Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyedekahi Si Miskin di Negara Kaya (2)

21 Desember 2009   02:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:51 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau di negara tercinta kita sering menjumpai gubuk-gubuk liar di kanan kiri rel kereta api, dalam jumlah yang lebih kecil saya masih menjumpai hal yang sama saat menaiki kereta api dari Florence ke Pisa, Italia. Seperti tampak dalam foto, saya menjumpai sebuah gubuk liar dengan gelandangan di dalamnya di sebuah lahan kosong di samping rel kereta.

 

 

Di stasiun kereta api Florence, Anda juga harus waspada dan tidak kaget karena akan sering dihampiri oleh para pengemis yang paling tidak akan meminta rokok atau sedikit uang untuk beli rokok (jauh-jauh dari Indonesia kok menjumpai hal yang sama ya ?! he..he..

 

Hal yang sama juga harus Anda waspadai saat di Stasiun kereta api Venice, Italia. Karena menunggu kereta api ke Vienna jam 01.00 lewat tengah malam, sejak jam 18.00 saya sudah menjadi penghuni ruang tunggu di stasiun tersebut. Ketika malam semakin merambat, saya baru menyadari bahwa di dalam ruang tunggu tersebut, saya berada di tengah-tengah para gelandangan Venice yang tengah menghabiskan hari. Dari keterangan seorang imigran dari Pakistan yang secara tidak sengaja menjadi teman saya selama kami menunggu kereta api masing-masing, ternyata stasiun ini memang menjadi tempat favorit para gelandangan untuk berkumpul di malam hari. Dia juga menyarankan supaya saya tidak takut, tapi memasang wajah yang tangguh untuk menghadapi permintaan para gelandangan yang kadang meminta-minta sesuatu dari para penumpang. Teman Pakistan itu bercerita kalau saya tampak ketakutan, para gelandangan itu akan semakin beringas untuk memeras saya. Karena itulah saya langsung saja menerapkan saran teman baru saya tersebut. Dan benar, saya tidak sekali pun diganggu oleh para gelandangan di sekitar saya tersebut. Padahal beberapa di antaranya sedang mabuk, bahkan ada seorang gelandangan bertampang khas dari Pakistan atau Bangladesh sedang beradu mulut dengan gelandangan bule.

 

Yang menarik adalah saat jam 21.00 datanglah seorang pastor Katolik bersama seorang temannya (mungkin pegawai pemerintah, entahlah) sambil membawa termos berisi kopi hangat juga roti-roti pengganjal perut yang lapar. Tentu saja semua gelandangan tersebut mengerubungi sang pastor dan dengan tertib menunggu giliran untuk mendapatkan beberapa roti, secangkir minuman hangat dan sekaleng minuman. Andaikata saya bernyali besar, mungkin boleh saja saya ikutan antri makanan saat itu. Tapi saya nggak berani karena tampaknya mereka tidak bisa berbahasa Inggris, saya takut kalau ada kesalahpahaman. Tanpa merasa canggung, sang pastor dan temannya mengajak ngobrol ngalor kidul para gelandangan tersebut bahkan ikut makan bersama mereka. Menariknya lagi, adegan tersebut praktis berakhir sekitar jam 23.00 ketika saya sadari stasiun tersebut sudah benar-benar kosong dari para gelandangan, hanya menyisakan orang-orang seperti saya yang tengah menunggu kereta api malam. Sebenarnya penasaran juga, kemana mereka setelah jam itu karena saat saya berjalan-jalan di taman sekitar stasiun saya tidak menjumpai para gelandangan di taman yang ada. Tapi terus terang, saya salut kepada pemerintah Venice dalam mengelola fenomena gelandangan di kota mereka.

 

Di Dallas, Amerika Serikat saya juga menjumpai hal yang sama. Saat jam-jam sibuk sehabis jam kantor beberapa hari saya menjumpai para gelandangan yang sedang mengemis di pinggir jalan sambil membawa poster karton bertuliskan “I am hungry” atau “No job”. Di salah satu komplek perumahan di Dallas saya juga menjumpai sebuah kantor pemerintah yang mengurus para gelandangan dan fakir miskin di sana, tapi beberapa hari di sana saya tidak menjumpai para gelandangan dan pengemis yang berkeliaran sampai di rumah-rumah. Tampaknya ada semacam kode etik gelandangan atau aturan yang melarang mereka melakukan hal tersebut.

 

Menutup tulisan ini saya teringat sebuah tulisan agung di kitab suci bahwa orang miskin akan selalu ada di sekeliling kita sampai hari kiamat nanti. Saya merenungkan bahwa orang miskin akan selalu ada, entah karena kebijakan pemerintah yang salah, ketimpangan sosial, kemalasan atau alasan lainnya. Tapi yang jelas, Tuhan tidak pernah menciptakan kemiskinan, tapi mengijinkan kemiskinan itu ada untuk membentuk karakter masyarakat yang lebih peduli, yang lebih memperhatikan sesamanya dan yang lebih saling membantu untuk terjadi keseimbangan.

 

Mengenai kondisi yang terakhir di atas, ada statistik menarik yang disampaikan Philip Yancey dan Paul Brand dalam bukunya yang terkenal Fearfully and Wonderfully Made, bahwa seandainya dunia ini disederhanakan menjadi sebuah kota dengan 1000 penduduknya maka inilah statistik yang ada:

-         Dari 1000 orang tersebut, 180 orang tinggal di bukit batu yang disebut negara maju, sementara 820 orang tinggal di dataran rendah berbatu yang disebut negara dunia ketiga.

-        180 orang yang tinggal di bukit batu tersebut memiliki 80 persen kekayaan seluruh kota, memiliki separuh lebih dari semua ruangan di kota yang membuat setiap orang mendapat lebih dari 2 ruangan.

-        180 orang yang tinggal di bukit batu memiliki 85 persen mobil yang ada, 80 persen dari semua televisi, 93 persen dari semua telepon dan pendapatan rata-rata USD 5.000 per orang per tahun.

-   820 orang yang tidak beruntung dengan tinggal di lembah berbatu harus hidup dengan hanya USD 700 per orang per tahun, banyak di antaranya yang kurang dari USD 75. rata-rata 5 orang tinggal dalam 1 ruangan.

 

Lalu bagaimana kelompok yang beruntung menggunakan kekayaannya yang luar biasa tersebut ? Di Amerika Serikat misalnya, dari setiap USD 100 yang diperoleh, inilah anggaran belanja mereka :

-         USD 18.30 digunakan untuk makanan

-         USD 6.60 dibelanjakan untuk rekreasi dan hiburan

-         USD 5.80 untuk membeli pakaian

-         USD 2.40 untuk membeli alkohol

-         USD 1.50 untuk membeli rokok

-   USD 1.30 diberikan untuk tujuan religius dan amal.

 

Paralel dengan fenomena di AS tersebut, saya ingat dengan pidato Jusuf Kalla saat masih menjabat wakil presiden tahun yang lalu. Dalam salah satu pidatonya dia sempat menyinggung sebuah fakta bahwa di dunia ini negara terkaya adalah negara muslim, sementara negara termiskin adalah negara muslim pula. Jadi apa yang salah sehingga ketimpangan ini terjadi ? Begitulah kalau Pak Jusuf Kalla menantang kita untuk berpikir.

 

Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan, semoga tulisan ini mencerahkan kita bersama, tidak malah membuat muka Anda kusut di hari Senin yang indah ini he..he..

 

(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 21 Desember 2009)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun