Mohon tunggu...
Ondo Supriyanto
Ondo Supriyanto Mohon Tunggu... -

Lahir di lereng Bukit Pati Ayam, Pati. Warga Negara Indonesia biasa. Menyukai membaca, menulis, menonton film, mendengarkan musik, jalan-jalan, memotret dan hal-hal yang menyenangkan. Di atas segalanya, saya juga gandrung pada kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ditampar Siswa SLB Saat Buka Puasa

12 Agustus 2011   17:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:51 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MINGGU pertama Ramadhan, saya benar-benar menjalani ibadah puasa dengan perasaan nelangsa. Bukan hanya karena menjadi korban pencurian dan beberapa barang berharga hilang, saya harus menahan sakit pascaoperasi pencabutan gigi geraham yang bermasalah. Sungguh, seminggu lebih, saya tidak pernah merasakan nikmatnya saat berbuka puasa.

Celakanya radang menyusul ikut-ikutan menyerang. Dalam kondisi gusi yang bengkak, waktu makan justru menjadi saat yang tidak menyenangkan, menyakitkan malah. Dalam keadaan seperti itu, saya sepakat dengan Soe Hok Gie bahwa makan adalah pekerjaan yang harus diselesaikan agar segera dilupakan. Entah separah luka itu sehingga nyeri itu rasanya tak terperikan.

Saking sakitnya, saya berpikir jangan-jangan dokter gigi langganan saya itu menjahit luka dengan benang layang-layang.

Seminggu saya menggerutu. Saya sempat bertanya apakah Tuhan sekadar mengingatkan betapa berharganya sehat dengan menyiksa sayamelalui rasa sakit itu? Sambil menggerutu saya habiskan obat penghilang rasa nyeri, radang hingga antibiotik paksaan sang dokter. “Saya benci sakit. Saya ingin sembuh!” begitu teriak saya setiap malam menjelang tidur.

Jujur saja, saya agak lebay dalam menghadapi sakit. Betapa rapuhnya saya dengan mengutuki diri. Sampai lupa bahwa lebih banyak nikmat yang saya terima dibandingkan sakit yang saya rasakan. Bukankah mata saya masih bisa menyaksikan film Transformers: Dark of the Moon. Telinga bisa mendengarkan sahdunya suara Maher Zain saat bernyanyilagu Insya Allah . Juga masih menikmati fasihnya Syaikh Musyaari Rasyid tatkala melantunkan ayat-ayat Al Quran.

***

Betapa Tuhan memang suka membolak-balik hati manusia.Berbeda dengan seminggu yang lalu, malam ini saya bisa berdoa; Terima kasih Tuhan. Engkau kirim penyakit untuk mengingatkan betapa berharganya sehat. Puji untukmu Tuhan, sekarang saya mulai merasakan nikmatnya berbuka puasa meski belum normal seutuhnya.

Doa itu bisa saya katakan setelah saya ditampar oleh senyum bahagia anak-anak sekolah luar biasa (SLB) saat mengikuti buka puasa bersama dengan mereka, Kamis malam. Sungguh tidak bisa membayangkan jika saya bernasip seperti anak-anak difabel yang di asrama yang berada di Kelurahan Taman Winangun, Kabupaten Kebumen itu.

Oh, ya. Di asrama yang menampung 30 anak difabel itu dikelola oleh Yayasan Putra Pertiwi Kebumen. Bocah-bocah itu adalah penyandang cacat seperti tuna rungu wicara, tuna grahita, dan tuna daksa. “Mereka masih sekolah di SDLB, SMPLB, dan SMALB di kompleks tersebut,” Kata Pak Akhmad Subroto, Ketua Yayasan Putra Pertiwi.

Yayasan yang berdiri sejak 1987 itu juga mengelola SMPLB dengan jumlah siswa 35 anak dan SMALB yang memiliki 17 siswa. Dalam satu kompleks tersebut terdapat SDLB yang bertatus negeri dengan jumlah 164 siswa.

Ya, melihat mereka tersenyum dan lahap menyantap menu buka puasa, saya jutru merinding. Salah satu bocah bernama Ida menyita perhatian saya. Umurnya tujuh tahun dan baru masuk SDLB. Sejak lahir dia hidup dalam keheningan. Tanpa mendengar suara apapun. Dia yang baru belajar puasa tampak ceria saat ikut berbuka.

Batin saya tak henti-hentinya bersyukur. Betapa banyak orang yang lebih tidak beruntung dibanding saya. Ada yang hidup penuh kekurangan. Juga anaka-anak itu yang hidup dengan kondisi fisik yang tidak sempurna.Seperti anak-anak tuna rungu itu yang tidak pernah menikmati indahnya nyayian para biduan.

Dari acara buka puasa bersama itu, saya membawa pulang banyak pelajaran. Saya sadar, pasti banyak orang yang berempati seperti saya saat ini.Betapa banyak orang-orang yang lebih tidak beruntung dibanding saya. Tetapi apakah empati itu akan terus terpelihara atau hilang dalam sekejap saja?

Agar tak sekadar syukur di mulut, saatnya mencari apa yang bisa saya lakukan untuk membantu agar mereka tetap ceria. Yang jelas, tidak cukup sekadar berdoa; “Tuhan jangan biarkan mereka bersedih saat Ramadhan telah berlalu.” [Telkomsel Ramadhanku]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun