Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Habis Nomad Bangunlah Skuadron UAV

24 September 2009   01:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:42 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya agak malu juga harus menulis tentang pesawat terbang di forum ini mengingat ada Pak Chappy Hakim dan Pak Prayitno Ramelan di sini yang notabene adalah embahnya Angkatan Udara kita. Tapi rasa gregetan terhadap kondisi penerbangan militer membuat saya tidak mampu menahan diri untuk menulis tentang hal di atas. Saya bukanlah ahli pesawat terbang, juga bukan ahli militer. Saya hanyalah seorang insinyur biasa, jadi harap maklum kalau ada yang tidak berkenan dengan postingan ini.


Saya masih ingat wawancara KOMPAS dengan Marsekal Udara Chappy Hakim di saat-saat terakhir Pak Chappy Hakim harus melepas jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Udara. Kalau tidak salah, wawancara dengan Pak Chappy Hakim itu diterbitkan pada Kompas edisi hari minggu di bulan Februari 2005. Dalam wawancara tersebut, tampak Pak Chappy Hakim mensiratkan kegusaran beliau terhadap kondisi bangsa ini. Memang masih ada semangat optimisme dalam diri Pak Chappy Hakim, tapi secara tersirat tampak kegusaran yang tidak bisa ditutup-tutupi. Ada kalimat Pak Chappy yang masih nempel di otak saya sampai saat ini, "dalam beberapa tahun belakangan, jelas nyata bahwa kita ini bangsa yang tidak membangun. Tidak ada hal yang baru yang kita bangun, kita hanya bisa menggunakan dan sedikit merawat. Lihatlah kereta api, kita hanya bisa menggunakan jalur kereta yang dibangun jaman penjajahan Belanda, tidak ada hal baru di dunia kereta api kita. Kita mampu dan berani di saat miskin, tapi kita miskin mental di saat kita mulai mampu". Itu yang saya ingat, maaf Pak Chappy kalau ada kesalahan kutip, namanya juga ingatan he..he...


Tanggal 7 September 2009 kita kembali kehilangan pesawat Nomad kita, salah satu dari sedikit pesawat intai maritim yang kita miliki. Kecelakaan ini menambah daftar panjang kecelakaan pesawat militer di tahun-tahun terakhir ini. Sampai kapan semuanya ini berakhir ?

Tanpa bermaksud membeda-bedakan sipil dan militer, sepanjang ingatan saya bangsa ini memiliki terobosan-terobosan di bidang militer ketika dipimpin oleh seorang presiden dari unsur sipil ketimbang mantan militer. Maaf kalau pendapat saya ini salah dan alis Anda berkerut tidak setuju dengan saya. Tapi sejarah membuktikan bahwa saat Bung Karno memerintah, kita mampu memiliki Angkatan Udara yang terkuat di Asia Tenggara, bagaimana pun caranya.


Saat Megawati memerintah, dia berani dan mampu mendatangkan pesawat Sukhoi dan helikopter MIL-24 yang memiliki teknologi yang jelas berbeda dengan pesawat-pesawat yang selama ini kita miliki. Memang sempat ada isu dan aroma skandal saat itu, tapi toh akhirnya kebijakan itu  dilanjutkan oleh pemerintah sekarang sehingga kita memiliki skuadron Sukhoi.


Saat Pak Harto, memang kita memiliki berbagai macam pesawat terbang dari F-86 Sabre sampai F-16 Fighting Falcon tapi itupun dimiliki dalam rentang masa pemerintahan selama 30 tahun, bandingkan dengan Bung Karno yang mampu membangun Angkatan Udara dalam 10 tahun terakhir pemerintahannya, atau Megawati yang hanya 2,5 tahun memerintah.


Kembali kepada kasus Nomad. Tidak dipungkiri kita memang memerlukan pesawat intai maritim untuk menjaga perbatasan dan garis pantai kita yang sepanjang 167.000 km. Sementara, insinyur-insinyur kita di PT DI sebenarnya sudah mampu membuat CN235 MPA yang berfungsi sebagai pesawat intai maritim yang jauh lebih unggul dibandingkan Nomad. Bahkan US Coast Guard pun sudah menggunakan pesawat CN235 MPA, sementara kita baru saja menggunakannya, itupun baru 3 biji kalau tidak salah. Ke depan kita harus mengganti Nomad dengan CN235 MPA buatan kita sendiri itu. Pak Ninok Leksono di Kompas 9 September 2009 juga mengusulkan hal yang sama.


Di sisi lain kita harus membuat terobosan dalam bidang intai maritim maupun intai perbatasan. Saya mengusulkan mulai dibangun skuadron UAV (pesawat terbang nir awak) sebagai alat intai. Insinyur-insinyur kita sudah mampu membuatnya, bahkan negara-negara lainpun sudah memanfaatkannya, termasuk Malaysia yang rajin membeli pesawat UAV buatan sahabat-sahabat kita itu.

Majalah ANGKASA edisi koleksi UAV melaporkan bahwa industri-industri UAV kita di Bandung sudah mampu menciptakan sekian banyak model UAV yang bahkan mampu terbang sampai 300 km selama 6 jam terus menerus untuk fungsi surveillance. Kita sudah punya teknologinya. Kita sudah punya banyak ahlinya. Kita sudah punyak banyak industrinya. Harga UAV lokal ini pun juga jauh lebih murah. Kita hanya belum punya niat baik, komitmen baru sebatas di bibir saja.


Menarik, ide yang dilontarkan oleh Dr Djoko Sardjadi, seorang pakar UAV yang juga dosen Teknik Penerbangan ITB sebagaimana ditulis di Majalah ANGKASA tersebut. Idenya cukup revolusioner, dari sisi konsep maupun biaya yang diperlukan. "Bayangkan, kalau saja perbatasan kita kita dijaga oleh skuadron UAV. Lalu perlengkapi saja satuan-satuan militer di tempat terkecil dengan roket-roket panggul yang sebenarnya juga sudah bisa kita buat sendiri. UAV dan roket-roket panggul ini bisa dikirim hingga ke koramil-koramil dan bisa ditembakkan dari mana saja, dengan sepeda motor. Kalau sudah begini, siapa yang berani coba-coba menyusup wilayah NKRI ? Harganya jauh lebih murah dari pesawat tempur, tapi efeknya luar biasa".



Pesawat UAV lokal kita juga bisa dimanfaatkan untuk fungsi pengintaian oleh kapal-kapal patroli milik bea cukai, Departemen Kelautan dan Perikanan serta TNI AL sehingga bisa menghemat bahan bakar kapal patroli. Kapal patroli cukup berlayar di satu titik posisi, lalu kirimkan UAV untuk melakukan pengintaian di radius sesuai spesifikasinya. Apabila UAV mendeteksi ada hal yang mencurigakan, baru kapal patroli bisa bergerak untuk menjalankan fungsi penindakan.


Sebagai pembayar pajak, saya setuju kalau ide ini diwujudkan.

Bagaimana dengan Anda ?


(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 24 September 2009)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun