, ayah angkatnya, yang sudah menceraikan Ibu Inggit untuk menikahi Fatmawati. Demikianlah akhirnya Wikana berangkat dengan dibonceng oleh DN Aidit (foto di bawah) dengan sepedanya, demikian pula dengan Subadio dan Yusuf Kunto, juga Darwis. Sekitar jam 10 malam, di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur no 56 Bung Karno sedang berdiskusi dengan Sayuti Melik dan SK Trimurti mengenai materi rapat untuk persiapan sidang PPKI keesokan harinya. Tiba-tiba datanglah utusan pemuda dari Eykman Instituut tadi. Duduklah Wikana dan Subadio di depan Bung Karno sementara Yusuf Kunto berdiri sambil melipat tangan di dada. [caption id="attachment_227047" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Bung Karno (sumber; 5. http://rubijanto.wordpress.com/2009/11/29/bangsaku-bergerak/)"][/caption] Wikana memulai pembicaraan,"Maksud kedatangan kami adalah meminta supaya Bung Karno dan Bung Hatta segera menyatakan kemerdekaan, lepas dari PPKI maupun janji-janji Jepang". Bung Karno menjawab,"Saya minta supaya pemuda bersabar. Jangan lupa, baru 3 hari yang lalu saya dan Bung Hatta diberikan jaminan oleh Terauchi". Perdebatan masih berlanjut. Â Bung Hatta kemudian dijemput oleh Subardjo untuk segera ke rumah Bung Karno mengingat diskusi yang semakin panas antara Bung Karno dan para pemuda. Ternyata di rumah Bung Karno juga sudah datang dr. Buntaran, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Joyopranoto. Bung Karno terlihat lega saat melihat kedatangan Bung Hatta. Tampaknya dia sudah tidak nyaman dikelilingi para pemuda yang sedang emosi begitu. Lalu dia menceritakan kepada Bung Hatta kemauan para pemuda malam itu. Suasana semakin panas, Wikana mulai mengancam,"Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan kemerdekaan malam ini juga, besok akan terjadi pertumpahan darah". Â Bung Karno tersinggung berat lalu mendekati Wikana sambil menunjuk lehernya,"Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok pagi !" Â Wikana kaget melihat tanggapan Bung Karno, mulai keder juga rupanya,"Maksud kami bukan mau membunuh Bung, tapi memperingatkan bahwa bila kemerdekaan tidak dinyatakan malam ini juga maka besok rakyat akan bertindak sendiri untuk membunuhi orang-orang yang dicurigai sebagai pro Belanda". Â Karena suasana sudah panas, sidang diskors 15 menit. Â Pada dialog kedua, kembali Wikana menyampaikan desakannya dengan segala argumentasi yang ada, kalau perlu kemerdekaan disiarkan malam itu juga melalui radio. Tapi Mr. Subardjo mengingatkan bahwa itu tidak mungkin karena stasiun radio masih dikuasai tentara Jepang. Dalam hati Subardjo juga setuju dengan keputusan Bung Karno dan Bung Hatta, karena bagaimana mungkin untuk urusan sepenting itu meninggalkan para wakil daerah yang menjadi anggota PPKI yang akan bersidang keesokan paginya. Â Kelihatannya kemarahan Bung Karno sudah agak reda (atau malah masih ada) sehingga dia meminta beberapa tokoh yang hadir berdiskusi lalu meminta Bung Hatta menjawab desakan Wikana tersebut. Â Bung Hatta menjelaskan bahwa pernyataan kemerdekaan harus menunggu dahulu pengumuman resmi tentang menyerahnya Jepang kepada sekutu,"Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan kembali berusaha menguasai kita. Saya juga pernah muda. Juga pernah berkepala panas dan berhati panas. Setelah tua, hati panas dulu itu tetap saja panas hanya saja dikawal oleh kepala dingin. Karena itu kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika Saudara memang sudah siap. Boleh coba ! Saya ingin melihat kesanggupan Saudara-saudara. Silakan saja proklamasikan sendiri kalau memang berkeyakinan seperti itu, jangan orang lain dipaksa-paksa !" Â Wikana mulai emosi mendengar jawaban itu,"Kami tidak bertanggungjawab terhadap apapun yang bakal terjadi, jika besok proklamasi belum juga diumumkan. Kami akan menunjukkan kesanggupan kami sebagaimana yang Bung-bung kehendaki itu !" Â Kemudian datanglah Darwis dan Djohan Nur. Mereka menyusul Wikana dan kawan-kawan karena merasa perundingan kok berlangsung terlalu lama. Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Wikana dan kawan-kawan akhirnya pamitan pulang, masih dengan hati panas. Â Hari ternyata sudah berganti. Jam sudah menunjukkan lebih dari jam 1 dini hari. Saatnya untuk sahur. Tapi episode sejarah berikutnya akan segera datang, tidak lama lagi. Â Â Bahan Pustaka: 1. Her Suganda, Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, Penerbit buku KOMPAS, Jakarta, Agustus 2009. 2. A.M. Hanafi, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997. 3. Aiko Kurasawa, Bung Karno di Bawah Bendera Jepang, Edisi khusus KOMPAS, 100 tahun Bung Karno, Kompas Jumat, 1 Juni 2001. 4. Cindy Adams, Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia, Jakarta, 2000 5. http://rubijanto.wordpress.com/2009/11/29/bangsaku-bergerak/ 6. Daud Sinjal, AB Kusuma, Maeda, Lalu Kita Merdeka, Majalah Tempo edisi 19 Agustus 2001
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H