[caption id="attachment_72709" align="alignleft" width="360" caption="kondisi khoriah yang memprihatinkan menunggu kepedulian. foto oleh: ondo supriyanto "][/caption] COBAAN berat menguji kesabaran Samirah (35) sebagai seorang ibu. Bagaimana tidak, putri pertamanya Khoriah Nur Mayasari (4) tidak tumbuh secara normal karena penyakit hydrocepallus yang dideritanya. Ya, kendati anak seusianya telah masuk playgroup, Khoriah belum memampu berbicara pun berjalan. Nyaris, 24 jam ia sepenuhnya bergantung kepada orang tuanya. Buah hati pasangan Samirah dan Danuraharjo warga RT 01 RW 03 Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar, Kebumen itu hanya bisa memandang dengan tatapan memilukan. "Namun sebagai ibu, saya mengerti bahasa tubuhnya. Misalnya, saat lapar dia akan mengecap-ngecapkan mulut," kata Samirah di rumahnya, baru-baru ini. Tidak hanya itu, akibat penyakit yang dideritanya, berat tubuh Khoriah hanya mencapai 5,5 kilogram. Ukuran kepala yang tidak proposional dengan tubuhnya membuat kodisi bocah itu semakin memprihatinkan. Kepalanya membesar kontras dengan tubuh yang kurus tinggal tulang. Tidak cukup itu derita yang menimpa Khoriah. Ternyata, sistem pencernaannya juga tak berfungsi secara baik. Selama ini dia hanya mengkonsumsi bubur, dan harus dibantu obat saat hendak buang air besar yang harganya mencapai Rp 60.000 untuk sebulan. Berbagai upaya dilakukan orang tuanya. Khoriyah pernah dioperasi dua kali untuk mengeluarkan cairan di kepalanya. Khoriah pernah dirawat RS PKU Muhammadiyah Gombong, di RSUD Kebumen dan dirujuk RS Margono Sukarjo, Purwokerto untuk operasi yang kedua. Benar, kedua operasi digratiskan, karena dia pemengang kartu jamkesmas. Namun untuk biaya operasional keluarga kesulitan. Apalagi selepas operasi, Samirah masih harus mengontrol kesehatan anaknya ke dokter di RS Margono dengan sekali kontrol biayanya mencapai Rp 250.000. Itulah yang memberatkan. Suaminya yang seorang buruh bangunan dan dia senditi hanya ibu rumah tangga tak cukup uang untuk membiayai pengobatan. Jangankan berobat, untuk membeli susu saja, keluarga itu sudah kesulitan. Akhirnya, hampir setahun Khoriah tidak lagi memperoleh penanganan dokter. "Kata dokter, anak saya harus kontrol sebulan sekali sumur hidup. Tapi bagaimana lagi, kami sudah tidak sanggup lagi,” ujarnya dengan mata sembab. Samirah mengakui, untuk memenuhi kebutuhan susu anaknya, setiap bulah dia mengeluarkan Rp 300.000. Selama 2009, anaknya memperoleh santunan Rp 300.000/bulan dari yayasan penyandang cacat. Namun tahun 2010 ini, dia belum tahu apakah anaknya masih mendapat bantuan itu atau tidak. Pasalnya, santunan itu belum juga datang. "Biasanya kalau ada bantuan, pak Pos memberi tahu pada awal atau paling lambat pertengahan bulan. Tapi sampai saat ini belum ada pemberitahuan,” katanya. Samirah mengakui, untuk memenuhi kebutuhan susu anaknya, setiap bulah dia mengeluarkan Rp 300.000. Selama 2009, anaknya memperoleh santunan dari yayasan penyandang cacat Rp 300.000/bulan. Namun 2010 ini, dia belum tahu apakah masih mendapat atau tidak. "Biasanya kalau ada bantuan, pak Pos memberi tahu pada awal atau paling lambat pertengahan bulan,” katanya menyebutkan sampai saat ini belum ada pemberitahuan. Saat ini balita malang itu hanya memperoleh perawatan oleh bidan desa setempat. Khoriah masih menunggu bantuan pihak yang mau peduli. *** tulisan ini juga diposting di http://www.ondosupriyanto.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H