Tulisan ini tidak bermaksud memuji-muji bekas penjajah kita dulu, sekedar mengungkap salah satu kebiasaan baik peneliti Belanda tempo dulu yang layak untuk ditiru.
Sebagai keluarga cinta buku, saya beserta istri dan anak-anak secara rutin mengunjungi toko buku yang di kota kami hanya ada 2 saja. Memang tidak selalu membeli buku (disesuaikan dengan kondisi anggaran belanja he..he...) tapi paling tidak sekarang anak-anak sudah menjadikan buku sebagai sahabatnya. Nah, di tahun 2007 istri saya menemukan sebuah buku (tepatnya ada 2 volume) yang langka dan menarik. Ini yang menjadi inspirasi bagi judul saya di atas.
Buku yang saya maksud di atas ada 2 volume. Volume-1 berjudul Tanaman Berkhasiat Indonesia, dialihbahasakan dari judul asli Atlas Van Indische Geneeskrachtige Planten Bij Wenken En Raadgevingen Betreffende Het Gebruik Van Indische Planten, Vruchten Enz. Volume-2 berjudul Petunjuk dan Saran Pengobatan Tradisional Tanaman Berkhasiat Indonesia, yang dialihbahasakan dari judul asli Atlas Van Indische Geneeskrachtige Planten.
Buku ini ditulis pada tahun 1911 oleh seorang Belanda bernama J.Kloppenburg-Versteegh dan diterjemahkan oleh drh. J. Soegiri (mantan karyawan Ditjen Peternakan Jakarta) beserta istrinya, Prof.. Dr.Drh. Nawangsari (dosen Biologi IPB). Buku terjemahan ini diterbitkan oleh IPB Press pada tahun 2006. Berdasarkan keterangan Prof Nawangsari di kata pengantar, beliau beruntung mendapatkan buku berbahasa Belanda tersebut dari seorang profesor Belanda peneliti burung Gosong.
Membaca buku ini, saya harus mengungkapkan salut dengan Kloppenburg-Versteegh atas ketekunannya mengamati tumbuhan asli Indonesia yang memiliki khasiat obat serta membuat resep untuk berbagai macam penyakit. Bayangkan di tahun 1911, beliau sudah menulis sebuah buku yang memuat 497 tanaman atau bagian tanaman yang berkhasiat, juga 1467 resep herbal yang menggunakan tanaman berkhasiat tadi.
Tampaknya buku ini dibuat berdasarkan catatan yang dikumpulkan melalui pengamatan atau interaksi dengan masyarakat saat itu. Dari sekian banyak catatan mengenai tanaman tadi saya tidak yakin apakah semua tanaman tersebut masih ada di Indonesia saat ini. Karena saya ingat ada beberapa nama Jawa yang khas untuk tanaman yang saat saya masih kecil masih banyak tumbuh tapi saya tidak menemuinya lagi sekarang.
Menariknya, buku ini tidak ditulis seperti buku-buku ilmiah pada umumnya tapi seperti sebuah diari atau buku harian. Catatan tentang tanaman tidak ditulis seperti ahli botani, dia hanya mencatat yang perlu-perlu saja. Lalu resep herbalnya juga ditulis seperti istri saya mencatat resep makanan yang didapatkannya dari ibunya.
Coba lihat catatannya mengenai Jarak Pagar berikut ini. Bijinya mengandung minyak dan agak beracun. Makan biji menyebabkan muntah-muntah, mencret dan pusing. Mata penderita cekung mendalam, berkeringat dingin dan nadi melemah. Kadang-kadang biji ini dengan tujuan jahat diberikan dengan sengaja untuk menimbulkan diare kronis yang dapat menyebabkan kematian. Untuk mengatasi hal ini, berilah minum minuman keras.
Lalu ini salah satu contoh resep untuk penderita yang susah buang air besar. 3 atau 4 daun jarak pagar dikukus atau direbus dengan sedikit air. Makanlah dengan kecap atau sambal kemiri. Penderita batu empedu tidak tahan akan obat ini dan terserang mual dan kram. Jika mengalami gejala di atas, bisa dipastikan orang tersebut menderita batu empedu. Menarik bukan ?
Memang tidak semua penyakit modern ada resepnya di buku ini, karena buku ini dibuat berdasarkan penyakit yang umum diderita di Hindia Belanda tahun 1900-an. Tapi paling tidak sang penulis sudah mendokumentasikan sekian banyak pengetahuan yang didapatkannya yang kelak akan berguna bagi banyak orang. Kebiasaannya mencatat, menuangkan dalam tulisan atau catatan, tekun dalam hal detail menghasilkan maha karya seperti buku ini. Ini tentu berbeda dengan kebiasaan kita yang biasanya merekam pengetahuan hanya dalam ingatan sehingga tidak bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Contohnya resep jamu.
Buku ini menarik dan mengajari saya kebiasaan baru untuk teliti pada detail. Itulah kebiasaan baik orang-orang Belanda tempo dulu, sementara kebiasaan kita adalah grusa-grusu, pengin cepat-cepat (instan), tidak mau membaca ataupun menulis.
Saya ingat juga bagaimana dulu seorang Snouck Hurgronje sampai harus melakukan penelitian di pelosok Aceh untuk mengetahui detail kehidupan rakyat Aceh yang kemudian menjadi pembuka jalan pada penaklukan Aceh dalam Perang Aceh. Sekali lagi ketekunan, teliti pada hal detail dan kebiasaan meneliti, mengamati dan mencatat telah membuktikan keunggulannya.
Terima kasih untuk pasangan suami istri IPB Bogor yang sudah mewariskan buku penting ini untuk kami. Siapa tahu saat saya pensiun nanti, saya akan beralih profesi dari insinyur menjadi aktivis obal herbal he..he..
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 22 Oct 2009)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H