HAMPIR semua media tanah air saat ini menyoroti kasus hukum yang menimpa Minah (55), warga Dusun Sidoharjo, Desa Damarkradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Akibat memetik tiga buah kakau di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan 4 (tentu tanpa ijin pemiliknya), nenek tujuh cucu itu harus duduk di kursi terdakwa Pengadilan Negeri Banyumas untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Mengambil barang orang lain tanpa ijin pemiliknya, adalah mencuri. Apapun barang, berapapun jumlah dan nilainya, perbuatan tetap saja merugikan orang lain. Dilarang. Tidak ada yang lebih baik antara mencuri tiga buah kakau untuk dijadikan bibit, seperti pengakuan Minah atau mengkorupsi ratusan miliar uang negara.
Sadar atau tidak, setiap manusia pernah punya khilaf. Seperti halnya dilakukan Minah. Saya juga pernah melakukan hal demikian. Berkali-kali bahkan seperti mengakui sesuatu yang bukan hak saya. Entah berapa persisnya saya sudah lupa, karena saking seringnya.
Namun ada satu kasus yang sampai saat ini tidak pernah terlupakan. Sudah 20 tahun lalu. Saat saya masih duduk di Sekolah Dasar. Bersama teman-teman sepermainan memetik tiga buah mangga di kebun tetangga. Ketangkap basah dengan barang bukti tiga buah mangga muda.
Bedanya kami tidak sampai dilaporkan ke polisi hingga diajukan ke meja hijau. Tidak juga diberitakan oleh media. Cukup dilaporkan kepada orang tua kami, adalah hukuman yang berat bagi saya. Sangat berat bahkan, karena harus menjalani hukuman dari orangtua dengan tidak diberi uang jajan selama seminggu.
Saya ingat apa yang dikatakan pemilik mangga itu sama persis yang disampaikan oleh pihak PT RSA 4 yang tiga kakaunya hilang. Ben kapok alias biar jera. Sebab, buah mangga di kebun itu ternyata sering hilang dicuri orang. Hanya saat itu saya dan teman-teman yang sedang sial.
Bisa dibayangkan seminggu tanpa uang saku. Nelangsa. Untungnya baru dua haru bapak saya iba. Maka hari-hari selanjutrnya ada saja saya mendapat uang recehan. Apakah tiba-tiba menemukan uang di depan rumah, dikasih uang oleh paman, gratis jajan di warung sekolah. Setelah puluhan tahun, baru saya sadar bahwa semua itu atas kebaikan bapak. (mengingat itu semua, saya berlinang air mata ketika menonton film "King" di bioskop)
Hukum memang harus ditegakkan. Jika terbukti pelaku harus diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan. Hukum tak pernah pandang bulu. Semua warga negara berkedudukan sama di hadapannya. Anak-anak ingusan seperti kami dahulu atau lansia serenta Mbah Minah sama saja. Tentu penegakan hukum harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Bagi saya, Polres Banyumas yang menyidik kasus Minah hingga dilimpahkan ke kejaksaan dan pengadilan tidaklah salah. Meskipun sebenarnya, kasus itu bisa diselesaikan secara "kekeluargaan". Perlu diingat, menegakkan hukum dan keadilan bukan hanya sekadar merujuk pada pasal-pasal KUHP, namun mengikuti nurani.
Melihat kasus Minah dari sisi pelaku yang miskin, tua renta, dan tak berdaya di hadapan hukum, sebagai manusia berperasaan, batin saya tersentuh. Pernah suatu kali sandal saya yang baru terpakai dua hari hilang di tempat ibadah. Terbersit niatan akan menghajar jika suatu hari pencuri sandal itu tertangkap. Namun saat benar-benar itu terjadi, saya justru lunglai dan iba melihat tersangka pencuri itu babak belur dihajar massa.
Namun berbeda jika melihat dari sisi korban.Jika ada 50 orang yang mengambil tiga buah kakau seperti Minah setiap hari, tentu perusahaan itu kehilangan 150 buah kakau setiap hari. Anak SD pun bisa menghitung berapa jumlah kakau yang hilang selama sebulan.